Kajian Al Kasyaf 4, Mengenal Keghaiban
Membalik Kesadaran
Perjalanan yang panjang lagi melelahkan, tak berhitung hari,
sering kepala menjadi kaki, atau bahkan kaki menjadi kepala, karena memang tak
mengerti lagi mau melangkah kemanakah (?). Jalan tertatih, tersungkur puluhan
kali, bergolaknya rahsa, seumpama keadaan bumi yang megalami pemanasan global,
itulah keadaan jiwa. Namun diri terus berusaha untuk menapaki, terus
mencari bukti-bukti, terus membuka hati, mencoba memahami uraian setiap kata,
merenungi, mentafakuri, bersama dalam kontemplasi mencari jati diri, dalam
kesendirian, dalam belitan hidup, dalam kerumunan persepsi, kesemuanya menjadi
ilustrasi atau mungkin saja menjadi kisah tersendiri.
Maha besar Allah, sedikit demi sedikit dan pasti,
ditunjukan-Nya jalan dimana dan bagaimana harus memulai. Bersiap mengarungi
samudra makrifat yang tiada bertepi. Menuju sebuah hakekat. Menetapi keghaiban itu sendiri. Namun ketika bukti
ditunjukkan betapa jiwa ternganga sendiri. Sebab nyatanya keghaiban yang coba
dimaknai tersebut nyatanya adalah realitas itu sendiri. Membalikan kesadaran itulah yang
terjadi. Bagaimana harus menjelaskan ini ?. Terpana, tak percaya.
Nyatanya Allah SWT menunjukkan begitu adanya.
Otak kehilangan kalimatnya, dan raga terjaga dalam tidurnya,
sementara kesadaran diam dalam pengamatannya. Mengulangi setiap detail kata
yang mungkin luput dari jelajah sang jiwa. Setiap keadaan dirasakan, setiap
kejadian menjadi fana, ber-tiwikrama amat dalam, menunggu di pahamkan, nyatanya
tiada kalimat yang mampu menjelaskannya lagi. Ya, tak ada kata yang mampu
menjelaskannya lagi, semua seperti tanpa huruf , tak perlu kalimat apa-apa. Tak
ada tanda baca sama sekali. Semua dimengerti dalam bahasa ilham itu sendiri.
Bagaimana menyampaikan fakta ini kepada manusia lainnya. Nyatanya untuk
berbicara apa adanya tak ada bahasa yang dapat mewakili ungkapannya.
Sebuah pemahaman yang rasanya sering kita dengar namun kita
tidak tahu bagaimana itu. Sebuah kesadaran yang biasa saja namun kenapa begitu
dahsyatnya terasa di badan. Maka hanya sebuah pengandaian saja yang dapat
disampaikan. Bagaimanakah rasanya ketika kesadaran di jungkir balikan. Sungguh
buku BERGURU KEPADA ALLAH telah membalikan kesadaran selama ini. Kesadaran yang
terhijab persepsi. Kesadaran diri yang selama ini tak sanggup melihat
realitas sejati, kesadaran yang selama ini yang (telah) mengganggap bahwa
keghaiban adalah sama halnya dengan ketiadaan. (Sesuatu yang tak perlu
dianggap).
REALITAS NYATANYA ADALAH KEGHAIBAN itu sendiri. Dan KEGHAIBAN
SEJATINYA ADALAH REALITAS YANG SEJATI. Inilah kesimpulan atas perjalanan
panjang. Sebuah pemahaman yang membalikan anggapan, maka perjalanan
makrifat menuju hakekat menuju muaranya, adalah ke-imanan Islam, sebuah
kesadaran dalam meyakini Iman.
Allah SWT (ghaib) nyatanya lebih realitas dari alam semesta dan
diri kita sendiri. Dalam kesadaran kita hanya Allah yang nampak nyata
(realitas). Bumi dan alam semesta ini nyatanya hanyalah semu (ghaib). Begitulah
dalam kesadarannya sekarang.
Sangat jauh dengan
pemahaman pada awalnya. Begitu berpilinnya logika pemikiran menyadari hakaket ini. Meski beberapa kajian tentang ini
pernah di baca. Namun ketika merasakannya sendiri fakta ini. Menjadi saksi atas
hal ini. Tak luput jiwa terhenyak, diam dalam ke-takmengertian atas apa yang
telah di dapatkannya. Lantas bagaimana dengan hakekat realitas yang selama ini
nampak oleh indra kita, yang selama ini kita kejar dan kita perjuangkan ?.
Sungguh seperti perumpamaan, salju yang turun kemudian mencair
mengalir entah kemana. Begitu keadaannya. Ketika di pegang nyatanya salju itu
meleleh hilang di hembuskan angin. Seperti kebun yang kita perjuangkan kemudian
hangus terbakar keesokan harinya. Itulah perumpamaan dunia ini.
Masih banyak sekali pemahaman yang seperti di alirkan satu demi
satu seperti :
1. Malaikat Allah, dari keghaiban mereka mengatur dan
mengkontrol system jalannya alam semesta dan diri kita. Maka akan nampak
dalam kesadaran kita, bagaimana sempurnanya pengaturan itu. Apa yang
nampak (realitas) nyatanya di atur dari keghaiban. Maka realitas adalah
keghaiban itu sendiri.
2. Kitab-kita Allah,
adalah firman Allah yang menjadi petunjuk bagi manusia. Kebenaran setiap
petunjuk hakekatnya adalah ghaib bagi kita. Kita tidak pernah tahu
kebenaran sejati atas petunjuk tersebut. Namun aneh sekali, semua itu
dipahamkan, seperti di tarok saja. Sehingga petunjuk tersebut menjadi keyakinan
kita atas kebenarannya, menjadi realitas diri kita dalam menjalani kehidupan
ini. Keghaiban yang menjadi realitas kesadaran kita.
3. Nabi dan Rosul, kisah perjalanan ruhani mereka sampai kepada
kita melalui khabar yang diberitakan Al quran, sejatinya kita tidak pernah
mengenal mereka itu. Namun entah sebab apa, jiwa mereka mampu kita rasakan
sebagaimana kita rasakan denyut jantung kita sendiri, bagaimana kehalusan jiwa
mereka, perjuangan mereka, nampak sekali terpampang nyata dalam kesadaran kita.
Mereka ghaib tapi menjadi realitas di badan ini.
4. Hari Akhir, suatu hari yang sangat jauh dari gambaran kita. Hari
yang sangat ghaib, entah ada ataukah tidak. Kesadaran kita hanya ter
konsentrasi di hari ini dan esok hari, terus begitu keadaannya. Hari Akhir
adalah ghaib. Namun tidak setelah kesadaran di balikkan, nyatanya Hari Akhir
adalah suatu realitas hari yang pasti terjadi. Dunia akherat lebih nyata dari
dunia ini. Keghaiban lebih nyata dari realitas.
5. Qodho dan
Qodhar, betapa sulitnya berhadapan dengan kerasnya kehidupan. Miskin dan
papa, tanpa ada cinta. Realitas yang nampak adalah seperti itu, hidup bagai
dalam neraka. Perlahan tapi pasti kesadaran ini di balikkan. Manusia tidak akan
di rugikan, apa yang dia takutkan hanyalah bisikan saja. Manusia sering hanya
takut kepada bayangannya sendiri. Semua berada dalam ketetapan dan
ketentuan-Nya. Maka persepsi kita yang tadinya nampak sangat realitas ternyata
malah ilusi (ghaib) belaka. Akhirnya kehendak Allah yang terjadi. Kehidupan
yang sebelumnya terasa neraka, di jungkir balikkan keadannya, kehidupan
sekarang ini layaknya adalah di surga saja. Aneh sekali.
Membalik
kesadaran. Seperti hanya merubah arah putaran bumi, merubah posisi
masing-masing kutubnya saja. Menempatkan kutub realitas dan ghaib sebagaimana
yang dimaksudkan oleh pengajaran Rosululloh. Blaam…!. Kemudian kejadiannya, suasana hati
berubah sangat radikal. Mendung hilang perlahan, iklim berubah nyaman, angin
sirna, cuaca menjadi sejuk, dan bumi (tubuh) menjadi nyaman untuk di tinggali.
Kenapakah bisa begitu ?. Sungguh sampai kini tetap tak mengerti. Cahaya Allah
(sungguh) sangat besar bedanya dengan cahaya matahari (selain Allah). Cahaya
matahari akan merubah wajah bumi menjadi bermacam-macam wajah (iklim).
Sementara cahaya Allah mengembalikan wajah manusia kepada fitrah-Nya.
Mencari referensi
Awalnya
luar biasa sulit sekali. Namun nanti semua seperti di bukakan, hal yang terasa
sulit seperti di mudahkan untuk memahaminya, seperti di tarok begitu saja.
Tidak saja dalam masalah hakekat dalam realitas pekerjaan pun demikian juga,
pikiran juga semakin tenang,. Mampu memahami persoalan melihat dari setiap
sudut, dan meletakannya ke dalam posisinya masig-masing, sehingga menjadi jelas
bagaimana menyelesaikannya. Persepsi-persepsi tentang banyak hal yang selama
ini menjadi ‘binding’ seperti di bongkar, sehingga Nampak jelas jalan mana yang
meski dilalui. Maka rasanya tak sia-sia melakoni semua ini.
Menemukan
kesadaran ‘Aku’ yang menjadi landasan ber proses untuk memasuki bagian
selanjutnya bagian Silatun (Patrap), menjadi kesulitan tersendiri, mungkin
bagian ini hampir menyita 30% waktu tersendiri dalam eksplorasinya. Siapakah
‘Aku’, hakekat sang “Aku’, berpilin-pilin dalam kesadaran yang tak tembus,
semua saking-saking terhijabnya diri kita atas kerasnya kehidupan kota.
Bagaimana tidak pikiran selalu di kejar kebutuhan sehari-hari, mau makan apa besok
?. Ketakutan jika tidak bisa makan, ketakutan jika tidak mampu kerja, semua
bagai benang kusut yang sulit menguraikan dari mana asalnya persepsi ini. Sulit
sekali mencari referensi, bahwasanya rejeki sudah diataur oleh-Nya. Sebab
faktanya semua harus kita perjuangkan dnegan segenap akal dan fikiran, serta
kerja keras kita. Jika tidak mampu bersaing, maka habislah kita di belantara
kota ini. Mau dikemanakan anak dan istri kita. Meluruhkan semua persepsi ini,
bagai peperangan yang tak berkesudahan.
Memasuki
tahapan selanjutnya, bagaimanakah kita datang kepada Allah dengan rahsa cinta
dan rindu ? (Patrap 1). Sungguh sulit sekali mencari referensinya di
dalam diri kita. File kesadaran kita menolak hal ini. Apakah yang Tuhan berikan
kepada dirnya, hingga kita patut mencintai-Nya ?. Hujatan atas ini sedemikian
kuatnya. Semua dikarenakan dirinya tak pernah sedikitpun merasakan adanya
kasih-sayang atau cinta dalam kehidupannya. Semua berangkat dari beban hidup
dan kesulitan hidup yang mendaparkannya.
Seperti apakah rahsa cinta ?. Sungguh dia tidak pernah mengenal rahsa
itu. Bagaimanakah mengenali rahsa tersebut , jika dia tidak pernah disusupkan
rahsa cinta ?.
Begitu
sulitnya memasuki Silatun (Patrap 1). Bagaimanakah menghadirkan rahsa cinta
dalam menyebut nama Allah. Sementara diri tidak mengenal kata itu, tidak pernah
merasakan rahsa cinta itu seumur hidupnya. Berulang kali ini ditanyakan dalam
dirinya. Diri tetap ternganga tak mengerti. Tak paham apakah yang dimaksudkan.
Sungguh
Allah Maha Besar, Maha Suci Allah, secara perlahan diajarkan-Nya,
ditunjukkan-Nya seperti apakah rahsa itu, melalui cara-Nya yang sangat ajaib.
Diajarkan-Nya kita agar mampu membedakan manakah cinta yang realitas dan
manakah yang semu, agar jiwa mengenali hakekat cinta itu sendiri. Begitu
dahsyat pengajaran ini. Hampir-hampir saja mencabut nyawanya.
Fase
pengajaran terus berjalan lambat, diperjalankan dirinya memasuki keghaiban.
Berjalan memasuki dimensi alam ghaib. Di kenalkan dengan berbagai macam
kesadaran yang beredar di masyarakat. Bercengkrama dengan kesadaran para
Raja-raja Jawa, mulai dari Ken Arok, Panembahan Senopati, Sultan Agung, dan
banyak lagi, entah sudah berapa banyak mereka-mereka yang hadir dalam
kesadaran dirinya. Mereka hadir untuk dikenali (dalam) kesadaran kita.
Kesadaran
masih berkelana, dipertemukan dengan kesadaran Ratu Pantai selatan, Ratu Pantai
Utara, Prabu Siliwangi, dan lain-lainnya. Berhadapan perang dengan Nimas
Pandansari (Nyi Blorong) dalam sebuah pertarungan. Cerita tidak sampai disitu,
dalam kesadarannya mampu merasakan sesuatu yang lebih jauh, para penguasa
gunung dan lembah, para danyang dan lelembut. Semua seperti bertabrakan dalam
dirinya. Setiap memasuki daerah ada saja kejadian yang terjadi, seperti mampu
merasa kehadiran. Sungguh dimensi kesaktian yang melenakan. Sebab sangat terasa
sekali efek di badan. Namun semua harus di tinggalkan dan ditanggalkan.
Sebagaimana pesan-pesan Pak Slamet Utomo yang sempat terbaca. Bukan itu
yang di cari. Perlahan diri meluruh, kembali kepada realitas kehidupan manusia.
Kembali sebagai manusia biasa, diajarkan apa itu rahsa takut.
Ketakutan yang mendera jiwa dan raga. Hingga tubuh meringkuh tak mampu beranjak
dari tempat tidur. Ketakutan yang di buat oleh persepsinya. Dikenalinya rahsa
takut. Di bandingkannya rahsa takut tersebut. Seberapa kuatkah rahsa takutnya
dengan Allah di bandingkan kepada selain Allah. Nyatanya dirinya masih lebih
takut kepada selain Allah. Kenyataan itu tak bisa ditutupi, ketika kebutuhan
sehari-hari, harus di penuhi, kewajiban hutang harus di bayar, ternyata level
rahsa takut lebih tinggi daripada level rahsa takut kepada Allah. Masih
ditinggalkan sholat dengan seenaknya. Dimanakah rahsa takutnya kepada Allah ?.
Kesadaran di gedor atas hal ini. Kenapakah bisa tertipu ?. Sungguh diri juga
tidak mengerti mengingat kejadian itu.
Allah belum menjadi
realitas bagi dirinya, maka dirinya tidak takut kepada Allah. Itulah penyebabnya.
Maka pemahaman selanjutnya kembali diuji lagi. Di pahamkan lagi atas
hakekat ini. Di datangkan begitu banyak rahsa takut oleh Allah, begitu banyak
masalah yang di munculkan. Dibenturkan pada hakekat keadaan. Nyatanya apa saja
yang dia takutkan tidak ada, tidak pernah terjadi, sehingga karenanya diri
menyadari ada yang mengatur semua itu. Ada ketentuan dan ketetapan Allah dalam
setiap kejadian. Maka takutlah hanya kepada Allah. Maha Besar Allah.
Itulah inti dari pengajaran-Nya.
Masih banyak lagi sebenarnya rahsa yang diajarkan. marah,
was-was, dan lain-lainnya, serta bagaimanakah mengenali serta meniadakannya,
namun pada hakekatnya sama saja, kembali hanya kepada Allah dan Allah. Berat
pada awalnya namun nikmat pada akhirnya. Begitukah pembelajaran seorang
yang awam dengan Islam ?. Jalan tak semanis seperti yang dia dengar. Namun semua
terbalaskan, kini hasilnya nyaman di badan. Maka mulai saat itu, semakin
dimantapkannya hati untuk terus BERGURU KEPADA ALLAH. Membuat catatan-catatan
untuk dibaca di kemudian hari. Mencari dan menyandingkan dengan catatan-catatan
Rosululoloh (hadist) yang berkaitan dengan itu, bertanya sudahkah hasil yang di
dapat dalam pengajaran kali ini sudah sama dengan hasil yang seharusnya, yaitu
sebagaimana catatan yang dibuat Rosululloh untuk hal tersebut. Terus berjalan
lagi, dalam diam dalam kontemplasi. Menata hati, agar tubuh ini nyaman
ditinggali. Sebab diri bukanlah wali. Manusia biasa dan sangat biasa dalam
kelemahan dirinya. Mencoba tegak di jalan illahi.
Wolauhulam
Komentar
Posting Komentar