Kajian Al Hal 3, Hakekat Realitas


Al qur an senantiasa memperingatkan kepada kita hakekat realitas sesungguhnya. Mengapakah manusia menganggap bahwa dunia lebih realitas daripada akherat. Mengapakah manusia tetap dalam keyakinannya itu. Meyakini bahwa hidup hanyalah di dunia ini saja. Mengapakah manusia tidak memikirkan ulang, meng up grade cara berfikirnya. Meletakkan hakekat pemahaman dan kesadaran kita kepada sejatinya realitas itu sendiri. Bahwa kehidupan kita nantinya sesungguhnya berada di akherat. Mengapakah manusia bisa terpedaya tipuan pandangan matanya ?.

Sekali-kali janganlah begitu !. Bahkan kamu mendustakan hari pembalasan (akherat)
Dan sesunguhnya bagi kamu ada malaikat (penjaga) yang mengawasi
 (QS. Al infithar, 9-10)

Pernyataan tersebut kembali diulang  dalam ayat berikutnya, menguji pemahaman kita, menguji kesadaran kita, menguji sejauh manakah kita mampu  dalam melakukan penerimaan atas realitas dan ghaib itu sendiri.  Bagaimanakah pemahaman manusia atas akherat itu. Pemahaman manusia atas Hari Akhir yang lebih pasti daripada dunia dan segala isinya. Bagaimanakah manusia menanggapi khabar ini (?). Mengapakah manusia kemudian tidak memikirkan hal ini ?.  Pertanyaan kemudian di ulang.

Dan tahukah kamu apakah Hari Pembalasan itu (akhir) ?
Sekali lagi, tahukah kamu akan Hari Pembalasan itu (akhir) ?.
(QS. Al infithar, 17-18)

Bahkan teori  fisika terbarukan sekalipun mengakui dan meyakini akan adanya Hari Akhir Zaman. Setiap atom yang membentuk bumi memiliki waktu paruhnya, dimana setiap atom akan meluruh dan mengalami kematiannya. Inilah hukum kepastian yang ditemukan manusia. Maka menjadi realitas manakah; kelahiran kah atau kematian kah bagi kita sekarang yang sudah menjadi ‘ada’ di bumi ini ?.  Logika kita diuji untuk memahami ini. Siapkah kita melakukan penerimaan atas khabar ini. Mampukah jiwa kita meyakini dan melakukan penerimaan secara utuh. Manusia di tantang memikirkan. Untuk inilah manusia senantiasa di uji, dibenturkan pemahamannya.

Bahwa setiap makhluk yang bernyawa juga pasti mati. Realitas ini sepertinya nampak jelas dan menjadi keseharian kita. Tiada dan Ada. Ada dan Tiada. Kelahiran dan kematian. Manusia muncul dari keghaiban, dari setetes air mani, kemudian menjadi realitas raga manusia. Manusia muncul dari ketiadaan, kemudian menjadi ada. Manusia ada dan kemudian menjadi tiada lagi. Terus silih berganti. Dimana yang tetap melekat adalah kesadaran demi kesadaran yang diturunkan lintas generasi. Maka menjadi pertanyaan adalah, sesungguhnya yang manakah yang lebih realitas.. Ke tiada an ataukah ke ada an.  Ataukah kesadaran itu sendiri ?. Yaitu entitas yang menyadari keberadaan keduanya itu ?.

(Yaitu) Kesadaran yang menyadari adanya ke ada an dan ke tiada an. Kesadaran yang menyadari realitas dan ghaib. Kesadaran yang memahami dunia dan akherat. Kesadaran yang mengerti adanya dualitas di alam semesta ini. Kesadaran yang kemudian akan memasuki dimensi tertingginya memahami adanya Dzat yang mengatur semua keadaan tersebut. Kesadaran yang menerima bahwasanya dimensi realitas dan ghaib adalah kehendak-Nya. Dia-l ah yang memiliki kuasa atas semua keadaan itu. Kesadaran yang mampu melihat Tuhan sebagai penyebab semua itu. Kesadaran yang mampu melihat Allah Tuhan semesta alam. Kesadaran yang mampu ber-IHSAN.

Kembali pemahaman ini iulang dan di ulang. Sebab pemahaman ini akan menjadi prasyarat selanjutnya untuk memasuki kajian ini. Menjadi pondasi kita untuk memasuki dunia yang hanya ada dalam kesadaran dan keimanan kita saja.  Sebab disayangkan, (bahkan) banyak manusia yang mengalami kesulitan tersendiri dalam  membedakan manakah yang  malam dan manakah yang  siang. Inilah yang sering kita dapati. Bangun tidur, tidur lagi. Bangun lagi tidur lagi. Begitulah kesehariannya. Kesadarannya tertidur, malas untuk mengamati, malas untuk berfikir. Sebab dirinya dalam pengejaran materi dari hari ke hari, dari waktu ke waktu. Malam bagi dia sepertinya tak ada. Dia tidak menyadari istirahatnya. Pikirannya meloncat ke siang lagi. dan singa lagisebitu seterusnya sepanjang hari, sepanjang kehidupannya.  Maka bagaimanakah jiwa seperti ini mampu  meyakini ada sesuatu YANG DATANG DI MALAM HARI (?). Jika hakekatnya kita sendiri tidak menyadari malam seperti apa (?). 

Kembali lagi, baiknya pertanyakan ini, kita tujukan kepada diri kita sendiri saja. Selanjutnya, marilah kita kupas saja lanjutan dari  kajian ini. Untuk mengambil hikmah pelajaran atas kejadian.

Masa-masa terindah

Memasuki kajian ini, Pembaca akan saya ajak untuk mengarungi masa-masa lalu, masa dimana kita kecil dahulu. Masa dimana kita tidak memiliki prasangka. Masa-masa yang begitu indah terasanya. Mengapakah masa yang indah ternyata adalah masa dimana kita tidak memiliki prasangka, tidak merasa was-was, khawatir atau takut. Sungguh hal ini, menjadi tanda tanya kita.  Kok..bisa begitu yaa (?). Masa terindah dalam kehidupan kita adalah suatu masa  dimana kita tidak memiliki persepsi apa-apa atas segala sesuatu. Saat kita selalu berbaik sangka dan tanpa praduga. Kenapa kembalinya kesitu ?.

Pada suatu masa, seiring dengan perkembangan diri kita. Dimana kemudian hari, kita diajarkan oleh lingkungan dan orang tua kita. Banyak hal yang diajarkan. Adalah kesadaran yang diturunkan kepada orang tua kita dari nenek dan kakek moyang kita. Berikut pengajaran mereka. Kesadaran yang tanpa kita minta merasuk kedalam jiwa kita, melalui pembelajaran mereka-mereka. Tanpa kita mau, tanpa kita minta kita diajarkan banyak sekali.  Kita kemudian secara perlahan mulai memahami arti suku kata, kemudian memahami arti turunan dalam sebuah kalimat, mengambil makna atas sebuah kata dan kalimat pendukungnya. Selanjutnya kita mampu berkata-kata. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Kemudian kita mengerti dan memahami rahsa, memahami symbol-simbol sebagai ungkapannya. Memahami suatu kejadian dan belajar untuk meyakininya. Memahami arti permusuhan, dan memahami arti perbedaan, memahami siapa aku dan  siapa engkau, siapa kita dan siapakah mereka, mengerti siapakah kami dan siapakah dia. Memahami bahwa   hakekatnya kita di bedakan atas kata ganti manusia saja. Atas sebutan-sebutan yang melegalkan perbedaan. Persepsi kita dibangun atas kata ganti manusia saja. Sebab aku bukanlah engkau, dan kami bukanlah mereka. Tanpa kita sadar bahwasanya manusia dahulunya adalah satu, manusia dahulunya tidak memerlukan kata ganti, manusia hanya ada satu kata ganti saja, yaitu  AKU. Tidak ada dia, atau mereka. 

Kemudian semakin dewasanya jiwa manusia. Manusia perlahan mampu memahami rahsa. Rahsa-rahsa ini memiliki turunan yang tak kalah sulitnya kita pahami, rahsa iri-dengki, rahsa sakit hati, rahsa dendam, amarah dan lain sebagainya. Banyak sekali turunan rahsa ini yang meliputi jiwa kita. Seperti kabut rahsa ini menyaput jiwa kita, meliputi jiwa kita, sehingga kita sendiri sudah tak mampu lagi mengenali siapakah sejatinya AKU. Cobalah kita resapi pernyataan ini. Bukankah kita nikmat sekali ketika kita tidak memiliki rahsa-rahsa model begini. Jika bisa mau kita kembali ke masa kecil kita dahulu. Masa penuh derai tawa dan canda, masa dimana kita mampu memandang dunia yang begitu indah. Masa yang penuh pesona. Disana hanya ada AKU.

Sayangnya masa itu telah berlalu. Si kecil tertatih taih memaknai. Badai informasi, dengan kekuatan skala  Megakilobite menghujani akal dan pikirannya, merasuk di jiwa, menguasi kesadarannya. Jiwa manusia jiwa pembelajar, ingin belajar apa saja. Dia serap seluruh informasi dari sekelilingnya, dia serap pemahaman dari lingkungannya. Dia yakini kebenaran atas sesuatu berdasarkan kesadaran masyarakatnya.

Pemahaman demi pemahaman di jejalkan oleh manusia dewasa kepada si kecil. Persepsi manusia dewasa, persepsi orang tua tanpa sadar disuntikan ke dalam jiwa si kecil yang tidak mengerti apa-apa. Si kecil tanpa daya, menerima saja seluruh informasi dan pemahaman nenek dan kakek moyang mereka. Tak ada waktu berfikir. Tak ada kesempatan memilah. Fakta demi fakta yang terpampang di depan mata si kecil adalah realitas kehidupan dan dinamika kota. Realitasa kehidupan yang memaksa setiap diri harus mengakui apa yang nampak di depan matanya saja. Deraan hidup telah memaksa mereka untuk menerima fakta bahwa realitas hidup sesungguhnya adalah apa yang mereka rasakan melalui indra mereka. Rahsa-rahsa menjadi tolak ukur mereka. Menjadi anggapan kesadaran mereka. Maka mereka melakukan pengejaran atas rahsa. Mereka melakukan pengejaran atas kesenangan duniawi. Karena mereka merasa itu lebih realitas dibandingkan akherat yang entah bagaimana keadaannya. Sungguh menjadi penat sekali, setelahkita mengetahu fakta-fakta ini. 

Kita lanjutkan lagi. Karena keterbatasan diri yang harus belajar dengan cepat. Manusia harus cepat belajar, dilihatnya perkembangan peradaban, dilihatnya teman sebaya, dilihatnya manusia-manusia diatasnya, dilihatnya kenikmatan yang ada yang melekat pada diri manusia. Jiwa manusia ingin seperti apa yang dilihatnya. Karena jiwa beranggapan bahwa itulah yang harus dikejarnya. Kesadaran kolektif masyarakat melingkupi dan mengarahkan jiwa untuk begitu.  Maka pemahaman apapun mereka telan saja tanpa dikunyah lagi. Pemahaman yang sejatinya adalah milik nenek dan kakek moyang mereka. Pemahaman yang tidak pernah diuji kembali.  Untuk apakah mereka menguji kembali karena sepertinya  nenek moyang mereka telah benar. Bahwa dunia lebih real dari pada akherat. Argh..sungguh diri menjadi tak mengerti, kenapa kejadiannya begini (?).

Pada suatu masa, jiwa tersadar. Apa-apa  yang dilihatnya nyatanya telah menipu dirinya. Apa yang dikejarnya nyatanya adalah semu belaka. Jiwa kemudian mencari hakekat kehidup. Hakekat jati diri manusia. Kemudian manusia yang mencari hakekat ini akan akan bertemu dengan suatu keadaan. Keadaan yang harus terus menerus dipikirkannya, mengapa ada siang, mengapa ada malam, mengapa ada sedih, mengapa ada senang. Dan dualitas-dualitas lainnya.

Maka ketika malam tiba, jiwa akan merenungkan ini semua, hingga suatu saat nampaklah  sesuatu yang datang di malam hari. Sesuatu yang bersinar dengan tajam dalam hatinya. Sesuatu yang nyata yang menunjukan jalan. Menjadi cahaya yang menerangi kalbunya. Cahaya itulah cahaya illahi yang menuntunny. Mengantarkannya, menapaki jalan-jalan pencarian jati dirinya. Jiwa kemudian mulai disempurnakan. Jiwa mulai di pahamkan atas segala sesuatu, atas hakekat alam semesta, atas hakekat keberadaannya. Jiwa mulai terseok-seok, tertatih-tatih. Apa yang selama ini dianggapnya suatu kebenaran nyatanya hanyalah tipuan semata. Apa yang dianggapnya adalah suatu realitas nyatanya adalah semu belaka. Jiwanya dibolak-balik atas suatu keadaan. Sungguh jiwa payah mealkoni ini.  Kesadarannya dibenturkan kepada realitas yang meski diyakini, realitas yang sejati, bukan realitas sebagaimana yang nampak di depan matanya selama ini. Jiwa dipaksa untuk memahami hakekat dualitas alam semesta. Hakekat dunia dan akherat.

Begitulah keadaanya, siklus kelahiran dan kematian. Jiwa harus kembali kepada-Nya sebagaimana saat jiwa  di tiupkan pertama kali ke rahim ibunya, jiwa harus kembali kepada-Nya  dalam keadaan fitrahnya. Manusia harus kembali dalam kondisi jiwa semasa bayinya. Renungkanlah masa-masa etrindah dahulu, masa dimana kita tanpa prasangka dan tanpa praduga. Masa dimana manusia dalam keadaan fitrahnya. Berusahalah kita untuk itu. Karena inilah tantangan manusia, untuk dapat kembali kepada-Nya.  

Menjawab tantangan itulah, manusia kemudian ber spiritual, yang akan menghantarkan dirinya melewati tahapan demi tahapan hingga sampailah pada suatu keadaan ,  mencapai makom pemahaman Inalilahi waa inailaihi rojiun. Dimana jiwa mampu mengembalikan seluruh apa yang di punya dan dia rahsa. Mengembalikan kepada pemilki-Nya. Ber parsah kepada Tuhannya atas apapun yang menjadi ketentuan dan ketetapan-Nya. Sehinga bilamana kita dipanggil oleh-Nya, sudah tidak ada apapun beban, yang memberatkan diri kita lagi.

Begitulah sekelumit yang dapat disampaikan untuk mendasari mengapakah manusia dewasa ini keadaanya menjadidemikian halnya, untuk mendasari kajian jiwa selanjutnya, dan bagimanakah mengenali suasana jiwa…maka kajian ini.

Bersambung…

Salam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali