Kisah Spiritual 11, Para Kesatria Penjaga Nusantara
Rupanya hawa dingin yang wingit keluar dari setiap gerakan
pemuda tanggung yang berumur 25 tahunan. Benar-benar seperti
cerita-cerita silat. Nafas sudah semakin berat di sekitar kalangan. Seperti
tekanan udara meninggi. Mengakibatkan ruangan semakin sesak buat bernafas.
“Ada apa ini, siapakah yang akan datang”. Terdengar suara wanita berbisik kepada Mas Dikonthole.
Dan tiba-tiba saat itu, tepat jam dua belas malam. Terdengar
hentakan mengelegar. Keluar dari mulut pemuda tadi. Diawali suara lirih
mendesis , lebih jelas kepada suara tasbih, berikut tahmid
dan takbir keluar bersama nafas yang mulai memberat.
Kemudian suara menghentak ke angkasa. Meninju langit dengan
tangan terkepal. Seperti tengah bertitah kepada angkasa yang bias rona
dalam cahaya rembulan yang menyinari, redup masuk dari celah ruangan. Kaki
menjejak bumi dengan kuatnya beberapa kali. Seperti memberikan aba-aba.
Dia berkata kepada alam semesta. Berkata kepada langit..kepada
bumi dan seraya berkata dalam titah, kepada pasukannya, di seluruh dimensi yang
ada.
“HUUAH..!..RRR….SAKSIKANLAH..BERITAKANLAH KEPADA LAINNYA..AKU SANG
MAHA RAJA TELAH HADIR DISINI..AKU TELAH DATANG DAN AKAN MENGUNDANG KALIAN
SEMUA…!!!”.
BLARRR..!. BLARR…rrr..!. rrt..tt !.
Menjadi sepi , seiring suara gelegar menghilang, melarut bersama
malam. Semua yang berada di ruangan itu, beringsut bersama pikiran
masing-masing yang tak beraturan lagi. Mengamati situasi dan keadaan yang tak
biasa dalam akal manusia.
Langit terdiam, malam seakan mengerti. Sepi beranjak menemani.
Pohon merunduk dan angin tidak berani bertiup. Sang waktu seakan berhenti.
Lengang ..sangat lengang sekali. Suara itu seakan masih bergaung terus
menguasai sang malam, dalam angan pikiran, hingga beberapa saat keadaan
itu. Tidak ada suara betul-betul senyap sekali.
Diam..!. Masuk kedalam diamnya sendiri. Dalam kesepian. Beberapa
orang di dalampun ternganga, seakan tersihir, menyaksikan semua. Hanya
beberapa detik namun telah meruntuhkan sendi-sendi tubuh mereka. Tak percaya,
namun ini terjadi dalam realitas nyata di depan mata kepala mereka.
Wanita itu membisiki Mas Dikonthole, “Sang Maharaja Sultan Agung
Hanyokro Kusumo, yang memanggil para leluhur untuk datang,
mengabarkan kepada mereka semua bahwa saatnya sudah tiba. Persiapan perhelatan
akbar membangun Nusantara baru segera akan di mulai. Alam sudah merujuk ke
arah tanda-tanda itu”
Setelah selesai dengan keperluannya, rupanya Sultan Agung tidak mau berlama-lama. Seiring dengan
angin yang tiba-tiba memasuki ruangan dengan kuat sekali. Tiba-tiba suasana
sudah berubah menjadi wingit dan dingin. Bau rupa seperti aroma
para raja terhendus kuat sekali, seperti dupa para resi. Blegh…blegh…sang
pemuda seperti mengalami goncangan sama seperti menaiki kendaraan.
Namun selanjutnya nampak lebih santai, nafasnya tertata,
tenang. Setengah alam yang menyambutnya. Menghantarkan memasuki ruangan.
Sang maha raja dari langit Majapahit telah datang di ruangan ini. Raden Wijaya sendiri datang menyambangi. Dengan
atribut keagungannya, dengan kemegahan dan keangkerannya. Dan mahkota berwarna
jingga keemasan.
Tubuh pemuda itu terus bergerak, seakan mengikuti kemana gerak
sang Maharaja. Gemulai, penuh hawa magic yang melingkupi dirinya. Namun
anehnya, pemuda ini, dirinya masih sangat sadar, masih mampu menjawab
pertanyaan, yang menanyakan keadaannya. Sayangnya energy dari masa lalu tak
mampu di tahan. Gerakannya seperti angin, seperti menari, seperti mengayun.
Memukul perlahan, seperti merenggangkan otot-otot saat latihan.
Suara lolongan anjing semakin mengeras, dari tetangga sebelah.
Namun kesepian semakin menghujam hati, orang-orang yang berada di ruangan itu.
Kain sarung semakin di tarik ke arah lebih tinggi menutupi kepala. Keadaan mala
mini, menyiutkan nyali siapa saja.
Mas Dikonthole diam tak mampu menggerakan sendi. Hawa dingin telah
merasuki sel-selnya. Ada bersitan rasa khawatir, enggan dan ingin melarikan
diri dari ruangan ini. Alam kesadarannya mencegahnya. Namun ada tarikan energy
lain yang berkebalikannya. Seperti ada rasa enggan bertemu dengan sang Maha
Raja.
“Ada apa ini..?” Batin Mas Dikonthole, mencoba mengejar dengan pertanyaan yang
logis.
Dia tidak pernah takut dengan apapun. Namun bertemu sang Maha
Raja, dia seperti mengalami sensasi‘wirang’ (Jawa ; malu sebab melakukan sesuatu hal yang membuka aibnya
sendiri).
Saat itu dia belum tahu kenapa ada rahsa seperti itu. Namun
dibelakang hari dia paham kenapa dirinya enggan bertemu dengan Maharaja. Raden Wijaya. Ya, sebab di dalam dirinya Aria Wiraredja, pernah ada salah
kepada Raden Wijaya. Dahulu saat dia
meminta bagian Majapahit bagian utara. Anak-anaknya tetap memberontak kepada
Majapahit Selatan pimpinan Raden Wijaya. Meski jatah Majapahit Utara telah di
berikan oleh Raden Wijaya. Aria Wiraredja terpedaya orang-orang disekitarnya.
Karenanya kesalahannya, Raden Wijaya kemudian menghukum mati Aria Wiraredja, dengan hukuman
badannya di tarik 4 ekor kuda. Tangan dan kakinya di ikat dari empat arah. Dan
sang kuda di suruh lari sekencang-kencangnya. Danb badannya
terbelah menjad 4 bagian. Inilah sebab mengapa Aria Wiraredja, selalu sungkan,
bersembunyi di dalam raga Mas Dikonthole, jika bertemu dnegan orang-orang masa
lalu, yang sejaman dengannya. Cara matinya yang mengenaskan telah membekas di
dalam dirinya.
Kisah ini tidak tercatat dalam sejarah. Kisah ini diceritakan
sendiri oleh orang-orang masa lalu. Bagaimana kematiannya mereka. Sungguh Mas
Dikonthole sekarang mengerti, mengapakah dalam dirinya seperti ada 2 jiwa yang
bertentangan. (Dalam hal-hal tertentu). Malu atas aib masa lalu membuat Aria Wiraredja atauBanyak Wide tidak berani menampakkan dirinya.
Secara psikologi membuat Mas Dikonthole menjadi orang pendiam dan
menjauhi pergaulan. Menjadi jelas setelahnya, ketika Mas Dikonthole memasuki
daerah Madura. Melewati jembatan Suromadu, raganya seperti meringkuk, tanpa
daya, seluruh energynya seperti di lolosi. Kesakitan seperti dia sedang
menjalani hukuman. Dan di Masjid terdekat Mas Dikonthole terkapar tanpa daya,
seperti kain yang jatuh. Dia terduduk di beranda Masjid tanpa mampu menyangga
tubuhnya lagi. Dan dirinya muntah beberapa kali. Habis semua cairan di dlaam
tubuhnya. Saat keluar terpaksa harus dipapah pergi oleh rekan-rekannya.
Dia pernah memimpin daerah sini, mungkin banyak kesalahan,
sehingga banyak penolakan di daerahnya ini. Energy ghaib mempapar dirinya tanpa
mampu di tahannya lagi. Maka dia saat itu tidak berani berlama-lama. Atau
aliran darahnya akan berhenti. Darahnya akan membeku dan tak mampu mengalir
lagi. Dia tahu resiko itu, maka dia meminta kepada rekannya agar di
hantarkan kembali ke hotel saja. Dia tidak berani menginjak kaki kaki lama-lama
di Madura. Dia memilih pergi dan bersiap melanjutkan perjalanan di keesokan
harinya ke makam-makam para wali di seputar Surabaya.
Itulah kisah-kisah (spiritual) kemudian yang diyakininya. Menjadi
satu rangkaian mengapa, di malam itu dia seperti ‘seekor tikus yang masuk ke air’.
Dia tidak berani mengangkat mukanya, berhadapan dengan Raden Wijaya.Tidak seperti saat
dirinya berhadapan dengan Ratu Pantai Selatan dan Ratu pantai Utara yang
datang. Diirnya mampu berhadapan sebagai teman dengan mereka.
Mungkin, karena kesalahan-kesalahan masa lalu yang diperbuat
inilah. Aria Wiraredja reinkarnasi kepada anak keturunannya.
Dengan maksud ingin menembus kesalahan-kesalahannya kembali. Dan sekarang saat
ini, kebetulan sudah berada di dalam badan wadag Mas Dikonthole. Entah percaya
atau tidak, dia sekarang ini tidak mau memusingkan hal ini. Bila toh banyak
energy menerpa tubuhnya, dia hanya menikmati saja.
Pesan
Sang Maharaja
Realitasnya tidaklah sebagaimana keadaannya. Apa yang disaksikan
mata bukanlah hakekat sebenarnya. Maka karena itu, kadang Mas Dikonthole enggan
melanjutkan ceritanya lagi. Sebab ‘ghaib’ hanya bisa di yakini dan di rahsakan
oleh orang yang percaya dan yang mengalaminya sendiri. Apalah gunanya ?.
Seseorang akan mampu merasakan sensasi ‘keghaiban’ jika dirinya
meyakini. Namun jika tidak maka atasnya akan kesulitan dalam merasakan ‘ghaib’
itu sendiri. Sungguh kesulitan tersendiri yang kadang membuat Mas Dikonthole
banyak asyik dengan dunianya sendiri. Bagaiamana dia asyik dengan pengenalan
energy-energy di ala mini. Energy yang memeiliki frkeuensi sebagai pengungkapan
jatidiri.
Pada setiap tubuh manusia sudah ‘di benam’kan ‘chip’ yang akan
mudah di lacak keberadaannya. Dengan mengenali nomernya maka dia akan bisa
dipanggil, sebagaimana layaknya Hp. Mudah dan simple saja. Maka Mas Dikonthole
tidak heran jika manusia jaman dahulu, mampu berkomunikasi kepada lainnya dalam
jarak jauh, meski belum ada Hp.
Kembali kepada pemuda yang masih di ruangan tadi. Rupanya
gerakannya sudah mulai mereda. Kemudian dia duuk bersila. Mengatur napas.
Meditasi untuk sekian lama. Mas Dikonthole tidak mencatat waktunya.
Sesaat matanya terbuka. Bola matanya bergerak memutari ruangan,
mencari seseorang. Dan pandangannya berhenti pada Mas Dikonthole. Meski hatinya
ciut, Mas Dikonthole mencoba menguatkan diri. Datang menghampiri tepat, duduk
bersila, persis di depan sang pemuda.
Nafasnya seperti tertahan, tersekat di tenggorokan. Jantungnya
nyaris berhenti dari degupnya. Hampir tak terasa apa-apa. Dia hanya berjalan
dnegan rahsanya saja. Tulangnya seperti tak ada sama sekali. Maka Mas
Dikonthole seperti menunduk saja, berhadpan dengan leluhurnya. Maharaja pendiri
Majapahit Raden Wijaya.
Lirih kemudian terdengar suara berwibawa, dalam bafas yang terasa
memberati jiwanya. Seperti sedang mengeluhkan atas situasi yang nampak di
hadapannya.
“Entah karena apa , kami di panggil dari peraduan kami jauh di
sana. Dimana kami semua hanya bersemedi, memuji keagungan-Nya. Kami senantiasa
bertasbih memuji nama-Nya. Daya ini begitu kuat memanggil kami untuk datang di
dunia ini lagi”
Suara itu terdengar mengawali pembicaraan, sepertinya tengah
bicara kepada dirinya sendiri. Menceritakan keadaan dirinya disana. Kemudian
juga menceritakan keadaan nusantara setelah di tinggalkannya. Kesedihannya
melihat hancurnya Majapahit. Negara yang didirikannya dnegan segenap tenaganya.
Apalagi sekarang anak keturunannya, sudah jauh meninggalkan
tradisi leluhur-lelhrunya. Mereka anak keturunan Majapahit, banyak yang
melupakan agama budhi. Diluarnya saja mereka nampak alim, dnegan menjalankan
ibadahnya. Namun hatinya berkeliaran tak terkendali. Maka banyak diantara
mereka jatuh kelembah kehinaan sebagai manusia. Sangat sedih dia menyaksikan
keadaan itu. Maka dia berpesan keapda Mas Dikonthole, agar terlebih dahulu dia
perdalam agama budhi. Yang penting isinya dahulu.
Raden Wijaya menampakkan kesedihan yang luar biasa. Bagaimana dia
meninggalkan anak keturunan yang jauh dari laku orang jawa. Mereka semakin jauh
dari Tuhan, mereka dengan sholatnya itu sudah menganggap sebagai betuk
penyembahan kepada Tuhan.Padahal jiwanya sama sekali tidak sampai kepada Tuhan.
Mereka hanya memikirkan harta dan dunianya saja. Kealiman mereka hanya nampak
dimata saja. Seperti itulah sebagaianbesar anak keturunanya sekarang ini.
Banyak sekali,Mas Dikonthole di kasih wejangan-wejangan. Tidak
terasa hampir dua jam dia duduk dalam keadaan bersila. Kakinya sudah terasa
kebas. Namun dia tidak berani untuk mengatakan keadaan dirinya yang sudah
hampir tidak tahan. Namun rupanya Raden Wijaya menegrti. Kemudian dia
menyudahi, sebab hampir menjelang subuh dia harus kembali ke peraduannya,
ketempat semedinya. Memuji Tuhannya.
Sebelum pergi, Raden Wijaya, berkata. :Ini ada
titipan dari para Wali. Sekarang akan saya masukan ke dalam tubuhmu.
Bersiaplah”. Dan Blegh…seperti hawa hangat memasuki tubuh Mas Dikonthole,
menimbulkan nyeri halus, masuk dari dada sebelah kiri. Seperti sebuah besi
kuning, atau lambing jaman dahulu, lambang para utusan.
“Tanda itu adalah tanda pengenal dari para wali, yang menunjukan
bahwa kamu di utus oleh para wali untuk datang ket tempat-tempat yang di tunjuk
ke seluruh nusantara. Maka laksanakanlah perintah itu.”
Hanya
itu kata terakhir yang sempat diingat Mas Dikonthole, sebab kemudian dia
seperti memasuki alam mimpi. Berada di ketiadaan. Blash….ingatannya entah
kemana. Dan dia sudah dalam dimensinya. Mengarungi jagad belantara keghaiban.
Entah dimana sekarang ini dia berada. Mungkin dalam dimensi kesadarannya
sendiri.
salam
Komentar
Posting Komentar