Kajian Sapi Betina (3), Keraguan Kaum Berilmu


Kematangan Spiritual

Kembali kepada pokok bahasan. Bagaimanakah kita menyikapi wacana Pluralisme ?. Dan dimanakah  posisi kita ?. Serta bagaimanakah kita bersikap atas fenomena yang tak kasat mata ini ?.

Surah Al baqoroh telah memetakan dengan sangat terinci, pelbagai macam karakter manusia dan juga sebab-sebab mengapa mereka begitu. Melalui kisah-kisah dan bagaimana kesudahannya bagi mereka. Telah pula diberikan contoh kisah dan peristiwa yang melatar belakangi , yang menjadi sebab lahirnya kesadaran kolektif seperti sekarang ini. Pelbagai macam peristiwa yang melahirkan agama-agama besar di muka bumi ini. Disana juga telah di jelaskan dimanakah posisi kita sebenarnya. Seharusnya kita umat Islam tidak kebingungan dalam menyikapi adanya pelbagai macam golongan dan pelbagai macam sifat serta keyakinan-keyakinan mereka.

Posisi kita umat Islam, sebenarnya sudah sangat sangat  jelas dan  tegas harus berada dimana. Dalam awal surah Al baqoroh (1-5) telah di tegaskan dimana posisi itu. Kemudian juga telah di tegaskan dimanakah posisi umat lainnya di ayat berikutnya. Kita tak perlu ragu menempatkan diri kita dengan posisi tersebut diantara umat lainnya.

Dalam kajian dimuka juga telah di singgung pula dimanakah posisi kita sebenarnya. Posisi umat Islam adalah posisi  di tengah dalam menyikapi problematika pluralisme. Posisi diatas, yaitu posisi meliputi kesadaran-kesadaran mereka-mereka semua itu, yaitu kesadaran semua golongan. Dalam bahasa terkini umat Islam adalah suatu kaum yang memiliki SPIRITUAL INTELEGENSIA  yang tinggi, sangat mumpuni. Mereka begitui arif, sopan santun, begitu lemah lembut,  tindakannya tegas, tidak perah ragu-ragu, mereka hanya berserah kepada Allah, mengikuti kehendak Allah, sebagaimana bumi yang berputar mengelilingi matahari.  Mereka tidak ‘galau’ dengan adanya golongan-golongan yang memperebutkan kebenaran, karena mereka telah bulat keyakinannya.

Sebagaimana saya ilustrasikan untuk memudahkan pemahaman ini. Seseorang yang telah menyadari betapa pentingnya kebersihan gigi, tentu akan senantiasa membersihkan gigi mereka secara teratur dan kontinyu. Dengan sangat hati-hati mereka perlakukan gigi mereka, menghindari makanan-makanan yang akan merusak gigi mereka. Mereka semua telah tahu bagaimana akibatnya jika mereka tidak merawat gigi mereka.

Namun apakah cukup bagi kita, problem selesai dengan hanya merawat gigi saja.Untuk diri sendiri, mungkin saja cukup. Bagaimana jika kita kemudian mendapati keluarga kita, anak kita, tidak merawat gigi mereka. Tentunya, kepedulian kita kepada mereka akan mendorong kita untuk mengingatkan, karena sayangnya kita kepada mereka, dengan pelbagai macam cara, betapa pentingnya kebersihan gigi. Banyak sekali orang yang tidak mengerti, tidak mengetahui, tidak paham, apakah akibatnya nanti, jika tidak merawat gigi. Maka orang-orang yang tidak tahu, tidak mengerti pentingnya ini, harus senantiasa kita ajarkan, melalui, kata, dan perbuatan kita.  Inilah perumpamaannya dalam pembersihan jiwa. Bagi orang yang mengerti bagaimana dunia akherat di berlakukan tentunya dia akan benar-benar menjaga dirinya sendiri dan juga keluarganya, berikutnya juga masyarakatnya. Begitulah perumpamaannya.

Namun sayang, kembali ada karakter manusia, yang mengerti ini, pemahamannya hanyalah untuk diri mereka sendiri. Ketika dia melihat orang lain yang tidak merawat gigi, jorok dan kotor mereka jijik, menista dan menjauhi mereka. Mereka memvonis orang-orang yang tidak merawat gigi mereka sebagai orang yang nista, orang yang jorok, kotor, bla bla. Bagaimanakah ceritanya jika orang yang tidak mau mebersihkan gigi kita olok-olok ?. Tentunya mereka juga akan bersikap sama dengan apa perlakuan yang mereka terima dari kita. Bukannya mereka dengan senang hati membersihkan gigi. Mereka justru bersikap sebaliknya akan memusuhi kita.

Sekali lagi, begitulah perumpamaan dalam akidah, dalam beragama. Seharusnya dengan kasih sayang, dengan permakluman, dengan senantiasa kita  berikan teladan nyata, kita berkata kepada setiap golongan. Semua adalah hamba-hamba Allah. Hanya perbedaannya, mereka terlahir dalam kesadaran kolektif yang berbeda dari kita. Karenanya umat Islam, mestinya memahami posisi ini, memahami bahwa umat Islam adalah umat yang di pilih, dan berdiri sebagai saksi setiap golongan. Paham betul mengapa mereka (golongan itu) memiliki kesadaran model itu, mengapa golongan memiliki kesadaran seperti itu, ada yang a, b, c, dan lain-lainnya.

Adalah orang-orang yang memiliki kematangan spiritual, yaitu orang-orang yang mengerti dan memahami tauhid dan kebersihan jiwa mereka. Sekaligus bagaimana implementasinya dalam kancah peradaban. Bagaimana mereka ber muamalah dengan mansuia yang lainnya. Sehingga ketika berhadapan dengan orang-orang yang tidak mau membersihkan jiwa mereka sendiri, mereka dapat  bersikap bijaksana. Mengingatkan, mengajari, memberikan contoh tentang bagaimana kelembutan hati yang sesungguhnya, dan akhlak-akhlak yang baik lainnya, dan lain sebagainya. Sikap ini telah diajarkan, telah diikrarkan oleh orang-orang terdahulu dan diabadikan dalam surah Al baqoroh, yaitu ayat yang senantiasa kita baca dalam doa. Al baqoroh ayat  285-286. Maka menjadi jelas kenapakah kita senantiasa di sunnahkan membaca ikrar (doa) ini.  

Sungguh bagaimanakah kita bersikap dengan mereka sudah di tegaskan, dalam ayat ini, inilah maunya Allah, maka tidak selayaknya kita menjadi hakim :

Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 2:109)

Logika memaknai fakta

Marilah kita masuki kembali, bagaimanakah proses bekerjanya kesadaran dalam diri mereka. Mengapa sebuah fakta  kemudian mampu melahirkan kesadaran kolektif. Diluar batas manusia. Bagaimanakah kejadiannya seekor sapi betina, mampu menciptakan kesadaran lain dalam diri manusia, yang kemudian menjadi keyakinan mereka.

Perbincangan intens tentang hal ini, di kisahkan Al qur an, surah Al baqoroh ayat 67-74.  Bagaimana mereka mengalami rahsa galau. Keragu-raguan yang amat sangat kepada perkataan nabi Musa. Peristiwa terbunuhnya salah satu dari mereka saja, sudah menimbulkan kegoncangan yang luar biasa, hampir meruntuhkan pondasi kekuasaan mereka. Dalam situasi galu tersebut datang seseorg yang menawarkan pertolongan dengan cara yang tidak masuk di akal mereka. Betapa mereka sangat meragukan tentang hal ini. Coba bagaimanakah situasi diri kita jika kita mengalami kondisi seperti itu ?. Apa yang akan kita lakukan ?.

Percaya dan tidak. Mereka dalam kondisi kebimbangan. Maka mereka berulang-ulang bertanya kepada nabi Musa, meyakinkan diri mereka. Mereka dihantui perasaan tak percaya, namun apa boleh buat, mereka harus mencoba. Kesadaran mereka sudah di dominasi keraguan kali pertama, atas perkataan nabi Musa. Situasi yang sungguh tidak nyaman bagi mereka. Situasi apa boleh buat bagi mereka.    Oleh karenanya, berulang-ulang mereka menanyakan perihal sapi yang di maksudkan. Karena diliputi keraguan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah tersebut.  

Disinilah ‘entry point’ nya. Mereka semua diliputi rahsa, tidak percaya, keraguan, ketidak pastian, tidak memiliki keyakinan. Rahsa ini akan menimbulkan efek sebaliknya jika nyatanya apa yang mereka dapati realitasnya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Begituilah kejadiannya, setelah mayat orang tersebut di pukul dengan bagian tubuh sapi. Orang tersebut bangun dan hidup kembali menceritakan hal ikhwal bagaimana kematiannya dapat terjadi. Maka terbukalah aib diantara mereka. Namun apa mau di kata, setelah semua di tunjukkan, proses berfikir mereka bekerja sebaliknya. Lantas kesadaran apakah yang kemudian mereka dapatkan dari proses seperti itu.

Mereka tetap dalam keraguan terhadap nabi Musa. Terhadap perkataan dan risalah yang di bawanya. Mereka berfikir sebaliknya, mereka justru sebaliknya  malahan mempercayai bahwa sapi tersebutlah yang menyebabkan mayat itu hidup kembali. Sapi tersebut memiliki kekuatan ghaib, sapi tersebut adalah sapi dewa, dan lain sebagainya. Maka oleh mereka para sapi diberlakukan demikian istimewa. (Pola berfikir seperti ini kadang masih kita dapati dalam masyarakat kita dewasa ini). Kemudian diantara mereka melakukan penyembahan kepada sapi yang di buat oleh tangan mereka sendiri. Nabi Musa pun telah menegur dengan keras perbuatan mereka. Namun sekali lagi di katakan dalam Al quran hati mereka telah membatu. Padahal batu sekalipun jika di pecahkan masih mengeluarkan air. Namun tidak dengan hati mereka, mereka lebih keras hatinya dari batu. (QS. 2:74). Subhanalloh. Kesadaran seperti ini menyebar, melintas generasi, melewati benua, menembus lorong peradaban manusia, sampailah ke jaman kita ini. Kesadaran yang datang bersamaan, dan mengalami sinkretiisme (campur) dengan ajaran nabi Musa  yang bersih akidahnya. Maka kita dapati spekulasi tentang malaikat dalam terminologi Islam berubah menjadi para dewa, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Kesadaran yang mengembang seiiring mitos dan imajinasi manusia.

Hukum alam hukum kebenaran

Islam mengajarkan kepada kita tentang sesuatu yang logis, mudah dan transparan sekali. Tidak ada mitos, fantasi apalagi sesuatu pemahaman yang keluar dari fitrah manusia. Hukum alam mengikuti kehendak Allah semata. Sebagaimana kehendak Allah, ketika H bertemu 2O akan menjadi zat yang kita namakan air. Maka kejadiannya akan tetap begitu.  Begitu juga seharusnya umat Islam menangkap dan memaknai semua peristiwa kejadian dan fakta yang ada dengan pola berfikir seperti ini. Jika Allah berkehendak mayat dalam kisah nabi Musa dapat hidup kembali dengan cara apa saja, tidak memerlukan perantara. Sapi tersebut adalah di maksudkan untuk menguji keimanan mereka. Banyak kejadian di depan mata kita, maupun kisah-kisah yang di beritakan Al qur an. Mengikuti pola yang sama. Semua membutuhkan kedewasaan spiritual kita sebagai umat Islam untuk memaknainya.

Bagaimana kisah nabi Ibrahim yang ingin mengetahui proses di hidupkannya orang mati, kisah nabi Isa dan lain sebagainya. Semua kisah dan perilaku manusia sudah di petakan sedemikian rupa, dapat kita kaji dalam surah Al baqoroh. Tidak ada mitos tidak ada tahayul tidak ada klenik. Semua bertumpu kepada satu kehendak, adalah kehendak-Nya. Maka sudah seharusnya kita umat Islam dapat lebih bijak dan arif dari pada golongan lain yang tidak tahu. Dalam bingkai kematangan dalam spiritual. Kedewasaan dalam spiritual intelegensia.

Bukankah semestinya begitu ?.

Wolohualam..

Bersambung..


Wasalam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali