Kajian Simbol, Alif Lam Raa
Dalam mighrab, kain tersibak
meluncurkan kata yang tak pernah di mengerti. Bagaimanakah memahami
arti. Pembicaraan ini begitu rahasia.
Untuk apakah mengetahui rahasia
ini sendirian. Seperti di ujung daun di puncak pohon. Angin tentu akan keras
menerjang. Betapa tubuh akan terayun tanpa pegangan.
Tentu saja
lebih baik diam. Namun bagaimanakah jika pertanyaan terus berguliran sepanjang malam.
Apakah hanya aku yang tahu. Apakah tidak ada yang mau tahu. Ataukah aku yang
selalu terjebak menjadi ‘sok’ tahu.
Coba
ceritakan padaku. Bagaimana caranya aku bisa mengetahui,
bagaimanakah keadaanku saat dalam tidurku sendiri ?.
Mengapa rahasia ini
harus tetap terjaga dalam keadaannya. Dan tidak boleh dikatakan ?.
Coba
ceritakan sekali lagi, bagaimanakah jika aku mampu merencanakan
diriku untuk ‘terkejut’ ?.
Bahkan kemarin
untuk sekedar mengingat ‘keterkejutan’ku, aku tak habis pikir. Mengingat
kejadiannya, menjadi sebuah kebodohan tersendiri.
Mengapa kemarin aku
tidak jadi terkejut ?. Bukankah karena sebab aku sudah terlambat untuk
‘terkejut’ ?. Dan bagaimanakah aku bisa terkejut, jika untuk ‘terkejut’
yang ku ‘sengaja’ rencanakan tidak pernah berhasil. Bahkan aku tidak
tahu caranya sama sekali !.
Terkejut adalah
sesuatu yang biasa terjadi dalam keseharian kita. Namun mengapa kita sendiri
tidak tahu caranya untuk bisa ‘terkejut’.
Pernahkan anda menyengaja untuk
‘terkejut’ ?
Banyak sekali yang
tak ku ketahui perihal tubuh ini. Keadaannya banyak instrument ketubuhan yang
berada di bawah kendali saraf para simpatik (saraf tak sadar). Entahlah
bagaimana dapat bekerja sama dengan mereka, agar semua otot ini
berada dalam ‘kemauan’ ku saja. Mungkin saja nanti aku dapat sengaja ‘terkejut’.
Detak jatungku dapat ku atur semauku. Saraf ‘sadar’ ku dan saraf ‘tidak
‘sadar’ku. Dalam kendaliku. (Hmm…mm).
Bagaimana nanti
keadaannya jika seluruh instrument ketubuhan ini, semua berada dalam
kendali kita ?. Peredaran darah, metabolisme energy (ATP dan ADP), Sklus Kreb,
Biosentesa protein, kemudian system DNA dan RNA, dan semuanya, dapat ku atur
semau-maunya. Bukankah keadaannya tubuh ini akan ‘luar biasa’ sekali
?.
Bekerjanya jantung,
paru , ginjal dan organ-organ lainnya, tidak pernah mampu kita sadari. Mengapa
keadaannya begitu ?. Kenapa manusia tidak dibiarkan untuk mengelola system di
dalam tubuhnya sendiri. Mengapa harus mengikuti dan pasrah atas keadaan yang ada
di tubuh kita ini ?. Namun sayangnya, semakin ingin tahu perihal tubuh ini,
semakin banyak yang kita tidak kita tahu.
Lantas, bagaimana
kita ‘merasa’ mampu untuk mengetahui yang menciptakan diri kita ?. Sementara
mengenal diri sendiri saja kita tidak bisa. Bagaimana cara kita mengenal Allah
, kalau begitu ? .
Jika kemudian pada
akhirnya semakin banyak ketidak tahuan yang di nampakkan kepada diri kita.
Kemudian mau diarahkan kemana lagikah pencarian ini ?. Cobalah
ceritakan kembali perihal ini !.
Untuk keperluan
apakah manusia menahan rahasia ini sendirian. Seperti di ujung daun di
puncak pohon. Angin tentu akan keras menerjang. Betapa tubuh akan terayun tanpa
pegangan. Bukankah lebih baik kita berserah saja. Kita kembalikan semua
keingintahuan kita kepada alam yang telah mengatur sistemnya. Sesuai dengan
perintah-NYA.
Dan Allah telah memberikan ‘urusan’
itu kepada mereka semua (bumi dan langit). Bukan kepada kita manusia. Atom-atom
bumi dan langit mengatur ‘urusan’ NYA, yang telah di amanahkan kepada mereka !.
Mereka sangat patuh, dan sudah seharusnya mereka patuh. Semua ‘urusan’ itu
(saya usung) di symbolkan dengan ;
~ raa
Mengetahui
yang tidak tahu ?!
Adakah bedanya orang yang tahu dengan
orang yang tidak tahu, sekarang ini ?. Jikalau pada akhirnya nanti,
keduanya akan menjadi sama, yaitu akan sama-sama tidak tahu, (saat umur
sama-sama renta).
Pencarian selalu akan berujung kepada
‘ketidak tahuan’ yang lainnya lagi !.
Begitulah selalu keadaannya.
Pertanyaan bodoh,
yang meski ku ajukan memasuki kajian berikutnya ini. Banyak ‘anehdot’ yang
menjungkir balikan pemahaman. Kejanggalan yang justru masuk di
akal kita. Tak biasa, namun biasa saja itu terjadi.
Ketidak tahuan adalah
hakekat ketidak mampuan kita dalam memaknai kejadian. Hakekat
tidak adanya kesadaran (Miim) yang meliputi diri kita. Seperti
bayang-bayang di tarik dan di lepas dari tubuh kita. Seperti itulah
nantinya saat kita mulai merenta. Sebagaimana menjadi kejadian biasa saja.
Terkejut dan tidur adalah dua
hal berbeda, namun memiliki satu kesamaan, yaitu keadaan hal dimana kesadaran kita
tidak sedang berada disini, saat ini, di raga ini.
Ketika kesadaran kita berada di raga
ini, di saat terkini kita waspada;
masihkah kita bisa terkejut ?.
Seluruh instrument
ketubuhan kita dalam keadaan waspada, siap menunggu apapun yang bakalan
terjadi. Masihkan kita mampu untuk terkejut ?. Kesadaran ada padaku. Maka semua
keadaan mampu ku hadapi !.
Jika kita siap dan
waspada, dalam kesadaran yang sempurna. Maka kita akan selalu terus terjaga. Jika
keterjagaan ini kita arahkan untuk menganggungkan asma-Nya, melalui
tanda-tanda-Nya, di alam semesta. Maka itulah ke bermakna-an dalam hidup.
Maka disinilah penting nya kesadaran (baca;
Miim), saat berada (dikembalikan-NYA) di dalam raga kita. (Yaitu) Saatnya
berpacu dengan waktu di mulai. Dalam waktu yang sempit, dengan adanya miim itu,
harus mampu kita pergunakan untuk memaknai segala sesuatu, apa yang ada
dalam diri ini. Apa yang ada dalam lintasan-lintasan hati. Dan juga apa-apa
yang ada di kedalaman alam semesta ini.
Ketika kesadaran di tarik dan di
tahan, maka kita akan memasuki fase tidur.
Jika kesadaran di kembalikan ke raga
kita;
masihkah kita ingin tidur ?.
Namun ada juga yang kemudian
‘terhijab’ , (ketika) kesadarannya yang sudah dikembalikan,
(nyatanya) tidak kembali dengan
sempurna, kesadarannya tidak mampu meliputi dirinya.
Maka sama saja keadaannya
dengan fase ‘tidur’ tadi. Hanya beda prosentase-nya saja. Selalu saja
(dalam) keadaannya dia serupa ‘tidur’.
Maka inilah kesia-sia an dalam hidup
!.
Marilah
kita eksplorasi pemahaman ini ;
Jika kita tidur,
mampukah kesadaran kita merasakan keadaan hal ; tidur itu sendiri.
Mampukah kita memasuki ~ serta ada di dalam ‘tidur’ yang dimaksudkan
itu. ?. Dan dalam posisi tersebut kemudian kita mengamati
keadaan tidur kita. (?)
Banyak
sekali pemahaman spiritual, yang mencampur adukan, pemahaman kata dan
makna ‘tidur’ menjadi sebuah kesatuan.
Tidur
dalam arti jasmani dan rohani di campur adukan. Sehingga muncul pemahaman
bahwa di saat tidur mereka masih mampu melihat raga mereka. (Rogoh Sukmo).
Pertanyaanya
adalah , jika keadaannya seperti itu, bukankah hakekatnya dia tidak tidur ?.
Jika
pemahaman ini kita kembalikan kepada Al qur an jelas akan berbeda makna dan
arti ;
“ Allah memegang
jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di
waktu tidurnya; …”(QS. 39:42).
Berdasarkan
pengertian ayat tersebut, maka kita dapat memaknai bahwa ‘tidur’ yang
dimaksudkan Al qur an adalah tidur rohani (jiwa). Ketika jiwa di tahan, maka
manusia akan kehilangan ‘kesadaran’ atas dirinya sendiri. Dia
tidak mungkin mengetahui apa-apa atas dirinya.
Maka atas dasar
ayat ini, saya meyakini bahwa saat tidur hakekatnya jiwa kita tidak bisa
kemana-mana (di tahan Allah). Inilah makna‘tidur’ secara hakekat.
Tidur sebagaimana dimaksudkan (QS. 39:42).
Lain halnya jika
yang tidur hanya sebatas jasmani saja. Maka jiwa masih akan mampu mengelana,
kemana saja yang di inginkan. Karenanya saat terbangun, masih menyisakan
bekas-bekasnya (informasi) bagi (kesadaran) jasmani kita.
Hakekat ini penting
saya hantarkan, agar kita tidak terjebak dalam suatu keyakinan bahwa kita
memiliki kuasa atas ‘jiwa’ (baca; kesadaran)
kita sendiri. Manusialah yang berusaha mengotak-atik keadaannya ini.
Sehingga dalam anggapannya, serasa (seakan-akan) kita lah yang bertkuasa atas miim (kesadaran)
ini.
Pemaknaan bahwa
kita juga memiliki ‘kuasa’ atas jiwa kita, inilah yang melahirkan
banyak sekali aliran ‘kebathinan’. (Yang) terus berusaha, dalam
mengeksplorasi ‘jiwa’ manusia. Mengolahnya, mengarahkan, menentukan dan
mencari-cari ‘takwil’, yang disesuaikan. Mengabaikan info yang disampaikan Al
qur an, bahwasanya ‘jiwa’ manusia hakekatnya adalah ‘kuasa’ Allah
semata. Apakah akan di tahan ataukah di kembalikan, semua hanya (karena) berkat
KARUNIA dan RAHMAT -NYA saja.
Jiwa
(baca;kesadaran) manusia, adalah bagian dari kesadaran Universal. Pada saat
tidur secara otomatis akan kembali bergabung dengan kesadaran Universalnya, dan
di tahan disana. Sehingga manusia itu dalam keadaan tidak tahu apa-apa, tidak
ingat apa-apa. Inilah sebenar-benarnya ‘tidur’.
Artinya, jika miim (baca;
kesadaran) tidak di kembalikan ; sama saja kita tidak akan pernah mampu untuk
memaknai apa-apa dalam kehidupan kita. ~ Nol saja. Hanya data-data, informasi
tanpa makna.
Disisi lainnya, ada
pula, suatu ajaran yang mengajarkan untuk menyatukan kesadaran (Miim),
dan menggabungkannya dalam kesatuan dengan Kesadaran Universal (Haa). (Ada
kesamaan dengan analogy tidur). Padahal, sekali lagi Miim dan Haa
masing-masing (telah) dalam urusan yang sudah di tetapkan Allah.
Jiwa-jiwa manusia
(miim), semisal perumpamaannya adalah air daratan yang telah membawa beban
kehidupan anak manusia, ada yang sudah bercampur lumpur, bercampur oli,
bercampur segala macam sampah ibukota, mengalir dari selokan-selokan, menuju ke
sungai. Dari sungai-sungai akan menuju ke laut. Di laut inilah beban kehidupan
akan diserahkan. Laut akan mengambil alih beban anak manusia. Sehingga jiwa
dalam ketenanganlah adanya. (Tetang hal ini akan di perdalam di kajian
Alif laam miim shad)
Laut (Haa) menjadi
tumpuan terakhir perjalanan rohani jiwa (miim). Mereka mengarahkan objek
berfikirnya kesini (Haa). Mereka merasa dengan menyatu dengan lautan (Haa)
mereka akan menyatu dengan Tuhan. Akan mendapatkan makom tertinggi sebagai
manusia. Manunggaling Kawula Gusti. Seperti menyatunya api dengan
cahayanya pada sebuah kayu bakar, mereka permisalkan dengan permisal ini.
Islam tidak mengajarkan kepada
umatnya untuk seperti itu. Miim adalah miim dan sementara Haa adalah Haa. Bersatunya
mereka adalah dalam ‘tasbih’, dalam kesatuan gerak alam semesta, (yaitu)
kesatuan dalam mengagungkan asma-NYA. Meskipun Haa meliputi miim. Namun
miim tetap dalam jatidirinya, sebagai Insan kamil. (Lihat kajian ‘Nun’).
Inilah puncak spiritual Islam.
Wali-wali Allah akan senantiasa hidup
untuk bertasbih mengagungkan asma-NYa. Puncak spiritual Islam dalam hakekatnya
seperti itu. (Yaitu) sebagaimana dimaksud “Dan janganlah
sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yan gugur di jalan Allah itu
mati, sebenarnya mereka ituhidup seraya mendapat rezki dari Tuhannya.” (QS. 3
;169)
Mereka
sudah seharusnya patuh
Sekali lagi, Miim seharusnya
bertasbih bersama-sama Haa, mengagungkan asma-NYA. Karena sebab
diantara keduanya, dan pada masing-masingnya, sudah diberikan, ketentuan,
atau urusan, atau ketetapan, atau qodho dan qadar atau hukum-hukum-Nya, atau
aturan-aturanNYa atau ayat-ayat-Nya. (Yang) diberikan bagiannya
kepada para khalifah-NYA sesuai dengan keadaannya masing-masing.
Keadaan ini yang saya usung, kemudian di symbolkan dengan ;
~ raa
Dalam rangkaian
selanjutnya miim inilah yang menjalankan dan melaksanakan
urusan-urusan-Nya (~raa). Penjadi pengemban amanah. Maka semestinya Miim harus
senantiasa patuh atas ~raa, yang sudah di amanahkan. Dan seharusnya memang miim patuh.
Sebab Haasudah sukarela untuk patuh, dan memang tidak
ada pilihan lain bagi Haa selain patuh, dan sudah seharusnya Haa patuh.
(Maka menjadi ‘problematika’ ketika miim yang memasuki raga manusia tidak di
gunakan untuk patuh dan berserah atas ~raa yang sudah di amanahkan-NYA.)
Karenanya, bisa
dimengerti saat Miim patuh sebagaimana Haa
yang patuh. Dan saat Miim menyadari keberadaannya
bersama-sama Haa (menyatu), kemudian bersama-sama bertasbih
kepada-NYA. Akan menimbulkan ketenangan dan kenikmatan luar biasa bagi Miim. Miim
akan merasakan sensasi Haa yang tenang, yang selalu pasrah dan patuh kepada
Tuhannya. (Maka dapat dimengerti bahwa ada ajaran yang
terus berusaha untuk bersatu dengan Haa saja).
Menjadi rangkaian symbol atas
makna pemahaman tersebut menjadi ;
Alif laam miim raa.
Oleh sebab itu,
saya ingin menggaris bawahi, bahwa kesadaran (baca; miim) adalah ‘gift’ (pemberian)
Allah semata, tak ada sesuatu apapun yang dapat kita lakukan, selain
mengharapkan karunia-NYA atas ini, sebab keadaanya, (sekehendak-NYA,
ditahan atau di kembalikan kepada raga kita) keberadaannya untuk merasakan
sensasi Haa yang ‘teramu’ di dalam raga kita. (Mencicipi
sensasi rahsa)
(Maka makna
‘tidur’ disini menjadi penting untuk dipahami sebelum masuk kepada pemahaman
yang akan saya usung selanjutnya.)
Inilah (mengulang) hakekat pemahaman
symbol Haa dan Miim, yang akan menjadi penghubung, yang mengawali kajian
symbol berikutnya.
A
|
lif laam miim. (QS. 01 ; 1)
Kitab ini tidak ada keraguan padanya,
petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. 01 ; 2)
lif laam raa.
Inilah ayat-ayat Al qur an yang penuh
hikmah. (QS. 10 ; 1)
lif laam miim raa
Ini adalah ayat-ayat Al-Kitab
(Al-Qur’an). Dan kitab yang diturunkan kepadamu daripada Rabbmu itu adalah
benar; akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya). (QS. 13:1)
Symbol Alif di muka sudah kita maknai sebagaimana perumpamaan ‘cahaya’ Allah (Lihat Kajian 1 ; Alif lam miim). Merupakan symbol utama, adanya energy, informasi, dan lain-lain, yang menjadi penggerak alam semesta ini.
Symbol Alif inilah
yang berangkat dari ketiadaan, dari sesuatu dimensi yang belum bisa disebut.
Kemudian dalam suatu rangkaian penciptaan. Terangkai menjadikan adanya
alam semesta ini, dalam dimensi matery yang mampu kita saksikan. Dan alam
semesta ini disymbolkan dengan ;
~ Laam
Laam di rangkai kepada miim dan
juga kepada raa, mengisyartkan bahwa Alam yang
dimaksudkan mengadung makna atas hakekat beberapa alam , yaitu alam
dunia dan alam akherat. Dan juga alam-alam diantara keduanya. Alam-alam
yang harus disadari keberadaannya dalam kesadaran (miim) kita. Maka
keadaan ini di khabarkan terus menerus oleh Al qur an.
Mereka dalam
urusannya (raa) masing-masing. Sehingga dapat kita mengerti jika
kemudian Al qur an menggunakan symbol tersebut dengan secara terpisah, dan
kemudian menggabungkannya dalam satu symbol yang berangkai sempurna. Kesadaran
diri (mim) mendahului atas raa , menjelaskan satu sama
lainnya, menjadi arangkaian ayat yang berlaku di alam semesta.
Alif, laam sendiri
bersama miim, dalam suatu pemahaman bahwa keadaannya berada dalam
satu kesadaran.
Alif , laam sendiri
bersama raa (yaitu) dalam suatu urusan yang sudah
di serahkan.
Alif , laam bersama-sama miim dan raa,
menjelaskan hubungan diantara mereka berlakunya hukum-hukum , aturan, urusan,
dll sebagai tanda-tanda kekuasaan-NYA, akan tetap keadaannya bersama para
saksi-saksi Nya. Lengkap dengan hukum-hukum-NYA bagi mereka yang mengingkari. ;
Alif laam miim, Alif laam raa,
dan dipertegas keadaannya dengan symbol yang menguatkan
keduanya,
Alif laam miim raa.
Ini adalah ayat-ayat Al-Kitab
(Al-Qur’an). Dan kitab yang diturunkan kepadamu daripada Rabbmu itu adalah
benar; akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya). (QS. 13:1)
Itulah
symbol-symbol atas ayat-ayat Al qur an yang menjadi bagiannya masing-masing
Alif, laam, miim, dan raa. Bersama-sama menjadi komponen penyusun dan pengatur
alam semesta ini. Menjadi satu rangkaian bukti-bukti ‘kekuasaan’ Allah, ‘kebesaran’ Allah.
Maka mereka semua bertasbih, langit dan bumi, dan seluruh alam semesta ini
bertasbih, mereka patuh, dan sudah seharusnya mereka semua patuh dalam suatu
rangkain system yang tali temali.
Menghakimi
sang ‘AKAL’
Pernahkah
terpikirkan bagaimana cara bekerjanya komputer. Bagaimana komputer mampu
mengolah data demikian luar biasanya. Ada dimanakah ‘kecerdasan’ komputer ?.
Saat komputer ‘searching’ dengan apakah dia melakukan
‘pengenalan’ ?. Kemudian menampilkannya kepada kita apa yang kita inginkan. Dan
menyajikannya kepada kita sudah dalam keadaan siap pakai. Kecerdasan apa yang
di miliki mesin pencari ‘google’ ?. Komputer dapat mengolah data yang begitu
sulitnya. Adakah ‘kecerdasan’ di dalam komputer ?.
Pernahkah terlintas
perumpamaan ini, bahwasanya tubuh kita sebagaimana komputer juga. Allah telah
meng input data (menyusupkan) kefasikan dan ketakwaan. Adakah ‘kecerdasan’ kita
yang mampu ‘searching’ (?), kemudian menyajikannya di layar
(akhlak) dengan benar. Tidak menampilkan kefasikan yang disangka kebaikan
(ketakwaan). Atau sebaliknya. Bukankah kita sering salah ‘memindai’(searching),
keburukan sering di sangka kebaikan. Jadinya menyintai selain Allah
seperti halnya menyintai Allah. Dimanakah ‘mr google’di dalam tubuh
kita ?. Mengapakah kita sering keliru ‘searching’ nya, sehingga
tampilannya (akhlak) tidak sebagaimana yang dikehendaki Allah (?).
Pernahkah terlintas bahwasanya alam semesta ini
adalah sebuah kotak komputer yang maha besar ?. Dan Buku
Manual-nya adalah Al qur an yang ada di tangan kita ?.
Sayang kita sendiri yang belum mengetahui bagaimana
cara membacanya. Sebab Al qur an banyak menggunakan bahasa symbol.
Namun bukankah komputer yang kita pakai juga
menggunakan bahasa symbol ?. Bahasa yang sulit dimengerti manusia awam ?.
Kalau begitu bagi kita yang awam,
sama saja keadaannya.
Sama-sama akan mengalami kesulitan dalam
menguraikan maknanya.
Nah, pertanyaan kembali mengemuka.
Apakah sama antara orang yang tahu dan
orang yang tidak tahu ?.
Apakah setiap orang harus tahu bahasa symbol ini ?.
Sejenak kita
luruhkan analogy ini…!. Pernahkah terlintas dalam diri kita, bahwa untuk
membaca symbol-symbol yang menjelaskan, bagaimana system alam
semesta bekerja. Kita selalu diajari-NYA ?. Manusia di ajarkan melalui
para Nabi dan Rosul ?. Berita system pengajarannya di kisahkan dan di khabarkan
oleh Al qur an melalui ayat-ayat yang teratur sangat rapi sekali. Adakah
terlintas dalam akal kita ?.
Buku manual yang
dari dahulu terus di sempurnakan, di era para nabi. Sesuai
dengan peradaban manusia yang meliputi di setiap masanya. Hingga kemudian
menjadi benar-benar sempurna, dengan turunnya Islam. Islam di lengkapi
dengan buku manual yang kita kenal dengan Al qur an, yang berada di
tengah-tengah kita sekarang ini.
Al aqur an sudah
ada di tangan kita , dan menantang siapa saja yang berkeinginan untuk
mengetahui hakekat alam semesta dan penciptaannya. Bukan hanya sekedar
khabar atas surga atau neraka saja. Akal di minta untuk berfikir melihat
ke kedalamannya, melihat dengan hak , keberadan alam semesta yang di nampakkan
di hadapannya. Siapakah yang menggerakkannya ?.
Sayangnya, Akal manusia nyatanya
hanya tunduk kepada dan atas apa yang dilihatnya, (yaitu) melalui mata,
melalui yang dirahsa indra perasa, melalui indra pendengaran apa yang
pendengaran, dan akal hanya mau menerima informasi dari instrument
indrawi saja !.
Akal hanyak mau menerima sesuatu yang
‘real’ saja. Akal akan menolak informasi yang masih ‘ghaib’ bagi dirinya.
Maka kepada manusia
di berikan miim, sebagai sarana untuk membuka rahasia ini.
Sebagai instrument yang ‘menghakimi’ sang akal bilamana dia
bekerja. Kesadaran (miim) adalah karunia dan rahmat Allah kepada manusia.
Sebab kepadanya di berikan instrument‘bashiroh’ yang membantunya
dalam memilah informasi. Karena dengan ini kita mampu mendapatkan
nikmat-nikmat dalam beribadah kepada-NYA.
Nikmat-nikmat yang tidak mampu
dirangkai dengan kata-kata. Saat mana kita memasuki alam-alam yang sudah di
hamparkan-NYA. Inilah jalannya orang-orang yang ‘mencari’, jalannya
orang yang diberikan nikmat atas setiap etape yang berhasil
diselesaikannya. Sebagai upah capai dan lelahnya yang senantiasa
memikirkan ‘ciptaan’-Nya. Menjadi saksi atas ke Maha Besar an –NYA.
Rangkaian yang
menjelaskan
Sebuah rangkain
symbol menjelaskan keadaan itu. Keberadaan alam semesta harus di sadari oleh miim.
Dari sekian milyard manusia, selalu akan ada manusia yang mampu sebagaimana ‘miim’ ini
di setiap peradaban. Masalahnya, orang-orang yang diberikan hikmah selalu
akan bersembunyi atau di samarkan. Sebagaimana nabi Khidir yang keberadaannya
di samarkan. Maka bagi manusia awam, cukuplah menjadi saksi atas keberadaan
alam semesta ini, atas ke agungan-NYA, yang telah mengadakan dan menjadikan
semua itu dalam keadaannya begitu.
Maka sebagaimana
pertanyaan di muka, bagaimana keadaannya jikalau kita ‘tidur’ ?.
Sebagaimana dimaksud dengan ‘sebenarnya tidur’ ?. Bukankah keberadaan
kita akan sia-sia ?. Bukankah dengan ‘tidur’ kita tidak akan pernah merasakan
‘kenikmatan hakiki’ ?. (Yaitu) bagaimana nikmatnya beribadah kepada-Nya ?.
Bagaimana kita mendapatkan ketenangan yang luar bisa saat bertasbih bersamaHaa,
yaitu bertasbih bersama alam semesta. (Sebagaimana Nabi Daud).
Maka bagi para
‘pencari’ di saat di kembalikannya ‘kesadaran’ (miim) kepada dirinya. Itulah
nikmat yang tak terkatakan. Dengan ini, dia akan bisa meng eksplorasi lagi,
kenikmatan-kenikmatan dalam beribadah kepadanya. Rasa syukur begitu luar
biasanya dalamnya, (yaitu) saat ‘miim’ di kembalikan lagi ke raganya. Terus
demikian keadaannya begitu. Setiap bangun pagi pasti melantun ucapan
syukur yang sangat dalam kepada-Nya. Di hadapannya nampak membentang
kenikmatan-kenikmatan adanya.
Maka diri kemudian
mensyukuri terus setiap detiknya, atas nikmat ‘kesadaran’ yang
di kembalikan. Dia mensyukuri keberadaannya di dalam raga ini, di saat ini. Dia
mensyukuri saat dirinya terbangun dari ‘tidur’ nya.
Dan jika keberadaan
ini di sadari terus, maka kemudian selanjutnya dia akan mampu merasakan
betapa nikmatnya, berjalan menuju ke masjid, saat sholat subuh. Sungguh luar
biasa sekali rangkaiannya. Kenikmatan yang tidak terganti dengan apapun ‘kenikmatan’
di dunia ini, saat (dalam) keadaan ini.
Maka Islam sangat menganjurkan
umatnya untuk sholat berjamaah di waktu subuh. Saat awal di kembalikannya miim adalah
saat menentukan dalam waktu-waktu berikutnya. Betapa saat itu kenikmatan saja
adanya. Sayang sekali umat muslim, banyak yang melupakan kenikmatan yang satu
ini.
Oleh karenanya itu, dikembalikannya kesadaran (miim) hakekatnya adalah
sebuah anugrah, sebuah karunia yang besar. Dengan itu kita mampu menikmati
saat-saat kita beribadah kepada-NYA. Maka dari itu, jangan sia-siakan waktu
saat ‘kesadaran’ baru saja di kembalikan kepada kita. Gunakanlah untuk
menikmati ibadah kita. Langkahkanlah kaki menuju masjid saat pagi.
Disana ada kenikmatan yang tiada terperi. Jika saja kita mengetahui ini.
Meski dengan ‘merangkak’ pastipun akan di jalani. Sungguh !.
Maka dengan inilah kajian rangkaian symbol Alif laam miim raa,
di hantarkan, agar kita mampu mendapatkan pemahaman, kenikmatan-kenikmatan
dalam beribadah kepada-Nya, sebagaimana doa kita sepanjang waktu ;
Tunjukanlah kami jalan yang lurus.
(Yaitu) jalannya orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
(QS. 1 ; 6-7)
Jika jalan
kenikmatan itu sudah di tunjukan, masihkah kita menunggu ?. Tidakkah kita
mengetahui bahwasanya jalannya orang-orang yang diberikan nikmat adalah (hanya)
ibadah kepada-NYA. Yaitu kenikmatan di kedalaman atas
hakekat beribadah itu sendiri ?.
Wolohualam bisawab
Salam
arif
Komentar
Posting Komentar