Mengapa Ber-Islam Menjadi Sulit ?
Rahsa juga sebagaimana nila (racun). Ketika di
teteskan ke dalam susu maka akan bercampur dengan susu tersebut. Rasa susu
akan hilang, disetiap tetesnya, yang dapat di rasakan hanya pahit dan pahit
saja, tiada tersisa rahsa susu sedikitpun. Nila telah meliputi susu tadi.
Maka ada pepatah. “Nila setitik rusak susu sebelanga”. Begitulah perumpamaan
rahsa di jiwa.
Bagaimana ceritanya ketika, setetes ‘sedih’
jatuh menetes ke dasar relung jiwa manusia. Perlahan namun pasti kesedihan
akan, meluas masuk, berada di luar dan juga berada di dalam jiwa itu sendiri,
kesedihan akan meliputi jiwa. Begitu halnya, ketika
setitik ‘sakit' menetes pada jiwa, perlahan tapi pasti rahsa tersebut akan
meliputi jiwa, menguasai jiwa, merajai di setiap sudutnya. Rahsa sakit ini seperti hidup, meluas dan
meluas terus, semakin pekat dan pekat sekali. Kemana wajah meluas disitu rahsa
sakit di hati akan merajainya. Rahsa yang semakin lama semakin menguasai
seluruh instrumen ketubuhannya, rahsa yang telah melumpuhkan sendi-sendinya.
Melumpuhkan daya pikir, akal dan logikanya.
Rahsa sakit yang menghebat akan melahirkan daya
dorong lainnya, mengkristal melahirkan kebencian dan dendam. Atau mungkin
sebaliknya merasa termalang di seluruh dunia, kemudian ingin mati saja. Rahsa
ini akan mencari muaranya, apakah ke kutub dendam ataukah ke kutub apatis. Masih banyak contoh rahsa lainnya, yang tidak
mungkin di bahasakan satu per satu, marilah kita eksplorasi masing-masing saja.
Bagaimankah kesudahannya bagi kita, dari masing-masing rahsa. Rasa tak
dianggap, rahsa kecewa, rahsa sedih dan duka. Inilah rahsa di kutub negatip.
Bagaimana dengan rahsa yang berada di kutub
positip, rahsa senang, bangga, rahsa suka, dan lain-lainnya. Proses bekerjanya
ternyata sama saja. Rahsa yang berlebihan nyatanya akan melahirkan kebanggan
diri yang berlebihan, melahirkan kesombongan. Angkuh, bangga diri, menganggap
remeh orang lain, merasa ber ilmu, merasa suci, dan rahsa-rahsa lain yang
ternyata juga negatip.
Rahsa ini ternyata sangat nyata bagi setiap
manusia. Begitulah hari-hari manusia ber gumulan dengan rahsa yang
menyambanginya. Begitu realitasnya rahsa bagi kita manusia. Mau contoh mana
lagi ?. Ketika kita melihat makanan menggiurkan mata. Maka yang terbayang
adalah kelezatan, betapa rahsa enaknya makanan tersebut. Kita bernafsu ingin
menikmati makanan enak tersebut. Hal ini menjadi daya dorong bagi diri manusia
untuk melakukan aktifitasnya. Dia bekerja atau apa saja, demi terpenuhi angan
dirinya akan sebuah rahsa enak makanan tersebut.
Begitu halnya dengan contoh-contoh lainnya.
Rumah mewah, mobil mewah, dan lain-lainnya realitas yang kita kejar hakekatnya
adalah realitas rahsanya. Coba bayangkan seandainya semua yang kita kejar tidak
memiliki sensai rahsa sama sekali, apakah kita masih mau mengejar materi
tersebut. Mengejar rahsa-rahsa yang di dambakan jiwa. Rahsa cinta, rahsa
nikmat, semua rahsa-rahsa lainnya dalam keadaannya. Sungguh jiwa manusia setiap
detik dalam guliran rahsa ini semua. Maka adakah manusia yag mampu menetapi dan
berjalan diantara rahsa-rahsa tersebut, dan tidak terpengaruh oleh rahsa
tersebut. Kemudian dirinya, tetap menghadapkan dirinya kepada sang Penciptanya.
Bisakah manusia dengan kekuatannya sendiri melakukan hal itu ?. Inilah
pertanyaan yang patut kita jawab sendiri.
Dalam kajian sebelumnya sudah di paparkan
bagaimana kemudian manusia berupaya mencari jalan untuk mensucikan dirinya dari
amukan rahsa tersebut. Sebab rahsa apapun bentuknya, baik berasal dari kutub
positip maupun kutub negatip nyata-nyata tetap mengharu birukan manusia.
Membuat manusia tertatih-tatih menetapi hidupnya. Menetapi takdir-takdirnya.
Maka banyak yang bertapa, banyak yang meninggalkan anak-istri, pangkat, jabatan
atau lainnya. Mencari tempat-tempat sepi, dan sunyi demi mengenali rahsa.
Mengenali rahsa apa saja yang telah mengharu birukan jiwanya. Demi mengekang
rahsa yang memekat di dalam dirinya. Demi menghilangkan efek rahsa di dalam
jiwa mereka. Itulah upaya manusia-manusia dari jaman dahulu hingga kini.
Muncullah bermacam-macam methode dalam peradaban manusia, dalam menetapi arah menuju tujuan tersebut. Muncullah banyak jalan (methodologi). Di India di kenal adanya Yoga, meditasi, di cina ada tai-chi, pengekangan nafsu dengan menjadi rahib, biksu dan lainnya. Dan masih banyak sekali pengajaran yang di tawarkan. Agar manusia menemukan kenikmatan yang hakiki. Adalah kenikmatan dimana dirinya sudah tidak dipengaruhi atas pergolakan rahsa, dirinya tenang dalam kenikmatan spiritual. Begitulah manusia kemudian menemukan banyak jalan yang di tawarkan. Jalan nenek moyang terdahulu. Jalan-jalan ini kemudian banyak di sebut juga dengan Agama. Hindu menawarkan jalan mereka, Budha menawarkan jalan mereka, Kristen menawarkan jalan mereka juga, Bathiniyah menawarkan jalan mereka juga. Tak luput juga Islam menawrkan jaln terbaiknya juga. Semua menyebutkan jalan mereka adalah jalan yang tercepat, jalan yang lurus, jalan yang terbaik.
Muncullah bermacam-macam methode dalam peradaban manusia, dalam menetapi arah menuju tujuan tersebut. Muncullah banyak jalan (methodologi). Di India di kenal adanya Yoga, meditasi, di cina ada tai-chi, pengekangan nafsu dengan menjadi rahib, biksu dan lainnya. Dan masih banyak sekali pengajaran yang di tawarkan. Agar manusia menemukan kenikmatan yang hakiki. Adalah kenikmatan dimana dirinya sudah tidak dipengaruhi atas pergolakan rahsa, dirinya tenang dalam kenikmatan spiritual. Begitulah manusia kemudian menemukan banyak jalan yang di tawarkan. Jalan nenek moyang terdahulu. Jalan-jalan ini kemudian banyak di sebut juga dengan Agama. Hindu menawarkan jalan mereka, Budha menawarkan jalan mereka, Kristen menawarkan jalan mereka juga, Bathiniyah menawarkan jalan mereka juga. Tak luput juga Islam menawrkan jaln terbaiknya juga. Semua menyebutkan jalan mereka adalah jalan yang tercepat, jalan yang lurus, jalan yang terbaik.
Semua mengatakan jalan mereka adalah
jalan yang terhebat di banding jalan-jalan lainnya. Kalau jalan yang lain
menuju neraka maka jalan mereka di jamin akan masuk surga. Semua melakukan
klaim bahwa jalan mereka tersebutlah yang akan menghantarkan peminatnya ke
surga. Jikalau di tanyakan siapakah sebenarnya yang membangun jalan
tersebut ?. Sungguh banyak diantara mereka tidak mengerti. Banyak dari mereka
sebenarnya tidak mengerti jalan mereka sendiri. Meski sudah di tuntun dan di
pegang tangan mereka sekalipun, mereka tetap tidak akan mampu melihat jalan
mereka, yang mereka perebutkan itu.
Islam menggunakan jalan kepasrahan total kepada
Allah. Untuk mendapatkan kenikmatan hakiki. Terbebas dari himpitan rahsa. Yaitu
berserah total kepada Allah. Mengembalikan semua rahsa di jiwa kepada pemilik
rahsa (Allah), tidak ada setitik rahsapun yang kita ‘kangkangi’. Semua
dikembalikan kepada-Nya. Meskipun seberat zarahpun rahsa tetap harus diserahkan
kembali kepada-Nya. Rahsa sedih harus kembali, rahsa dendam harus kembali,
rahsa sakit harus kembali, rahsa duka lara dan nestapa harus kembali. Pendek
kata seluruh rahsa harus kita kembalikan kepada-Nya. Kita berserah saja. Ya
semua rahsa harus kembali, setelah kita cukup menggunakan sebagai daya dorong
dalam aktifitas kita. Rahsa hanyalah sekedar menjadi daya dorong (drive) saja,
selebihnya rahsa yang teringgal harus kembali kepada-Nya.
Begitu berbahayanya, residu rahsa, sisa-sisa rahsa yang tertinggal, maka kita harus kembalikan dengan mengucapkan ‘Inalillahi wa inailaihi rojiun”. Dengan pengakuan ini, Allah akan mengambil kembali milik-Nya. Allah akan membersihkan jiwa kita, perlahan tapi pasti sisa rahsa yang teringgal akan di bersihkan, ditarik sebagaimana angin yang bertiup. Terus dan terus, membiarkan Allah yang akan membersihkan diri dan jiwanya itu. Yakin dan istikomah akan hal ini. Inilah methodologi Islam. Kepasrahan, berserah, aatu apa saja maknanya itu.
Begitu berbahayanya, residu rahsa, sisa-sisa rahsa yang tertinggal, maka kita harus kembalikan dengan mengucapkan ‘Inalillahi wa inailaihi rojiun”. Dengan pengakuan ini, Allah akan mengambil kembali milik-Nya. Allah akan membersihkan jiwa kita, perlahan tapi pasti sisa rahsa yang teringgal akan di bersihkan, ditarik sebagaimana angin yang bertiup. Terus dan terus, membiarkan Allah yang akan membersihkan diri dan jiwanya itu. Yakin dan istikomah akan hal ini. Inilah methodologi Islam. Kepasrahan, berserah, aatu apa saja maknanya itu.
Islam mengajarkan kepada kita, untuk tidak mengangkakangi rahsa. Islam mengajarkan kita untuk mempu
dengan yakin mengucapkan “semua datangnya dari Allah akan kembali kepada
Allah”. Itulah ajaran Islam, itulah jalan Islam, itulah methodology Islam. Namun ternyata bagian inilah yang paling
tersulit. Meskipun kelihatannya mudah saja.Hanya sekedar , mengembalikan saja
seluruh rahsa.
Kajian sudah cukup panjang hingga sampai
disini, sampai dimana muaranya ?. Kenapa titik dan komanya seperti tidak
pernah ada. Waduh, memang begitulah berpilin dan bergulung-gulungnya
kesadaran. Semoga tidak sia-sialah kita meng kaji dan
memasuki terus kajian yang melelahkan ini. Insyaallah.
Kita sudah sampai kepada penghujung
kajian. Ternyata orang yang di berikan nikmat adalah orang-orang yang
mampu dengan seluruh kesadarannya mengembalikan seluruh rahsa yang
tertinggal, yaitu sisa-sisa rahsa yang menggayuti jiwanya. Yaitu orang-orang
yang ketika mendapat musibah mengucapkan “Ina lilahi wa inailahi rojiun”.
Adalah orang-orang yang dengan segenap kemampuan dirinya, dengan segenap kesadaran dan keyakinannya, dengan seluruh indra yang dimilikinya mengucapkan “semua milik Allah akan kembali kepada Allah “. Inilah hakekat sebenarnya ber-Islam (ber serah diri).“Lha, kok sederhana sekali, kok gampang sekali”.
Memang gampang kok, siapa yang bilang Islam itu sulit. Islam itu mudah Al qur an juga mengatakan begitu. Bukankah kita sudah mendapat informasi ini ber kali-kali. He..he..Tapi kenapa kok kita sulit sekali memahami ini yah. Ya, memang begitu keadaannya. Selama puluhan tahun mencari, rasanya kok baru sekarang ini saya juga mengerti. Kita tinggal mengembalikan seluruh rahsa sedih di tinggal mati, kita diminta hanya mengembalikan rahsa duka lara, apapun keadaan rahsa yag menggumuli diri kita. Apapaun rahsa yang menggumuli diri kita, ketika kita mendapatkan musibah. Maka kita di minta hanya mengembalikan semua rahsa ini kepada Allah. Kita tinggal mengembalikan rahsa dendam dan sakit hati, mengembalikan rahsa patah hati dan mau mati. Dan apa saja macam rahsa yang ada dalam dimensi manusia. Pokoknya kita tinggal disuruh duduk manis saja. Jangan mengaku-aku bahwa rahsa itu miliknya. Begitu saja. Titik tidak pakai koma lagi. Hik.
"Sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah pada-Nya (al-Islam)." (QS. Al-Imran 3:19).
Berdasarkan alur pemikiran ini, kita sudah mendapatkan ‘entry point’ lagi. Sikap pasrah pada-nya, adalah merupakan jalan adalah merupakan Agama. Agama yang lurus untuk mendapatkan kenikmatan yang hakiki. Orang-orang yang diberikan nikmat adalah orang-orang yang di mudahkan jalan-jalan mereka menuju jalan ber serah ini (Islam). Yaitu jalannya bagaimana ber-Islam yang benar. Bagaimana posisi keadaan hal kita, dalam keadaan pasrha, nerserah, yang sungguh-sungguh berserah kepada-Nya.
Jadi sikap pasrah, sikap berserah inilah, (posisi keadaan hal) hakekat sebenarnya yang dikatakan sebagai jalan yang lurus. Selama ini pemahaman manusia, tercampur antara pemahaman syariat, hakekat dan makrifat. Kita sedang membicarakan hakekat pemahaman jalan yang lurus. Adalah jalan Islam.
Semenjak dari jaman nabi Adam hingga meluncur
terus sampai ke jaman Rosululloh. Kesadaran akan jalan lurus sebagaimana yang
di maksud ini, tetap bertahan pada sebagian manusia pada saat itu.
Kesadaran ini di turunkan terus dan terus melintas generasi, bertahan sekian
lama dalam kesadaran manusia. Walau mungkin jumlah mereka sedikit. Walau
mungkin sejarah tidak mencatatnya. Kesadaran ini terus bertahan dalam dimensi
manusia. Kesadaran yang murni dan benar, kesadaran yang terus menjadi
saksi atas keberadaan Allah Tuhan manusia. Kesadaran ini senantiasa ber tasbih
mengikuti tasbih alam semesta. Meskipun kita tidak pernah tahu siapakah
mereka-mereka itu.
Kesadaran murni ini, bertemu dengan
utusan-utusan Allah, para nabi dan rosul. Kesadaran ini yang membenarkan para
rosul. Kesadaran ini terus di turunkan, tanpa dapat di cegah juga oleh manusia.
Terus berlangsung, di tengah peradaban manusia, kesadaran yang tak kasat mata.
Menyaru sebagai apa saja, yang petani, yang pengemis, yang raja, yang penguasa,
yang miskin, yang kaya. Semua tanpa di sadari sudah ber serah toatal kepada
maunya Allah. Tanpa mereka ber susah payah lagi. Kesadaran inilah yang mungkin
menyeruak dan berada dimana saja. Di tengah kesadaran kolektif Agama Islam,
Hindu, yahudi, Kristen, bathiniyah, dan manusia-manusia biasa lainnya. Diantara
mereka ada hati-hati yang bersih, hati-hati yang senantiasa berserah kepada
Tuhannya. Hati-hati yang senantiasa menganggungkan sang Pencipta alam semesta.
Hati-hati yang penuh empati. Hati-hati yang tidak banyak berucap namun lebih
banyak bertindak, dengan kasih sayangnya. Menyayangi umat-umat lainnya. Mereka
benar-benar hanya hamba Allah. Menghambakan dirinya hanya kepada maunya
Allah. Mereka hati yang ikhlas. Tersebar di semua golongan
manusia.
Maka semua golongan jika tidak ber serah diri, kepada Tuhan (Allah), sebagaimana mereka-mereka itu, adalah termasuk orang-orang yang rugi. Sebagaimana firman Allah berikut ini sbb:
Maka semua golongan jika tidak ber serah diri, kepada Tuhan (Allah), sebagaimana mereka-mereka itu, adalah termasuk orang-orang yang rugi. Sebagaimana firman Allah berikut ini sbb:
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. 3:85)
Setiap manusia dari golongan apapun
seharusnya memiliki keadaan hal, sikap Islam seperti dimaksud ayat tersebut.
Apapun golongan mereka, apapun agama mereka. Inilah sikap yang benar. Inilah
jalan awal yang benar terlebih dahulu. Jalan yang lurus. Jika mereka
sudah dalam posisi ini. Jika mereka sudah ber serah kepada pengajaran Allah
Tuhan manusia, maka Allah kemudian akan mengajarkan apa saja yang tidak di
ketahuinya. Allah akan menunjukan hikmah-Nya, kepada kebenaran yang sejati.
Bagi Allah sikap ini yang terpenting terlebih dahulu. Sebab jika manusia semua
berada dalam sikap seperti ini, maka Allah akan memberikan pengajaran-Nya,
Allah akan menurunkan ilmu-Nya. Jika Allah yang mengajarkan, maka
pastilah hasilnya akan sama. Manusia tidak akan ber golong-golongan lagi.
Manusia tidak akan bererbutan kebenaran
lagi. Inilah hakekatnya.
Sesungguhnya orang-orang
mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak mereka bersedih hati (Sura 5:69).
Benar mereka tidak perlu khawatir, jika mereka
sudah ber serah diri (Islam) maka Allah pasti akan menunjukkan jalan-jalan-Nya.
Ketika Allah sudah menunjukkan jalan-Nya, maka hasilnya pasti akan sama dalam
pengajaran-Nya. Jalan yang sama yang akan mereka dapatkan.dan hasil yang sama
pula. Kesadaran yang sama. Kenikmatan yang sama. Meskipun pada awalnya mereka
Yahudi, nasrani, Shabiin, ataupun mukmin sekalipun. Inilah jaminan pengajaran
Allah, maka karenanya mereka tidak perlu khawatir dan ber sedih hati, yang
penting mereka tetap melakukan amal sholeh dan ber serha diri (Islam).
Tunggulah saja, Allah pasti akan menunjukkan jlan-jalan-Nya bagi mereka
itu.
Bukannya malah sebaliknya, mereka mengaku
Islam. Namun akhlak dan perilakunya menunjukan arogansi, sering melakukan
kekerasan, memaksakan kehendak, dan lain-lainnya, jauh dari amal sholeh.
Maka perhatikan saja, siapakah nantinya yang akan mendapatkan pengajaran Allah.
Sikap ber serah (Islam) ini sulit sekali,
karena berpilinnya kesadaran manusia. Maka setiap golongan yang sedang dalam
upaya ini sangat di hargai oleh Allah. Kita tidak boleh menghalangi siapapun
yang sedang berusaha menuju jalan kembali kepada-Nya. Kita tidak boleh
menghakimi orang-orang yang sedang menyebut nama Allah di dalam masjid-masjid
mereka itu. Sungguh, tunggulah saatnya jika mereka sudah ber serah diri, maka
mereka akan mengakui kebenaran Islam adanya. Sebagaimana sebagian besar umat
Islam yang belum mulai ber serah diri (Islam) sama saja keadaan mereka itu
diantara mereka itu dalam posisi posisi keadaan hal-nya.
Jika mereka sudah mampu
berserah, maka merekapun akan memahami dan mengakui bahwa syariat yang di
wajibkan atas mereka, adalah dimaksudkan untuk menjaga posisi dalam
keadaan hal ber serah (Islam) yang dimaksudkan. Adalah posisi dalam makom takwa. Inilah selanjutnya posisi
yang akan mereka dapatkan, jika mereka menetapi syariat. Sangat penting
sekali bagi orang yang sudah mampu ber serah diri (ber Islam). Bukan jalannya
orang-orang yang bertapa, ber pantang kawin, atau menjauhi dunia lainnya.
Ketika kita sudah mampu ber takwa, maka kita akan berada dalam keadaan
kenikmati hakiki.
Jika mereka sudah mampu ber serah diri (Islam)
Selanjutnya mereka akan memahami, methodology siapakah yang paling benar
diantara agama satu dan lainnya. Mereka akan mengakui bahwa methodology Islam
dengan Rukun Iman, Islam dan Ikhsannya adalah methode yang paling sempurna
diantara agama-agama di seluruh muka bumi ini. Mereka kemudian akan mengakui
kenabian Muhammad SAW, Rosululloh.
Maka sekarang ini mereka sesungguhnya masih
berada di dalam makom mereka masing-masing. Diantara mereka sudah ada yang
mampu ber serah diri (ber _Islam), namun banyak dianataranya juga masih belum
mampu ber Islam. Sebagaimana halnya keadaan umat islam. Banyak sekali umat
Islam yang masih belum mampu ber Islam (ber serah diri). Sehingga sama saja
bagi mereka semua. Sama keadaanya. Hanya sedikit dianatara umat terdahulu dan
sekarang ini yang mampu ber Islam. Maka bukankah sebaiknya kita masing-masing
instrospeksi ke dalam diri kita masing-amsing. Jangan-jangan Islam kita juga
masih sama . masih satu makom dengan mereka-mereka itu. Maka bukankah sebaiknya
kita perbanyak amal shaleh sebagai bentuk wujud kita dalam ber Islam.
Maka bukankah sudah bukan pada tempatnya, bagi kita yang sudah tahu hal ini?. Maka jadilah orang yang sedikit itu. Marilah kita perbanyak amal ibadah kita saja, dari pada mengurusi hal-hal remeh. Islam menganggap setiap agama dalam makom mereka keadaannya. Sebagai mana sikap nabi Ibrahim, ketika mengingatkan umatnya itu. Dan sebagaimana firman Allah SWT sbb:
"Kemudian Kami
(Allah) wariskan Kitab Suci pada kalangan para hamba Kami yang Kami pilih, maka
dari mereka ada yang (masih) berbuat zalim, dari mereka ada yang tingkat
pertengahan (muqtashid), dan dari mereka ada yang bergegas dengan berbagai
kebijakan dengan izin Allah" (QS. Fathir35:32).
Nah, diantara mereka yang sudah ber serah diri
pun (ISLAM), masih bertingkat-tingkat. Bagaimana dengan keadaan kita ?. Sesungguh, aku memohon kepada Allah agar
senantiasa mampu dzikir, mampu, syukur, dan ber ibadah yang baik. Demikian, kajian ini saya
akhiri. Semoga mampu memberikan wacana tersendiri.
Wolohualam
salam
arif
salam
arif
Komentar
Posting Komentar