Dzauk dan Kasyaf, (Bertasbih Bersama Angin, Burung dan Gunung)


Kepada Angin dan burung-burung
Pernahkah mendengar lagu, ‘Kepada angin dan burung-burung’ ?. Lagu yang sangat popular sekali di era 70 an. ?. Mampukah jiwa kita menyusuri lagi sensasi rahsanya ?. Coba mari kita mengelana dimasa indah dahulu, masa penuh romantika anak-anak ketika menjelang remaja. Bagaimanakah kita mulai masuki keadaan suasananya (?). Hmm.
Kepada angin dan burung-burung
Matahari bernyanyi
Tentang daun dan embun jatuh
Sebelum langit terbuka 


Kepada angin dan burung-burung 

Kunyanyikan lagu ini
Tentang asmara yang biru 
Yang mewarnai lukisan di dinding
Sebuah hati tanpa pigura 
Tergantung sendiri dan berdebu

Kepada angin dan burung-burung 

Mengerti irama ini 
Seorang lelaki yang merindukan  
Matahari terus bernyanyi  

Apakah angin tetap bertiup  

Bersama jatuhnya daun  
Apakah burung akan tetap terbang  
Di langit yang terbuka  

(Kepada angin dan burung-burung by Franky and Jane) 
Nuansa angin dan burung, romansa kehidupan yang menghantarkan kita pada suatu masa, diantara pematang sawah. Dari bukit yang tinggi mata jauh memandang, air yang tergenang disela dan persawahan yang menguning, padi berguliran ranum dan tetes embun sering muncul diujung bulirnya. 


Tidakkah kita memiliki kenangan ?. Berada di lereng pegunungan, di kaki gunung Sindoro dan gunung Sumbing, berlarian mengejar layang-layang, berloncatan diantara pematang sawah yang satu ke pematang sawah lainnya. Meloncat ke bawah yang kadang berjarak 2 meter tingginya. Sambil berdendang lagu. Saat masih bocah lagu kepada angin dan burung itu menemani kami semua berkejaran. 
Bila senja telah temaram, kami semua beranjak pulang. Nampak dari ujung sebelah timur burung-burung ber gerombol, berduyun-duyun menuju arah barat. Dan langit seperti nampak menghitam saking banyaknya mereka. Kami semuanya takjub. Apakah yang menahan mereka semua tetap di udara?. Dan jika tanda burung-burung sudah mulai nampak dari ufuk. Maka saat itu kami semua bergegas pulang dan mandi,  dan cepat-cepat pergi ke surau kami yang terletak 500 meter diatas tak jauh dari rumah. Sebab adzan maghrib sebentar lagi pasti akan berkumandang.

Duh, indahnya, bukit yang sepi, di belakang rumah, hamparan lembah dengan padi yang menguning. Nun jauh disana ada perkampungan desa, tempat kami ber nostalgia. Sensasi itu begitu kuat terasa dalam kesadaran. Meskipun saat ketika kami semua datang kembali kesana, burung-burung yang berbondong-bondong terbang itu sudah tidak ada lagi. Tinggal satu dua ekor saja. Namun saat mendengar lagu kepada angin dan burung-burung milik Franky dan Jane, sensasi tersebut masih sangat membekas. begitu kuat terekam di jiwa. Dan sepertinya (saat itu) kami mampu merasakan bagaimana sensasi berada bersama angin dan burung-burung. Entahlah itu.

Apakah angin tetap bertiup
Bersama jatuhnya daun
Apakah burung akan tetap terbang
Di langit yang terbuka 



Pertanyaan yang membuat gundah, apakah angin tetap bertiup bersama jatuhnya daun ?. Apakah burung akan tetap terbang dilangit yang terbuka ?. Apakah tiada satupun manusia yang mengerti ini ?. Mengerti bilamana saat itu angin dan burung,  senantiasa bertasbih dalam geraknya itu. Bersyukur, bersuka cita, saat mana ada kekuatan yang menahannya melayang diudara. Benarkah tiada  satupun manusia yang peduli tasbih ini ?. Atau memang diri ini yang tidak mengerti, seperti katak dalam tempurng saja. Mungkin saja ribuan manusia telah mampu bertasbih bersama mereka. Sayangnya, tidak dengan diri ini, bahkan mungkin saja kita, dia dan mereka, banyak yang belum mengerti bagaimana keadaan suasana tasbih dalam kebersamaan dengan  mereka semua itu.



Sayang keinginan itu lama  terkunci. Diri terkukung dibelantara kota, diantara gedung-gedung pencakar langit. Hingga kenangan serta sensasi itu terbenam, terpendam jauh sekali dibawah kesadaran. Kadang malah dinafikan saja. Terlupa atau  bahkan mungkin sengaja dilupakan saja. Menganggap bahwa kenangan itu tak pernah ada. menutup diri dengan cara  bertasbih di pojok masjid dibawah tempat parkir yang kadang lebih banyak baunya dari pada nyamannya. Semakin sumpek saja, penat sudah jiwa ini. 
Namun diri tak putus asa, terus didawamkan dzikir menyentuh hitungan ribuan. Hingga suatu saat, ada sesuatu yang dirasa hilang. Semakin kuat dzikri dan tasbih didawamkan, jiwa serasa malahan seperti terbelenggu. Jiwa tak mampu meluas, tak mampu merasakan sensasi apa-apa. Jiwa sepertinya ingin cepat-cepat menyelesaikan hitungan dzikir, mengejar target setoran. Ya, dzikir dan tasbih kita sepertinya memang hanya untuk mengejar setoran, dengan jumlah bilangan tertentu. Sebab kita tidak memiliki referensi apa-apa atas tasbih ini. Sensasi apakah yang kita punya sebagai acuan, yaitu keadaan hal suasana tasbih itu sendiri,. Tak ada !, yang penting hitungannya cukup, ya sudahlah. Jiwa mengalami kemandegan, sebagaimana kemacetan di jalan-jalan di ibukota. Terjebak disitu.

Dimanakah burung, dimanakah angin, dimanakah sensasi pegunungan dengan air yang mengalir, dan hawa semilir sejuk dengan wangi pepohonan, aroma hutan  cemara. Sensasi yang manakah yang membekasi dijiwa, yang  biasanya muncul seiring dzikir dan tasbih. Mengapakah jiwa tidak mampu merasakan apa-apa. Jiwa tak mampu merahsakan dan berada dalam suasana pegunungan, dimana sungai mengalir, sementara bunga bermekaran, diantara angin meniup dedaunan, ya..suasana yang tergambarkan sebagai surga. 

Kepada angin dan burung-burung
Kunyanyikan lagu ini
Tentang asmara yang biru
Yang mewarnai lukisan di dinding
Sebuah hati tanpa pigura
Tergantung sendiri dan berdebu
  


Koordinat sebuah rahsa (dzauk) 
Saya sandingkan narasi ini kepada sidang pembaca, kisah-kisah yang lekat dengan kesadaran kita. Sebut saja kisah romantik, sentimentil, kisah yang menggugah perasaan kita, dengan maksud agar kita terbawa menuju suasana keadaan, yaitu  suasana yang ada dalam referensi kita , untuk mendekati koordinat titik sensasi sebuah keadaan suasana rahsa. Dimana ketika disana didalam titik koordinat tersebut,  kesadaran kita  akan mampu mengenalinya adalah  suatu makom keadaan hal yang mendekati hikmah yang  dimaksudkan oleh suatu ayat. Tanpa mengunakan perumpamaan dan  mencari pendekatan  seperti ini, menurut pemahaman penulis jiwa kita akan berputar-putar saja. Dzikir kita akan keluar seperti anak panah yang membabi buta. Tidak menemukan sasaran yang dituju. 


Inilah kesulitan kita, ketika kita tidak memiliki refernsi apa-apa, maka kita sulit untuk memasuki keadaan hal. Ibarat GPS tanpa adanya titik koordinat yang diketahui sebelumnya akan sulit bagi kita untuk mengetahui dimanakah letak area tersebut. Disinilah wilayah kajian kita kajian dzauk dan al hal. 

Maka mencari titik koordinat rahsa, itulah gagasan yang saya usung, dalam rangka upaya mendekati pemahaman atas suatau keadaan hal (suasana) yang ingin disampaikan atas hikmah suatu ayat. Ibarat ruang dimensi rahsa yang memiliki sumbu (X,Y,Z) maka titik persinggungan yang dimaksudkan tentunya akan kita dapatkan dengan menarik garis dari setiap sumbu (X,Y,Z) tersebut sehingga akan bertemu di sebuah titik. 

Setelah kita mampu menarik garis perumpamaan, selanjutnya kita akan mampu menemukan titik persinggungan dari garis-garis tersebut dan  titik inilah yang saya maksudkan sebagai keadaan suasana hal. Maka semestinya jiwa (bashiroh) akan akan bertindak sebagai GPS untuk memandu kesadaran kita dalam menemukan area tersebut. Yaitu area dimensi bagaimana keadaan suasana hal saat kita bertasbih bersama angin dan burung.  Tidak terlalu sulit bukan ?. Marilah kita masuki pemahamannya dahulu. 

Nabi Daud as, sering berdoa agar dirinya tetap diberikan nikmatnya air dingin. Tidakkah muncul pertanyaan kita, ada apa dengan air dingin ?. Pernahkah kita merasakan nikmatnya air dingin ?. Kapan dan dimana ?. Apakah orang yang sedang kedinginan, orang yang sedang kebanjiran, kehujanan, peduli dengan nikmatnya air dingin ?. Dan mampu merahsakan nikmatnya air dingin tersebut ?.   Bagaimana menurut anda ?. Hikmah inilah yang akan saya dekatkan. 


Air dingin akan terasa nikmatnya saat kita tengah berada di panas terik matahari, kehausan. Saat kita berpanas-panas sehabis mengejar bus kota. Atau saat sehabis kita berjalan kesana kemari mencari kerja. Atau sehabis kita berpuasa dalam suasana yang panas sekali. Dan lain sebagainya. Perhatikanlah saat suasana air tersebut membasahi kerongkongan kita. Sensasi apakah yang timbul, keadaan apakah yang terlintas dalam jiwa kita. Ya, nikmat dan syukur. Kata-kata tak mampu menguaraikan keadaannya. Setiap orang pasti dengan ceritanya masing-masing. namun kesemuanya itu akan merujuk kepada satu kata, “betapa nikmatnya air dingin.” Namun apakah kata ini berhenti disini. Tidak. Nyatanya jiwa mampu meluas bersama kenikmatan yang dibawa air dingin tersebut. Inilah kekuatan hikmah. 
Sayangnya nikmat tersebut hanya akan terjadi kepada orang yang sadar. Orang yang sadar jika dirinya sedang minum air dingin. Lho..!. Apa susahnya ?. Jangan heranlah. Coba eksplorasi berapa kali kita merasakan nikmatnya air dingin?. Padahal sudah ribuan kali kita meminumnya. Sudah pernah, belum pernah, atau malahan tidak perduli sama sekali dengan air dingin ?. Kok bisa ya ?. Ya bisa lah. Kalau kita punya uang pasti kita akan memilih minuman lainnya yang lebih kuat sensasinya. Lantas dimana hikmah doa Nabi Daud as ini ?. Ya didalam kenikmatan itu sendiri, (dzauk) bukan pada makna airnya.  

Lihatlah, orang yang mampu merasakan dan menikmati bagaimana air dingin tersebut perlahan, pasti akan memohon agar kenikmatan tersebut berulang kembali. Tetes demi tetes air menjadi kenikmatan tersendiri. Namun sekali lagi sayangnya hanya kepada orang yang sadar saja ini bisa terjadi.  Yaitu bagi jiwa yang sedang berada dalam suasana menikmati air tersebut. Bagi jiwa yang mengelana kemana-mana, jiwa yang tidak berada disitu, air dingin hanyalah air biasa tak memberikan sensasi apa-apa. Ya, hanya sebuah makan minum biasa saja, kejadian yang biasa-biasa saja. Tak berasa. 

Maka disinilah pentingnya posisi jiwa. Jiwa harus dalam keadaan saat sekarang (now), kalau tidak jiwa juga tidak akan mampu merasakan air tersebut, meski kita lelah memohon dan berdoa agar diberikan kenikmatan air dingin. Hasilnya sia-sia. Jiwa harus dalam posisinya, inilah usaha kita,  mengarahkan jiwa kedalam posisinya; yaitu keadaan siap untuk merasakan dan menikmati dinginnya air yang membasahi kerongkongannya. Keadaan siap dan waspada ini sering dimaknai sebagai niat kita. Yaitu keadaan ketika kita menyengaja (berniat) untuk merahsakan nikmatnya air dingin. Namun sayangnya,  ini tidaklah mudah, banyak sekali hijab diri. 

Disinilah nanti akan saya sandingkan dnegan pemahaman  hijrah. Jiwa harus hijrah kepada posisi yang pas, ada niat yang kuat untuk hijrah. Namun Ingat !. Keadaan jiwa juga akan mengalami kesulitan untuk menemukan posisi ini, jika diri tidak memiliki referensi apapun atas kenikmatan air dingin. Bagi orang-orang yang di pegunungan. Air dingin tidak akan memberikan sensasi sebagaimana orang yang di padang pasir. Oleh karenanya jika kita berdoa dengan pemahaman literal saja air dimaknai air, bukan pada dimensi rahsa (dzauk) nya, maka doa nabi Daud as ini, menjadi sering tidak berefek dibadan.  Jiwa harus mampu mengkonversi pemahaman terlebih dahulu. Jiwa harus mampu memahami hikmahnya terlebih dahulu. Baru kemudian kita tempatkan posisi jiwa disana (visi dan misi).  Inilah yang ingin saya sampaikan. 

Oleh karena itu untuk mendapatkan sensasi yang sama, kita yang hidup di daerah dingin (pegunungan) harus mendekati dengan perumpamaan lainnya untuk keperluan melacak koordinata rahsa (nikmat) yang dimaksudkannya.Bisa dengan mengambil perumpamaan yang sepadan, misalnya mengeksplorasi  bagaimana rahsanya jika segelas teh panas memasuki kerongongan kita. Wah, badan jadi terasa hangat, dingin yang menyelimuti tubuh kita perlahan pudar. Dan lain sebagainya.  Bisa juga hal ini kita lakukan dengan cara berpuasa, sehingga keadaan kita sama halnya dengan keadaan dimana kita sangat membutuhkan air dingin. Ketika kita berbuka, kita menyiapkan diri kita (niat) agar posisi jiwa kita berada disini. 

Pendek kata, kita bisa mencari titik koordinat tersebut, dan juga koordinat-koordinat rahsa lainnya, dengan laku syariat dan tharekat yang bisa kita jalani. Tinggal kita meletakan posisi jiwa saja, agar kita mampu mendapatkan makna dan hikmahnya.  Maka syariat sebagaimana yang dicontohkan Rosululloh sangat berguna sekali dalam hal ini. Sholat, puasa, zakat, kurban, dan lain-lainnya akan mampu menghantarkan kita untuk menemukan tiitik kooordinat ini. 

Disinilah entry pointnya, ketika kita sudah mendapatkan sensasi, atau titik koordinat yang sama atas rahsa nikmat yang dimaksud, maka kita akan mampu mengarahkan doa sebagaimana  doa nabi Daud as, ini dengan sama khusuknya sebagaimana orang-orang yang hidup di padang pasir. Ingatlah bahwa Al qur an diturunkan di daerah yang kering, sehingga banyak bahasa isyarat (perumpamaan) yang mungkin tidak didapati di wilayah belahan dunia yang lainnya. 
Ilustrasi inilah yang saya hantarkan untuk memberikan pemikiran lain. Menepis anggapan sebagian orang yang berfikiran bahwa makom bertasbihbersama angin, burung dan gunung-gunung tidak mungkin dicapai oleh kaum urban kota.

Janganlah meragukan kemampuan diri kita. Hilangkanlah apriori dan keraguan. Mari kita langsung rasakan saja. Diantara kesibukan kita, diantara kemacetan ibukota, perlahan kita eksplorasi diri, mencari sensasi kenikmatan apa saja yang sudah Tuhan berikan kepada kita sebagai referensi kita untuk memasuki hikmah setiap ayat dalam doa dan sholat kita.Tuhan sudah menciptakan dan mempergulirkan dengan seadil-adilnya. Semua manusia diberikan kesempatan yang sama. Entah dia berada di gunung, di padang pasir, di desa, di perkotaan, di gedung pencakar langit atau di gubuk derita. sama saja bagi Tuhan. Tinggal manusianya maukah dirinya (jiwanya) ber-hijrah.

Sungguh kita tidak akan mampu mengatakan satu kata saja semisal, “Alhamdullilah,” jika kita tidak mampu menemukan referensi keadaan suasana hal yang menyebabkan diri kita mampu mengucapkan kata tersebut. Kita tidak akan mampu memberikan pujian apapun atas Allah apalagi dengan kalimat.  “Segala puji bagi Allah”, tanpa kita mampu mendapatkan referensinya. Sanggupkah kita mengatakan cinta, padahal kita tidak mencintai ?. Apakah kita akan menjadi ‘pendusta’ ?. Apakah kita hendak menipu-NYA ?.

Kita juga tidak akan mampu mengatakan satu kata saja semisal, “ar rohman nir rohiem,” tanpa kita mampu mendapatkan suasananya yaitu keadaan hal yang menjadi sebab kita mampu mengucapkan kata tersebut. Bagaimana kita mampu memuji bagaimana kita mampu mengatakan Allah Maha Pengasih dan penyayang, sementara kita senantiasa menghujat takdir dan kita selalu berkeluh kesah atas kehidupan kita ini. Atas pekerjaan, atas istri , atas anak,  atas beban hidup dan lain sebagainya. Tidakkah kita mampu menemukan setitik saja kasih sayang-Nya, yang mampu kita jadikan referensi agar kita mampu mengatakan, “Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang.” Marilah kita temukan bentuk-bentuk kasih sayang-Nya kepada diri kita agar kita tidak menyimpan keraguan atas Diri-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang.  Agar kita mampu membangkitkan ucapan syukur atas semua ini. Agar kita puas agar jiwa kita kemudian tenang menjalani takdir dibelantara kota ini.  Meskipun kita berangkat pagi dan pulang malam hari. Inilah pemahamn yang saya usung.

Insyaallah jika kita mampu,  hasil laku kita ini tidak akan kalah dengan umat terdahulu. Asalkan kita lakukan dengan sungguh-sungguh (istikomah). Sebab Islam itu mudah. Allah yang akan mengajarkan kita, menuju jalan-jalan-NYA. Dia yang memiliki kuasa untuk memberikan hidayah kepada siapa saja. marilah kita buka hati kita. 

Kalau sudah begitu,  siapakah yang  bilang jika   manusia urban tidak bisa ber spiritual ?. Bersabar dan istikomahlah.  Tidakkah kita tertarik jika diseiringnya waktu, kemudian tanpa disadari kita akan mampu bertasbih bersama angin, burung dan gunung-gunung ?. Nah, kita tunggu saja, siapakah nanti yang akan komprol sambil bilang, “ Wow..!.”

Marilah kita coba lakukan saja dengan laku, kita langsung makan jeruknya saja, maka dengan begitu kita akan langsung dipahamkan bagaimana hakekat rahsa jeruk itu sendiri

Bersiaplah dengan kewaspadaan (niat), saat dan dalam keadaan untuk mendapatkan kenikmatan,  yang perlahan akan ditunjukkan Allah kepada diri kita. Niat yang tulus dan istikomah hanya karena Allah. Mulailah latih dengan kesadaran dan kewaspadaan (niat) tadi. Seperti misal saat kita makan minum, saat kita mendapatkan khabar gembira, saat ketemu kekasih, anak, istri, saat pulang kerja, saat berangkat kerja, dan lain sebagainya. Saat presentasi, saat dimarahi bos, saat berhadapan dengan customer, dan lain-lainnya. Lakukan semua dengan kesadaraan, kewaspadaan sedang diberikan dan diajari bagaimana mengerti  nikmat. Seperti doa kita, ”..Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat..” Adalah nikmat yang senantiasa meliputi jalannya orang-orang ini. Yakinlah kita sedang pada posisi doa kita ini. Kita ingin sebagaimana mereka (orang-orang) tersebut. Eksplorasi bagaimana sensasinya atas semua kejadian tersebut. nanti kita akan menmukan kenikmatan-kenikmatan disitu.

Sementara itu, sambil kita eksplorasi kenikmatan-kenikmatan yang pernah kita dapatkan tersebut. (Kita bangkitakan dilain waktu saat kita sholat).  Gali terus kedalamannya  dan jadikan referensi. Siapakah yang merasakan kenikmatan itu dan bagaimanakah sensasinya.  Kenikmatan apa saja. Sehingga dengan itu, kita memiliki alas an cukup untuk  bersyukur atas kenikmatan tersebut. Kenali dan jadikan acuan kita. Perlahan saja satu persatu jadikan referensi yang kita miliki untuk memahami hikmah dari setiap kalimah, mulai dari Bismillah hirohman nirohiem, Subhanalloh, Alhamdullilah, Allahu Akbar, Lauhala wala kuwata illa billah, Ina lilahi wa inailaihi rojiun.   Ingat kita sedang belajar mengucapkan kalimah itu dengan hikmah. Bolak balik dan kunyah saja. Bisa juga hal ini, di lakukan dalam perjalanan dan pulang kantor. Atau pada setiap keadaan. Jadikan pekerjaan (aktivitas) kita adalah sarana kita dalam ber spiritual. Maka spiritual jadi mudah. Jangan terstigma berspiritrual harus di tempat-tempat sepi. Keadaan kita saat sekarang ini adalah pekerja, maka itulah sarana kita. (Dalam tulisan selanjutnya akan dijabarkan tekniknya). Semoga saja, kita salah satu diantara saksi-saksi kebesaran-NYA.
   
 Bukalah hati dan rasakan

Kepada angin dan burung-burung
Matahari bernyanyi
Tentang daun dan embun jatuh
Sebelum langit terbuka 


Bagaimanakah burung bertasbih, dan  tentang daun dan embun jatuh,  Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka?.  Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. “ (QS. 67:19). 
Dimanakah posisi jiwa ?. Keadaan suasana apakah yang mampu kita dapatkan dari membaca surah ini ?. Mengerti. Memahami. Mampu memaknai ?. Bukankah ada gaya yang bekerja sehingga burung tetap dapat melayang diudara ?. Sudahkah mampu kita rasakan ?. Ilmu pengetahuan sudah mampu mengungkapkan gaya-gaya yang bekerja kepada burung ini. Maka siapakah yang memiliki daya ini ?.  Mampukah kita mendapatkan suasana bersama gaya tersebut ?. Kalau sudah.  Maka arahkanlah kesadaran kita kepada pemilik daya ini.

Abdullah bin Masoud RA meriwayatkan bahwa, “Kami biasa makan bersama Nabi Muhammad SAW, dan kami biasa mendengar dengan telinga kami puji-pujian kepada Allah SWT dari makanan yang dihidangkan itu.” (HR. Bukhari).

Jabar bin Samra RA meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Aku bisa mengenal batu-batu yang biasa mengucapkan salam kepadaku, bahkan ketika aku belum menjadi Rasul. Bahkan sekarangpun aku bisa mengenalinya.” (HR. Muslim).

Mari kita coba lagi, rahsakanlah bagaimana akal dan jiwa kita saat menerima berita (hadist) ini ?. Keraguan ?. Keyakinan ?. Cobalah eksplorasi. Bagaimanakahakal mampu berada dalam keadaan suasana saat kita mendengar tasbih dari makanan tersebut ?. Dan bagaimanakah batu mampu memberikan salam ?.

Kepada angin dan burung-burung
Mengerti irama ini
Seorang lelaki yang merindukan
Matahari terus bernyanyi 



Kita yang merindukan matahari terus bernyanyi. Sudahkah kita dapatkan sensasinya ..?. Sensasi bertasbih bersama angin dan burung-burung diantara lalu lintas bus kota yang semakin menggila. Di tengah kemacetan yang menampar raga. Dalam tekanan dan kepenatan ibukota. Mampukah sang jiwa tetap dalam keadaan, jiwa tenang melakoni itu semua,  dalam suasana bertasbih bersama angin, burung dan gunung-gunung. Menikmati kemacetan sebagaimana menikmati kebesaran alam semesta yang luar biasa. Hiks !. 



Dan untuk itulah kita ber spiritual, menghantarkan kajian, dan nampaknya  ini masih belum cukup, mari kita lanjutkan,  bersambung…


salam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali