Mengapa Sulit Melawan Nafsu ?



Tahun dalam hitungan Masehi sudah  berganti. Dan penanda waktu boleh telah dimulai dengan angka baru. Mengulang-ulang kembali  angka dan hari yang sama dengan tahun sebelumnya.  Namun nyatanya, rasakanlah adakah yang berubah selain penanda waktu, dari berakhiran 12 menjadi 13 ?. Tidak ada yang berubah, bumi tetap seperti keadaannya. Manusia juga dalam keadaan yang sama. Setiap hari berhadapan dengan problematikanya sendiri.  Semakin berat, berat dan membebani fikiran. Semua manusia begitu tak terkecuali. Asyik dengan dirinya masing-masing.

Ada yang bergulat dengan kesendiriannya, ada yang bergulat dengan hutang-hutangnya, ada yang bergulat dengan penyakitnya, ada yang bergulat dengan kerinduannya, dan ada juga yang  bergulat dan mencoba perang melawan nafsunya sendiri, semuanya begitu, karenanya dinamika karakter manusia menjadi banyak warna ragam dan nuansanya. Kemudian mengemuka menjadi tabiat dan perilaku manusia. Bagaimana jika itu semua dibangun atas  keresahan tersembunyi lainya, adalah ketakutan  yang selalu menggayuti jiwa di sepanjang hari dikehidupan manusia itu sendiri. Sungguh karena itu jiwa kemudian terasa terbebani atas kehidupan. Dan lagi-lagi itu semua, hanya diri sendirilah yang tahu yaitu orang yang jujur kepada dirinya sendiri. 

Manusia selalu sibuk dengan dirinya sendiri. Ada yang bermegah-megahan, ada yang nelangsa, ada yang menghiba, ada lagi yang mencoba perkasa,  dan lain sebagainya. Itu semua banyak sekali variannya. Namun jika kita cermati, dan cobalah perhatikan, kesemuanya itu menuju suatu kesamaan, yaitu manusia tengah bergulat dengan realitas ‘rahsa’ yang tengah membelitnya. Dengan satu kata sederhana manusia selalu dibelit dan diliputi oleh NAFSU (baca; rahsa)  nya sendiri.

Maka keadaannya, sesungguhnya  bagi manusia~ dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, bahkan sepanjang masa hidupnya;  realitas yang ada bagi dirinya adalah NAFSU itu (baca; rahsa) sendiri. Sebab ‘nafsu’ itulah yang senantiasa dirasakan setiap detik, setiap waktu, setiap keadaan dalam setiap tarikan nafasnya. 

Nafsu hakekatnya telah menjadi bahan bakar bagi setiap aktiftas manusia. Bermacam-macam varian dari nafsu ini, nafsu ingin kaya, nafsu ingin pangkat, nafsu ingin terkenal, nafsu ingn dihargai, nafsu ingin berilmu, nafsu ingin lebih suci, bahkan seluruh keinginan manusia adalah mengikuti daya dorong NAFSU.

Karena itu, menjadi kajian yang menarik, berawal dari sebuah pertanyaan, ‘Bagaimanakah kita berperang melawan nafsu kita ?.’   Sementara nafsu adalah bagian dari sistem ketubuhan kita ?. Wow..koprol deh.

Nafsu adalah sebuah usikan (impuls).  Dimana ‘nafsu’ pada akhirnya menjadi suatu gerak, yang kesemuanya menjadi sebuah resultan,  menjadi gerak seluruh manusia secara simultan, bersama-sama dalam gerak yang sama, sehingga kemudian  terciptalah peradaban, menjadikan bumi ini menjadi seperti ini. Seperti itulah nafsu, hakekatnya nafsu adalah sebuah gaya hasil atas suatu proses tarik menarik (medan grafitasi), dan ada kalanya nafsu adalah sebuah impuls (usikan) yang merupakan usikan dari Tuhan. Maka seharusnya manusia berusaha untuk mengenali bagaimana mekanisme nafsu bekerja atas dirinya. Inilah sebenarnya tantangan 'berat' buat kita.

Sebuah hadist yang sangat terkenal, perihal nafsu adalah hadist yang  memiliki muatan bahwa “Perang yang terbesar adalah perang melawan nafsu.”

Apakah benar nafsu perlu diperangi ?

Maka terjadilah debat atas muatan hadist ini. Sebagian ulama mengatakan hadist ini lemah dan sebagiannya lagi mengatakan hadist ini shohih dikarenakan sebab keutamaan manfaat muatannya yang mengajak manusia untuk memerangi nafsunya. Terlepas bahwa muatan hadist tersebut dhoif atau tidak, penulis hanya ingin mengaris bawahi bahwa muatan  atas hadist ini telah masuk kedalam kesadaran kolektif umat muslim di seluruh dunia. Menjadi pemahaman yang sulit sekali diberikan argumentasi lagi, akhirnya menjadi dogma. Semua meyakini bahwa tugas terbesar kita manusia adalah ‘perang melawan nafsu kita sendiri’. Kesadaran kita telah meyakini bahwasanya, kita harus berperang melawan energy yang semestinya adalah menjadi daya dorong dalam membangun peradaban manusia.  Begitulah yang tidak terungkap.

Pertanyaan lanjutan akan mengelitik kita, mampukah kita melawan diri kita sendiri ?. Mengalahkan energy yang menjadi daya kita untuk bergerak, melakukan aktiftas ?. Jikalaupun kita menang, bagaimanakah kesudahannya. Yaitu, bagaimana keadaan kita, jika kita tidak memiliki energy dan daya dorong untuk bergerak ?. Coba terus dikembangkan, jika seluruh manusia begitu keadaannya, apakah manusia akan mencapai peradabannya yang sekarang ini ?.  Peradaban yang lengkap dengan teknologynya ?.

Perhatikanlah, peradaban ini terbangun dari adanya ‘nafsu’ manusia. Nafsu manusia yang selalu ingin tahu, nafsu manusia yang selalu ingin lebih maju, lebih kaya, lebih tinggi, dan lain sebagainya, telah menjadi dinamika dalam kehidupan ini. Sehingga tercapailah keadaan masyarakat yang seperti sekarang,  lengkap dengan bunga-bunga kehidupannya.

Kesadaran kolektif telah menganggap bahwa nafsu adalah selalu berkonotasi  negatif. Pemahaman ini kemudian memasuki sistem kesadaran kita,  merasuki alam bawah sadar kita sendiri. Sehingga akibatnya kita tidak menjadi rasional dalam menempatkan posisi nafsu didalam sistem ketubuhan kita. Nafsu dicerca dan dinista.  Nafsu telah dianggap sebagai barang ‘tabu’. Nafsu dianggap sebagai sesuatu yang ‘jahat’. Nafsu dimasukan sebagai musuh bagi jiwa manusia. Coba kita diam sejenak,  apa jadinya jika kita tidak memiliki nafsu syahwat, bagaimana manusia bisa berkembang biak ?. Dan juga bagaimanakah peradaban bisa dibangun, dan bagaimana jika kesadaran tidak dipergilirkan, yaitu  jika manusia tidak memiliki nafsu untuk ilmu, bagaimana dengan perkembangan teknology ?. Dan lain sebagainya.

Mari coba kita luruhkan lagi, persepsi yang selama ini terbangun atas nafsu adalah persepsi yang kita dapatkan dari kesadaran kolektif yang diturunkan dari hasil pemahaman nenek moyang kita. Coba sadari, mengapa nafsu bisa menjadi masalah buat kita, sementara nafsu sendiri adalah ‘built in’ di dalam sistem ketubuhan kita sendiri. Nafsu adalah sebuah fitrah manusia. Seperti bayi yang memiliki nafsu makan, apakah nafsu makan sang bayi salah ?. Mari kita uji, adakah yang salah dalam pola berfikir kita. Adakah yang salah dalam persepsi kita atas nafsu.  Sehingga kita menempatkan nafsu sebagai ‘musuh bebuyutan’  kita ?. Tanpa kompromi kita tebang habis semua nafsu. Kita perangi nafsu-nafsu didalam diri kita. Begitulah kesadaran dibangun atas diri kita ini.   

Jika benar begitu keadaannya, maka yakinlah bahwa keadaan kita sedang berperang melawan angin.  Kita sedang berperang melawan diri kita sendiri. Maka kejadiannya adalah kita akan mengalami ‘turbulensi’. Senjata makan tuan. Kita akan dihantam oleh energy kita sendiri. Energy kita akan menyerang seluruh sistem dan instrumen ketubuhan kita. Energy kita akan memakan energy kehidupan didalam diri kita sendiri. Sehingga sistem kesadaran kita akan kacau. Hasilnya bisa ditebak, jiwa kita akan seperti dipanggang oleh api. Bagaimana tidak, coba bayangkan keadaan sebuah mesin yang sedang dalam keadaan proses penghancuran dirinya sendiri. Nah, itulah keadan diri kita, jika kita salah  menempatkan ‘persepsi’ kita atas nafsu.

Oleh karena itu, senafas dengan tulisan rekan Imam Sarjono, saya juga sependapat bahwa nafsu bukanlah lawan kita. Sebab nafsu adalah fitrah manusia. Sehingga janganlah ‘nafsu’ itu dibunuh. Jangan tempatkan posisi nafsu sebagai ‘lawan’, apalagi kemudian kita ‘perangi’. Tempatkan nafsu dalam tempat yang semestinya. Sebagaimana keadaannya. Sadarilah dengan bijak, bahwa sistem ketubuhan kita, dibuat sedemikian rupa, sedemikian luar biasanya. Semua dalam harmoninya. Dan tidak mungkin sia-sia.    

Dengan pemahaman ini, kita akan  mendapatkan gambaran yang utuh. Bagaimanakah seharusnya  kita mengelola dan memperlakukan nafsu-nfsu kita dan bagaimana seharusnya kita berinteraksi dengan nafsu-nafsu kita.  Dengan demikian, untuk selanjutnya kita akan mampu melakukan afirmasi kepada fikiran kita berdasarkan pemahaman yang tengah kita kaji ini. Kemudian Lihatlah nanti efeknya, pada gilirannya, setelah kita mampu memahami bahwasanya nafsu adalah bagian dari sistem ketubuhan kita, maka jiwa kita perlahan-lahan akan melembut, jiwa kita akan mampu menerima nafsu sebagaimana keadaaannya. Kita mampu meliputi sang nafs dan mengerahkan menuju kepada Allah. Berserah kepada Allah. Nafs kita harus ber-Islam !. Inilah kata kuncinya. !.

Namun sebaliknya jika ada niatan untuk memeperlakukan nafsu sebagai musuh besar kita yang harus kita bantai, maka lihatlah saja bagaimana akhirnya,  nafsu akan berbalik menerjang kita, bergelombang-gelombang  semakin besar dan semakin besar lagi. Hingga seluruh instrumen ketubuhan kita akan  dikuasai oleh nafsu kita. Kita akan ditenggelamkan oleh nafsu kita sendiri. Nafsu akan menguasai dan merajai jiwa kita.  Itulah energy yang berbalik. Nafsu adalah senjata terdahsyat yang dimiliki manusia, maka jika berbalik tunggu sajalah kejadiannya.  Tidak ada satupun manusia yang sanggup menahannya. Sekali lagi, tidak ada satupun manusia yang sanggup menahan amukan sang nafsu ini.

Pada hikmah kisah nabi Yusuf kita mendapat pelajaran bagaimana seharusnya kita memperlakukan nafsu kita. Maka diawal surah Al qur an menegaskan bahwa dalam surah Yusuf terdapat hikmah kisah, yaitu hikmah kekuatan hati yang luar biasa bagi orang yang berfikir. Nah, hikmah inilah yang dapat kita petik. Nafsu akan kita kelola menjadi kekuatan kita yang luar biasa. Yaitu bagaimana mengoptimalkan seluruh potensi nafsu, menjadi sebuah resultan nafsu yang diridhoi. Sebab didalam nafsu yang diridhoi inilah,  terletak potensi kekuatan luar biasa atas hidup manusia.

Cobalah baca ulang kajian perihal nabi Yusuf dan Zulaikha, ketika beliau dalam keadaan menyerah dan pasrah kepada Allah (yaitu) bahwa sejatinya dirinya tidak mampu melawan nafsunya sendiri. Sehingga dia kemudian luruh berdoa memohon agar dirinya dibebaskan dari nafsunya kecuali memang nafsu yang kemudian diridhoi. Mohon endapkan perlahan, lihatlah rangkaiannya. Pertama adalah bagaimana nabi Yusuf di sergah nafsunya atas wanita, kemudian muncul ‘burhan’, setelahnya beliau sadar dan  melakukan penyadaran, sadar akan karakteristik nafsu, kemudian beliau melakukan pengakuan bahwa sejatinya dirinya adalah lemah, selanjutnya beliau menyerahkan, pasrah, berserah diri kepada Allah, mengembalikan urusan ini kepada Allah. Diam berserah dalam totalitas. Mengembalikan seluruh rahsa.

Nah, jika kita implementasikan kepada keadaan kita. Lihatlah, dan coba perhatikan serta rasakan dengan seksama, bukankah saat kita tahu bahwa nafsu kita sedang mengajak kepada kemungkaran maka disitulah hakekat bahwa kita sudah diberikan-NYA  ‘burhan’ yaitu ‘nur’ yang membedakan gelap dan terang ?. Bukankah meskinya kita segera  bersyukur bahwa kita masih disayangi- Nya sehingga diberikan ‘burhan’. 

Maka lekaslah, jangan sia-siakan kasih sayang-Nya ini. (Dengan banyak berdalih ini dan itu). Langsung hadapkan saja diri kita (nafs) kepada Allah. Yakin dan mantapkan hati,  ikuti saja bagaimana  methode nabi Yusuf yaitu saat keadaan  beliau  ketika tersergah nafsu dan juga bagaimana methode beliau dalam upaya melepaskan diri dari himpitan nafsunya tersebut.  Amati dan rasakanlah,  duduk  tenang, tariklah nafas,  lanjutkan dengan  sholat,  afirmasikan diri kita, bulatkan keyakinan  dalam mengikuti methode yang diajarkan Allah kepada nabi Yusuf.  Insyaallah kita kan selalu terjaga dari nafsu-nafsu kita.

Awalnya  tentu saja   akan ada perlawanan dari akal,  saat mana kita akan mengikuti methode ini. Sebab selama ini kita sudah didogma, oleh kesadaran kolektif bahwasanya kita harus ‘perang’ melawan nafsu kita. Dan sudah barang tentu akibatnya sudah dapat kita prediksi, yaitu jika  kita kibarkan bendera ‘perang’ terhadap nafsu, maka kejadiannya adalah kita akan baku hantam dengan diri kita sendiri. Tinggallah jiwa terpontang-panting sendiri. Sebab seperti tengah perang dengan bayangan sendiri. Yaitu sebagaimana perumpamaan kucing mengejar-ngejar ekornya sendiri. Hik.

Ingat, ketika kita menganggap nafsu  sebagai musuh maka kita tidak akan pernah mampu mengenal karakter nafsu itu sendiri. Jika kita tidak mengenalnya bagaimana kita mampu mengalahkan sang nafsu ?. Inilah logikanya. Namun bukan itu sebenarnya yang lebih essensi, sebab  nafsu itu sendiri memiliki karakter yang unik. Sebagaimana uniknya jiwa kita.    Maka karenanya kenalilah nafsu kita, sebab mengenal nafsu  itu adalah bagian dari bagaimana mengenal diri kita sendiri. Dengan kata lain, bagaimana kita akan  mampu mengenal diri kita jika kita tidak mampu mengenali nafsu-nafsu kita.

Sehingga  rangkaiannya adalah jika kita tidak mampu mengenal nafsu-nafsu kita maka kita tidak akan mampu mengenal diri kita, jika kita tidak mampu mengenal diri kita maka kita tidak akan mampu mengenal Allah. Maka menjadi jelas bahwa  jika nafsu tidak dikenali maka dia akan merajalela, memporak porandakan apa saja  sebab  dia merasa jauh dari Tuhannya yang menciptakan dirinya. Maka tidak ada cara lain, selain kenalkan dan hadapkanlah nafsu-nafsu kita kepada Tuhannya. Insyaallah saya, kita, dan anda tidak akan diamuknya lagi. Sehingga karena itu kita tak perlu berperang lagi.  So, tunggu apalagi. Wolohualam.

Komentar

  1. Terima kasih Pak Arif, ini pencerahan luar bisa bagi saya...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali