Kajian Al Nafs 2, Kuda Perang (yang) Berlari Kencang


Dalam 2 kajian pendahuluan di muka, kita telah di bawa ke dalam dimensi realitas kehidupan. Bagaimana peradaban manusia yang sudah sedemikian hebatnya. Benturan peradaban terjadi disana sini. Perang informasi, teknologi, dan pengejaran materi yang terus menggila dari waktu ke waktu. Bagaimanakah kita umat Islam menyikapi?. Inilah problematika kita umat Islam, yang dilahirkan dalam peradaban teknologi, dalam abad milinieum ini, dalam era ‘hyper competition’, yang semakin kasat mata saja. Bauran peradaban telah memasuki wilayah kesadaran, membutuhkan pemahaman dan kearifan kita dalam mencarikan solusinya.  

Dalam menghadapi realitas kehidupan seperti ini, Islam telah memberikan panduannya secara lugas. Karakter seperti apakah manusia yang akan sanggup bertahan. Karakter seperti apakah jiwa manusia yang akan tetap sanggup menjalankan  visi dan misi nya di muka bumi ini sebagai khalifah. Karakter seperti apakah jiwa manusia yang akan tetap istikomah berada di jalan-Nya dalam menghadapi benturan peradaban seperti sekarang ini. Ya, Allah mengambil sumpah pada karakter KUDA PERANG. Karakter jiwa seperti inilah yang akan mampu menjawab tantangan jaman. Inilah karakter muslim sejati. Karakter seorang khalifah yang berdiri kokoh berada dalam kancah peradaban manusia, dalam kancah pertarungan dan peperangan  kesadaran. Karena karakter ini begitu kokoh, sebab mereka fokus dalam setiap langkahnya, dalam kesadaran mereka tiada ilah kecuali Allah. Tiada alam semesta ini, tiada sedih dan duka,tiada realitas dan ghaib,  tiada dualitas lagi, yang ada hanyalah Allah. Allah dan Allah. Mereka memiliki kesadaran tertinggi, adalah dengan (berkat) kasih sayangnya di ciptakan-Nya manusia. Manusia  dikirim ke bumi, untuk menjadi saksi kesebesaran-Nya. Akan di tunjukan di ufuk barat dan timur, di seluruh permukaan bumi yang mampu di jangkau oleh manusia, dan di ujung yangtidak terjangkau sekalipun dengan teknologi manusia,  bahkan dalam akal dan pikiran, dalam angan manusia akan di tunjukan betapa kebesaran_NYA. Manusialah saksi kebesaran Allah. Manusia adalah khalifah-NYA.

Sayangnya, harta dunia telah menghiab mereka. Kecintaan mereka akan dunia telah menghalangi mereka semua. Manusia dalam kesadaran yang terbelenggu. Sehingga mereka kesulitan membentuk karakter muslim sejati. Keimanan mereka hanyalah sebatas angan semata. Bagaimanakah menjelaskan keadaan ini ?.  

Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan (QS. Al-adiyat 8)


Dasar penerimaan

Manusia mengalami kesulitan ketika dalam kehidupannya di gulirkan segala macam rahsa, melalui persepsi manusia itu sendiri dan juga melalui beberapa kejadian dalam realitas kehidupan mereka itu sehari hari. Sukses, kecewa, senang, sedih, dendam, rindu, dan lain sebagainya. Dalam keadaan diri mereka, mereka merasa apa yang di lihatnya itulah sejatinya realitas dirinya. Bagi mereka  untuk itulah mereka hidup di dunia. Mereka semua menganggap bahwa itu keadaan yang nyata. Mereka belum mampu memahami ada sesutau yang mengatur di luar dirinya. Ketika rahsa mengamuk, manusia akan kesulitan menentukan manakah yang realitas dan manakah yang ghaib.   Hal ini membawa sebab, mereka tidak mampu melihat Tuhan, mereka tidak mampu melihat Allah yang mengatur semua kejadian. Mereka tidak mampu ber Ihsan.

Pengajaran Islam sulit sekali menembus wilayah ini. Karena setiap diri sudah membentengi pemahaman dan persepsi terlebih dahulu. Maka dalam setiap bahasan, kajian wilayah ini sering di hindari. Kajian perihal Ihsan menjadi hal yang sulit di jelaskan. Begitu juga halnya,   sulit sekali memasuki  ke wilayah rahsa-rahsa yang disusupkan Allah, padahal wilayah ini adalah wilayah yang lebih realitas bagi setiap diri manusia. Setiap kajian menghindari bahasan tentang wilayah rahsa ini (DZAUK) karena memang sulit di pahami. Manusia menganggap bahwa wilayah ini terlalu tabu di bicarakan, rahsa cinta, rahsa benci, rahsa dendam, dan rahsa-rahsa lainnya, dianggap bukan bagian dari diri manusia. Padahal dalam memahami takdir, dalam menghadapi kerasnya kehidupan, pemahaman wilayah ini sangat penting sekali, agar manusia tetap berada dalam jalan-NYA. Manusia harus mengenali dan dapat membedakan, berada dalam makom rahsa apakah dirinya, takwa, iman, kafir, munafik, fasik, ataukah bauran diantara itu semua. Bagaimana manusia dapat memahami jika tak mengenali. Bagaimana mengenali jika tidak di ajarkan ?.

Inilah yang menjadi problematika kita umat Islam. Pemahaman yang salah,  membawa akibat kesulitan tersendiri bagi umat untuk memahami bagaimana seharusnya mereka bersikap dalam menghadapi takdir-takdir mereka. Bagaimanakah mereka menetapi guliran rahsa, yang setiap saat di gilirkan oleh Allah. Rahsa  yang begitu saja menyusup dalam relung hati, tanpa dapat kita cegah. Kajian tentang hati, kajian tentang jiwa, menjadi wilayah penghakiman bagi sebagian umat Islam. Tanpa kita mencoba memahami dan berusaha untuk mengerti, bahwa wilayah ini adalah hak preogratif Allah, kepada hamba-hamba-Nya. Tidak ada seorang-pun yang minta rahsa sedih, tidak ada seorang pun mau menjadi orang yang salah. Semua orang akan merasa benar, semua orang ingin benar. Keadaan ini, menjadi pertarung dalam diri manusia. Menciptakan pelbagai macam sifat-sifat dan karakter manusia. Telah banyak hal ini  di beritakan  dalam Al qur an.

Kajian-kajian tentang jiwa manusia, tentang psikologi justru malah berkembang di dunia barat. Umat Islam tidak berani secara terbuka membahas dalam setiap kajian. Umat Islam sudah terdogma bahwa diri mereka adalah umat yang benar. Maka mereka tak perlu lagi bersusah payah mencari hikmah. Padahal setiap jiwa manusia adalah sama, tidak terkecuali mereka Islam ataukah bukan, di susupkan jiwa kefasikan dan ketakwaan diantara mereka-mereka semua. Seluruh manusia, tanpa kecuali mendapatkan susupan ini. Ini hukum Allah. Jadi masing-masing diri harus ber perang, mengenali dan menetapi jalan mereka sendiri-sendiri, mereka harus memilih dan memilih manakah jalan kefasikan dan manakah jalan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa kita yang di lahirkan oleh orang tua yang Islam akan masuk surga. Setiap diri harus berusaha meniti jalannya masing-masing. Maka setiap diri harus berani mengatakan kelemahan diri mereka masing-masing. Dianta kita dan mereka semua akan di uji, siapakah yang paling baik amalnya. Diantara umat Islam, Kristen, Budha, Hindu dan diantara yang lainnya.

Umat Islam tidak boleh mengaku bahwa diri mereka adalah yang paling baik amalnya. Semua penilaian ada pada Allah. Allah nanti yang akan menentukan. Di hari akhir nanti apa-apa yang ada dalam dada-dada mereka. Apa saja yang tersembunyi dalam hati mereka, akan  di lahirkan, di keluarkan, di buka, diungkapkan oleh Allah. Masihkah kita akan mengaku-aku nantinya (?).

Dasar penerimaan setiap manusia nanti yang akan menjelaskan, akan dibuktikan, apakah yang mendasari, apakah niat mereka hanya kepada Allah, Tuhan yang Esa, ataukah kepada lainnya. Dasar penerimaan kita dalam menjalani kehidupan kita dalam peradaban sekarang ini. Dalam setiap tindakan, ucapan, dan seluruh akltifitas kita nanti. Kita semua harus berani menguji sekarang ini, kita harus berani mengatakan apa-apa yang salah pada diri kita kepada Allah, dari pada semua itu nanti di bukakan kepada seluruh makhluk-Nya. Apa-apa yang tersembunyi di dalam hati kita ini.

Menjadi penting apakah dasar penerimaan kita. Inilah dasar penerimaan, yaitu dasar penerimaan kita umat Islam, adalah system pengajaran ke Iman an kita. Hakekat tauhid kita umat Islam. Dasar penerimaan yang menjadi pondasi umat Islam dalam mengarungi realitas kehidupannya. Dasar penerimaan tersebut telah menjadi syarat mutlak keimanan seorang muslim, menjadi sebuah rukun, menjadi sebuah kepastian yang harus di miliki dalam setiap jiwa muslim. Menjadi syarat mutlak agar setiap diri dapat di sebut muslim. Menjadi sebuah karakter muslim. Menjadi pembeda dalam ranah peradaban antara bangsa, antar diri manusia. Manakah jiwa muslim yang menjadi rahmat semesta alam dan manakah jiwa yang hanya mengaku-ngaku dia adalah muslim.

Setiap diri harus meampu menguji dasar penerimaan tersebut ke dalam hatinya masing-masing, dan berani jujur kepada Allah;

Penerimaan ayat pertama :
Penerimaan ALLAH SWT sebagai Tuhan kita, yang menciptakan diri kita, yang menggenggam nyawa kita, Tuhan yang Satu. Kepada Dia-lah kita menyembah dan memohon pertolongan.

Penerimaan ayat kedua :
Penerimaan kepada malaikat-malaikat Allah, yang menjalankan tugas dari Allah, mereka memiliki tugas masing-masing, dalam keghaiban mereka mengatur jalannya kehidupan, sebagaimana yang bisa kita lihat ini.

Penerimaa ayat ketiga :
Penerimaan kepada kitab-kitab Allah, yang telah di turunkan melalaui beberapa utusan-utusannya. Kitab yang tersembunyi dalam setiap jiwa manusia. Kitab yang di nampakkan kepada kita. Kitab yang menjelaskan makna realitas dan ghaib itu sendiri.

Penerimaan ayat keempat :
Penerimaan kepada nabi dan Rasul-rasul-Nya. Mereka-mereka adalah wali-wali Allah, utusan yang meng khabarkan hakekat realitas itu sendiri, agar manusia tidak tertipu dengan hal yang bukan realitasm (ghaib). Menjelaskan kepada kita, mengkhabarkan kepada kita, bagaimana kita membangun jiwa kita, membangun realitas takdir kita masing-masing. Membedakan manakah skala prioritas kita dalam memaknai realitas itu sendiri. Bahwa ada dunia akherat. Adalah sejatinya dunia yang lebih realitas di banding kehidupan di bumi ini. Mengajarkan kepada kita bagaimana sejatinya kita melakoni kehidupan di bumi ini, agar kita tenang, agar kita puas, agar kita ridho. Mereka teladan kita semua, para nabi adalah jiwa-jiwa yang sempurna, sebagai contoh atas manusia. Kita mohon kepada Allah agar mampu mengarahkan diri kita untuk senantiasa mengikuti keadaan diri para nabi dan rosu. Dalam batasan raga kita ini. Inilah pentingnya mereka di turunkan sebagai utusan, sebagai panduan untuk kita semua. Sesungguhnya jiwa seperti apakah yang nantinya akan kembalai kepada-Nya. Dari utusan-utusan tersebut kita tahu, maka selanjutnya tingal arahkan jiwa kita untuk mengikuti ajaran-ajarannya. Sehinga karakter jiwa kita adalah sebagaimana karakter mereka. Sekali lagi dalam batasan diri kita masing-amsing.

Penerimaan ayat kelima  
Penerimaan atas hari kiamat. Sebagai awal babak baru di mulainya dunia akherat. Sebuah pemahaman atas dualitas realitas dan ghaib. Menjadikan sebuah pemahaman akan  kepastian bagi kita yaitu adalah ke ghaiban itu sendiri. Kita harus meyakini sesuatu yang ghaib yaitu hari akhir, disisi lainnya jiwa manusia seakan-akan tidak pernah mati. Kesadaran adanya dunia akherat, menjadikan sebuah kesadaran yang diperlukan bahwa ada dualitas dalam alam semesta. Ada keseimbangan yangmutlak harus kita perhatikan. Kita harus menenrtukan skala priotitas manakah yang lebih real hidup di dunia sekarang ini ataukah nanti di akherat. Manakah yang kita utamakan, manakah yang kita prioritaskan. Kesadaran kita di uji, pemahaman kita di tantang. Adanya dualitas  dunia dan adanya akherat. Menjadi sebuah hukum keseimbangan, menjadi sebuah pemahaman  dualitas alam semesta dan bagaimana rencana Tuhan mengatur kesemuanya itu dalam hokum kepastian yang tidak merugikan sedikitpun atas hamba-hamba-Nya.  

Penerimaan ayat keenam:
Penerimaan kepada kepada Qada dan Qadar, kepada takdir kita. Kepada segala sesuatu yang ghaib, yang nyatanya adalah lebih realitas dibandingkan dengan apa-apa yang kita lihat dan kita rasakan. Sebagaimana program software computer, adalah  lebih realitas dari pada apa yang nampak dalam tampilan di layar monitor computer kita. Inilah sebuah system, ya.. sebuah system yang mengatur kehidupan kita, lebih realitas dari pada apa yang nampak dalam kehidupan kita sehari-hari, sebab system  itulah yang mengatur jalan kehidupan seluruh umat manusia, seluruh alam semesta. Sistem tersebut adalah realitas itu sendiri, menjadi sebab bagaimanakah peradaban di bumi ini di gelar, sebagaimana sekarang ini, yang nampak oleh mata kita saat kini.   

Maka jika kita gagal dalam penerimaan diri kita, jika kita gagal memahami rangkain makna dalam system pengjaran Islam tersebut. Maka kita akan gagal membangun karakter jiwa muslim sebagaimana contoh para nabi dan wali Allah. Sekali lagi, jika dari salah satu syarat penerimaan diatas tersebut gagal, maka gagal-lah keimanan kita sebagai seorang muslim sejati. Maka gagal pula kita membangun karakter diri kita  sebagaimana karakter KUDA PERANG.

Kita di tuntut untuk mampu  memahami dan menetapi seluruh rangkaian pra syarat dari 1-6, ketika kita gagal pada salah satunya maka gagal keimanan kita. Disinilah pondasi akidah dan sisten tauhid pengajaran Islam. Misalnya, jika kita gagal melakukan penerimaan atas takdir kita, maka gagal-lah system keimanan kita. Maka bersiaplah !, semua pilihan tersebut ada pada diri kita. Apakah kita akan menghadapkan penerimaan diri kita kepada Allah, kepada seluruh system yang dibangun-NYA. Yaitu system rangkaian penerimaan 1-6 tersebut, yang kita kenal dengan RUKUN IMAN.  Atau kepada system yang di bangun oleh HOACH ( Thogut). KItalah yang menentukan arah jalan kita sendiri. Wolaohualam.

Bagian berikutnya akan menjelaskan kaitan atas pentingnya dasar penerimaan dan dengan ke khusuk an itu sendiri.
Bersambung ke kajian sebuah Pengajaran yang terlupa.

Salam
arif

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali