Kajian Al Nafs 2, Kuda Perang (yang) Berlari Kencang
Dalam menghadapi realitas kehidupan seperti ini, Islam
telah memberikan panduannya secara lugas. Karakter seperti apakah manusia yang
akan sanggup bertahan. Karakter seperti apakah jiwa manusia yang akan tetap
sanggup menjalankan visi dan misi nya di muka bumi ini sebagai khalifah.
Karakter seperti apakah jiwa manusia yang akan tetap istikomah berada di jalan-Nya
dalam menghadapi benturan peradaban seperti sekarang ini. Ya, Allah mengambil
sumpah pada karakter KUDA PERANG. Karakter jiwa seperti inilah yang akan mampu
menjawab tantangan jaman. Inilah karakter muslim sejati. Karakter seorang
khalifah yang berdiri kokoh berada dalam kancah peradaban manusia, dalam kancah
pertarungan dan peperangan kesadaran. Karena karakter ini begitu kokoh,
sebab mereka fokus dalam setiap langkahnya, dalam kesadaran mereka tiada ilah
kecuali Allah. Tiada alam semesta ini, tiada sedih dan duka,tiada realitas dan
ghaib, tiada dualitas lagi, yang ada hanyalah Allah. Allah dan Allah.
Mereka memiliki kesadaran tertinggi, adalah dengan (berkat) kasih sayangnya di
ciptakan-Nya manusia. Manusia dikirim ke bumi, untuk menjadi saksi kesebesaran-Nya.
Akan di tunjukan di ufuk barat dan timur, di seluruh permukaan bumi yang mampu
di jangkau oleh manusia, dan di ujung yangtidak terjangkau sekalipun dengan
teknologi manusia, bahkan dalam akal dan pikiran, dalam angan manusia
akan di tunjukan betapa kebesaran_NYA. Manusialah saksi kebesaran Allah.
Manusia adalah khalifah-NYA.
Sayangnya, harta dunia telah menghiab mereka. Kecintaan
mereka akan dunia telah menghalangi mereka semua. Manusia dalam kesadaran yang
terbelenggu. Sehingga mereka kesulitan membentuk karakter muslim sejati.
Keimanan mereka hanyalah sebatas angan semata. Bagaimanakah menjelaskan keadaan
ini ?.
Dan sesungguhnya
cintanya kepada harta benar-benar berlebihan (QS. Al-adiyat 8)
Dasar penerimaan
Manusia mengalami kesulitan ketika dalam kehidupannya di
gulirkan segala macam rahsa, melalui persepsi manusia itu sendiri dan juga
melalui beberapa kejadian dalam realitas kehidupan mereka itu sehari hari.
Sukses, kecewa, senang, sedih, dendam, rindu, dan lain sebagainya. Dalam
keadaan diri mereka, mereka merasa apa yang di lihatnya itulah sejatinya
realitas dirinya. Bagi mereka untuk itulah mereka hidup di dunia. Mereka
semua menganggap bahwa itu keadaan yang nyata. Mereka belum mampu memahami ada
sesutau yang mengatur di luar dirinya. Ketika rahsa mengamuk, manusia akan
kesulitan menentukan manakah yang realitas dan manakah yang ghaib.
Hal ini membawa sebab, mereka tidak mampu melihat Tuhan, mereka
tidak mampu melihat Allah yang mengatur semua kejadian. Mereka tidak mampu ber
Ihsan.
Pengajaran Islam sulit
sekali menembus wilayah ini. Karena setiap diri sudah membentengi pemahaman dan
persepsi terlebih dahulu. Maka dalam setiap bahasan, kajian wilayah ini sering
di hindari. Kajian perihal Ihsan menjadi hal yang sulit di jelaskan. Begitu
juga halnya, sulit sekali memasuki ke wilayah rahsa-rahsa
yang disusupkan Allah, padahal wilayah ini adalah wilayah yang lebih realitas
bagi setiap diri manusia. Setiap kajian menghindari bahasan tentang wilayah
rahsa ini (DZAUK) karena memang sulit di pahami. Manusia menganggap bahwa
wilayah ini terlalu tabu di bicarakan, rahsa cinta, rahsa benci, rahsa dendam,
dan rahsa-rahsa lainnya, dianggap bukan bagian dari diri manusia. Padahal dalam
memahami takdir, dalam menghadapi kerasnya kehidupan, pemahaman wilayah ini
sangat penting sekali, agar manusia tetap berada dalam jalan-NYA. Manusia harus
mengenali dan dapat membedakan, berada dalam makom rahsa apakah dirinya, takwa,
iman, kafir, munafik, fasik, ataukah bauran diantara itu semua. Bagaimana
manusia dapat memahami jika tak mengenali. Bagaimana mengenali jika tidak di
ajarkan ?.
Inilah yang menjadi
problematika kita umat Islam. Pemahaman yang salah, membawa akibat
kesulitan tersendiri bagi umat untuk memahami bagaimana seharusnya mereka
bersikap dalam menghadapi takdir-takdir mereka. Bagaimanakah mereka menetapi
guliran rahsa, yang setiap saat di gilirkan oleh Allah. Rahsa yang begitu
saja menyusup dalam relung hati, tanpa dapat kita cegah. Kajian tentang hati,
kajian tentang jiwa, menjadi wilayah penghakiman bagi sebagian umat Islam.
Tanpa kita mencoba memahami dan berusaha untuk mengerti, bahwa wilayah ini
adalah hak preogratif Allah, kepada hamba-hamba-Nya. Tidak ada seorang-pun yang
minta rahsa sedih, tidak ada seorang pun mau menjadi orang yang salah. Semua
orang akan merasa benar, semua orang ingin benar. Keadaan ini, menjadi
pertarung dalam diri manusia. Menciptakan pelbagai macam sifat-sifat dan
karakter manusia. Telah banyak hal ini di beritakan dalam Al qur
an.
Kajian-kajian tentang
jiwa manusia, tentang psikologi justru malah berkembang di dunia barat. Umat
Islam tidak berani secara terbuka membahas dalam setiap kajian. Umat Islam
sudah terdogma bahwa diri mereka adalah umat yang benar. Maka mereka tak perlu
lagi bersusah payah mencari hikmah. Padahal setiap jiwa manusia adalah sama,
tidak terkecuali mereka Islam ataukah bukan, di susupkan jiwa kefasikan dan
ketakwaan diantara mereka-mereka semua. Seluruh manusia, tanpa kecuali
mendapatkan susupan ini. Ini hukum Allah. Jadi masing-masing diri harus ber
perang, mengenali dan menetapi jalan mereka sendiri-sendiri, mereka harus
memilih dan memilih manakah jalan kefasikan dan manakah jalan ketakwaan. Tidak
ada jaminan bahwa kita yang di lahirkan oleh orang tua yang Islam akan masuk
surga. Setiap diri harus berusaha meniti jalannya masing-masing. Maka setiap
diri harus berani mengatakan kelemahan diri mereka masing-masing. Dianta kita
dan mereka semua akan di uji, siapakah yang paling baik amalnya. Diantara umat
Islam, Kristen, Budha, Hindu dan diantara yang lainnya.
Umat Islam tidak boleh
mengaku bahwa diri mereka adalah yang paling baik amalnya. Semua penilaian ada
pada Allah. Allah nanti yang akan menentukan. Di hari akhir nanti apa-apa yang
ada dalam dada-dada mereka. Apa saja yang tersembunyi dalam hati mereka, akan
di lahirkan, di keluarkan, di buka, diungkapkan oleh Allah. Masihkah kita
akan mengaku-aku nantinya (?).
Dasar penerimaan
setiap manusia nanti yang akan menjelaskan, akan dibuktikan, apakah yang
mendasari, apakah niat mereka hanya kepada Allah, Tuhan yang Esa, ataukah
kepada lainnya. Dasar penerimaan kita dalam menjalani kehidupan kita dalam
peradaban sekarang ini. Dalam setiap tindakan, ucapan, dan seluruh akltifitas
kita nanti. Kita semua harus berani menguji sekarang ini, kita harus berani
mengatakan apa-apa yang salah pada diri kita kepada Allah, dari pada semua itu
nanti di bukakan kepada seluruh makhluk-Nya. Apa-apa yang tersembunyi di dalam
hati kita ini.
Menjadi penting apakah
dasar penerimaan kita. Inilah dasar penerimaan, yaitu dasar penerimaan kita
umat Islam, adalah system pengajaran ke Iman an kita. Hakekat tauhid kita umat
Islam. Dasar penerimaan yang menjadi pondasi umat Islam dalam mengarungi
realitas kehidupannya. Dasar penerimaan tersebut telah menjadi syarat mutlak
keimanan seorang muslim, menjadi sebuah rukun, menjadi sebuah kepastian yang
harus di miliki dalam setiap jiwa muslim. Menjadi syarat mutlak agar setiap
diri dapat di sebut muslim. Menjadi sebuah karakter muslim. Menjadi
pembeda dalam ranah peradaban antara bangsa, antar diri manusia. Manakah jiwa
muslim yang menjadi rahmat semesta alam dan manakah jiwa yang hanya
mengaku-ngaku dia adalah muslim.
Setiap diri harus
meampu menguji dasar penerimaan tersebut ke dalam hatinya masing-masing, dan
berani jujur kepada Allah;
Penerimaan
ayat pertama :
Penerimaan ALLAH SWT
sebagai Tuhan kita, yang menciptakan diri kita, yang menggenggam nyawa kita,
Tuhan yang Satu. Kepada Dia-lah kita menyembah dan memohon pertolongan.
Penerimaan
ayat kedua :
Penerimaan kepada
malaikat-malaikat Allah, yang menjalankan tugas dari Allah, mereka memiliki
tugas masing-masing, dalam keghaiban mereka mengatur jalannya kehidupan,
sebagaimana yang bisa kita lihat ini.
Penerimaa
ayat ketiga :
Penerimaan kepada
kitab-kitab Allah, yang telah di turunkan melalaui beberapa utusan-utusannya.
Kitab yang tersembunyi dalam setiap jiwa manusia. Kitab yang di nampakkan
kepada kita. Kitab yang menjelaskan makna realitas dan ghaib itu sendiri.
Penerimaan
ayat keempat :
Penerimaan kepada nabi
dan Rasul-rasul-Nya. Mereka-mereka adalah wali-wali Allah, utusan yang meng
khabarkan hakekat realitas itu sendiri, agar manusia tidak tertipu dengan hal
yang bukan realitasm (ghaib). Menjelaskan kepada kita, mengkhabarkan kepada
kita, bagaimana kita membangun jiwa kita, membangun realitas takdir kita
masing-masing. Membedakan manakah skala prioritas kita dalam memaknai realitas
itu sendiri. Bahwa ada dunia akherat. Adalah sejatinya dunia yang lebih
realitas di banding kehidupan di bumi ini. Mengajarkan kepada kita bagaimana
sejatinya kita melakoni kehidupan di bumi ini, agar kita tenang, agar kita
puas, agar kita ridho. Mereka teladan kita semua, para nabi adalah jiwa-jiwa
yang sempurna, sebagai contoh atas manusia. Kita mohon kepada Allah agar mampu
mengarahkan diri kita untuk senantiasa mengikuti keadaan diri para nabi dan
rosu. Dalam batasan raga kita ini. Inilah pentingnya mereka di turunkan sebagai
utusan, sebagai panduan untuk kita semua. Sesungguhnya jiwa seperti apakah yang
nantinya akan kembalai kepada-Nya. Dari utusan-utusan tersebut kita tahu, maka
selanjutnya tingal arahkan jiwa kita untuk mengikuti ajaran-ajarannya. Sehinga
karakter jiwa kita adalah sebagaimana karakter mereka. Sekali lagi dalam
batasan diri kita masing-amsing.
Penerimaan
ayat kelima
Penerimaan atas hari kiamat. Sebagai awal babak baru di
mulainya dunia akherat. Sebuah pemahaman atas dualitas realitas dan ghaib.
Menjadikan sebuah pemahaman akan kepastian bagi kita yaitu adalah ke
ghaiban itu sendiri. Kita harus meyakini sesuatu yang ghaib yaitu hari akhir,
disisi lainnya jiwa manusia seakan-akan tidak pernah mati. Kesadaran adanya
dunia akherat, menjadikan sebuah kesadaran yang diperlukan bahwa ada dualitas
dalam alam semesta. Ada keseimbangan yangmutlak harus kita perhatikan. Kita
harus menenrtukan skala priotitas manakah yang lebih real hidup di dunia
sekarang ini ataukah nanti di akherat. Manakah yang kita utamakan, manakah yang
kita prioritaskan. Kesadaran kita di uji, pemahaman kita di tantang. Adanya
dualitas dunia dan adanya akherat. Menjadi sebuah hukum keseimbangan,
menjadi sebuah pemahaman dualitas alam semesta dan bagaimana rencana
Tuhan mengatur kesemuanya itu dalam hokum kepastian yang tidak merugikan
sedikitpun atas hamba-hamba-Nya.
Penerimaan ayat
keenam:
Penerimaan kepada kepada Qada dan Qadar, kepada takdir
kita. Kepada segala sesuatu yang ghaib, yang nyatanya adalah lebih realitas
dibandingkan dengan apa-apa yang kita lihat dan kita rasakan. Sebagaimana
program software computer, adalah lebih realitas dari pada apa yang
nampak dalam tampilan di layar monitor computer kita. Inilah sebuah system,
ya.. sebuah system yang mengatur kehidupan kita, lebih realitas dari pada apa
yang nampak dalam kehidupan kita sehari-hari, sebab system itulah yang
mengatur jalan kehidupan seluruh umat manusia, seluruh alam semesta. Sistem
tersebut adalah realitas itu sendiri, menjadi sebab bagaimanakah peradaban di
bumi ini di gelar, sebagaimana sekarang ini, yang nampak oleh mata kita saat kini.
Maka jika kita gagal dalam penerimaan diri kita, jika kita
gagal memahami rangkain makna dalam system pengjaran Islam tersebut. Maka kita
akan gagal membangun karakter jiwa muslim sebagaimana contoh para nabi dan wali
Allah. Sekali lagi, jika dari salah satu syarat penerimaan diatas tersebut
gagal, maka gagal-lah keimanan kita sebagai seorang muslim sejati. Maka gagal
pula kita membangun karakter diri kita sebagaimana karakter KUDA PERANG.
Kita di tuntut untuk mampu memahami dan menetapi seluruh
rangkaian pra syarat dari 1-6, ketika kita gagal pada salah satunya maka gagal
keimanan kita. Disinilah pondasi akidah dan sisten tauhid pengajaran Islam.
Misalnya, jika kita gagal melakukan penerimaan atas takdir kita, maka gagal-lah
system keimanan kita. Maka bersiaplah !, semua pilihan tersebut ada pada diri
kita. Apakah kita akan menghadapkan penerimaan diri kita kepada Allah, kepada
seluruh system yang dibangun-NYA. Yaitu system rangkaian penerimaan 1-6
tersebut, yang kita kenal dengan RUKUN IMAN. Atau kepada system yang di
bangun oleh HOACH ( Thogut). KItalah yang menentukan arah jalan kita sendiri.
Wolaohualam.
Bagian berikutnya akan menjelaskan kaitan atas pentingnya
dasar penerimaan dan dengan ke khusuk an itu sendiri.
Bersambung ke kajian sebuah Pengajaran
yang terlupa.
Salam
arif
Komentar
Posting Komentar