Dzauk dan Kasyaf, (Bertasbih Bersama Angin, Burung dan Gunung)
Pernahkah mendengar lagu, ‘Kepada angin dan burung-burung’ ?. Lagu yang sangat popular sekali di era 70 an. ?. Mampukah jiwa kita menyusuri lagi sensasi rahsanya ?. Coba mari kita mengelana dimasa indah dahulu, masa penuh romantika anak-anak ketika menjelang remaja. Bagaimanakah kita mulai masuki keadaan suasananya (?). Hmm.
Kepada angin dan burung-burung
Matahari bernyanyi
Tentang daun dan embun jatuh
Sebelum langit terbuka
Kepada angin dan burung-burung
Kunyanyikan lagu ini
Tentang asmara yang biru
Yang mewarnai lukisan di dinding
Sebuah hati tanpa pigura
Tergantung sendiri dan berdebu
Kepada angin dan burung-burung
Mengerti irama ini
Seorang lelaki yang merindukan
Matahari terus bernyanyi
Apakah angin tetap bertiup
Bersama jatuhnya daun
Apakah burung akan tetap terbang
Di langit yang terbuka
(Kepada angin dan burung-burung by Franky and Jane)
Matahari bernyanyi
Tentang daun dan embun jatuh
Sebelum langit terbuka
Kepada angin dan burung-burung
Kunyanyikan lagu ini
Tentang asmara yang biru
Yang mewarnai lukisan di dinding
Sebuah hati tanpa pigura
Tergantung sendiri dan berdebu
Kepada angin dan burung-burung
Mengerti irama ini
Seorang lelaki yang merindukan
Matahari terus bernyanyi
Apakah angin tetap bertiup
Bersama jatuhnya daun
Apakah burung akan tetap terbang
Di langit yang terbuka
(Kepada angin dan burung-burung by Franky and Jane)
Bila senja telah temaram, kami semua beranjak pulang. Nampak
dari ujung sebelah timur burung-burung ber gerombol, berduyun-duyun menuju arah
barat. Dan langit seperti nampak menghitam saking banyaknya mereka. Kami
semuanya takjub. Apakah yang menahan mereka semua tetap di udara?. Dan jika
tanda burung-burung sudah mulai nampak dari ufuk. Maka saat itu kami semua
bergegas pulang dan mandi, dan cepat-cepat pergi ke surau kami yang
terletak 500 meter diatas tak jauh dari rumah. Sebab adzan maghrib sebentar
lagi pasti akan berkumandang.
Duh, indahnya, bukit yang sepi, di belakang rumah, hamparan
lembah dengan padi yang menguning. Nun jauh disana ada perkampungan desa,
tempat kami ber nostalgia. Sensasi itu begitu kuat terasa dalam kesadaran.
Meskipun saat ketika kami semua datang kembali kesana, burung-burung yang
berbondong-bondong terbang itu sudah tidak ada lagi. Tinggal satu dua ekor saja.
Namun saat mendengar lagu kepada angin dan burung-burung milik Franky
dan Jane, sensasi tersebut masih sangat membekas. begitu kuat terekam
di jiwa. Dan sepertinya (saat itu) kami mampu merasakan bagaimana sensasi
berada bersama angin dan burung-burung. Entahlah itu.
Apakah angin tetap
bertiup
Bersama jatuhnya daun
Apakah burung akan tetap terbang
Di langit yang terbuka
Apakah burung akan tetap terbang
Di langit yang terbuka
Pertanyaan yang membuat
gundah, apakah angin tetap bertiup bersama jatuhnya daun ?. Apakah burung akan
tetap terbang dilangit yang terbuka ?. Apakah tiada satupun manusia yang
mengerti ini ?. Mengerti bilamana saat itu angin dan burung, senantiasa
bertasbih dalam geraknya itu. Bersyukur, bersuka cita, saat mana ada kekuatan
yang menahannya melayang diudara. Benarkah tiada satupun manusia yang
peduli tasbih ini ?. Atau memang diri ini yang tidak mengerti, seperti katak
dalam tempurng saja. Mungkin saja ribuan manusia telah mampu bertasbih bersama
mereka. Sayangnya, tidak dengan diri ini, bahkan mungkin saja kita, dia dan
mereka, banyak yang belum mengerti bagaimana keadaan suasana tasbih dalam
kebersamaan dengan mereka semua itu.
Sayang keinginan itu lama terkunci. Diri terkukung
dibelantara kota, diantara gedung-gedung pencakar langit. Hingga kenangan serta
sensasi itu terbenam, terpendam jauh sekali dibawah kesadaran. Kadang malah
dinafikan saja. Terlupa atau bahkan mungkin sengaja dilupakan saja.
Menganggap bahwa kenangan itu tak pernah ada. menutup diri dengan cara
bertasbih di pojok masjid dibawah tempat parkir yang kadang lebih banyak baunya
dari pada nyamannya. Semakin sumpek saja, penat sudah jiwa ini.
Namun diri tak putus asa, terus didawamkan dzikir menyentuh
hitungan ribuan. Hingga suatu saat, ada sesuatu yang dirasa hilang. Semakin
kuat dzikri dan tasbih didawamkan, jiwa serasa malahan seperti terbelenggu.
Jiwa tak mampu meluas, tak mampu merasakan sensasi apa-apa. Jiwa sepertinya
ingin cepat-cepat menyelesaikan hitungan dzikir, mengejar target setoran. Ya,
dzikir dan tasbih kita sepertinya memang hanya untuk mengejar setoran, dengan
jumlah bilangan tertentu. Sebab kita tidak memiliki referensi apa-apa atas
tasbih ini. Sensasi apakah yang kita punya sebagai acuan, yaitu keadaan hal
suasana tasbih itu sendiri,. Tak ada !, yang penting hitungannya cukup, ya
sudahlah. Jiwa mengalami kemandegan, sebagaimana kemacetan di jalan-jalan di
ibukota. Terjebak disitu.
Dimanakah burung, dimanakah angin, dimanakah sensasi pegunungan
dengan air yang mengalir, dan hawa semilir sejuk dengan wangi pepohonan, aroma
hutan cemara. Sensasi yang manakah yang membekasi dijiwa, yang
biasanya muncul seiring dzikir dan tasbih. Mengapakah jiwa tidak mampu
merasakan apa-apa. Jiwa tak mampu merahsakan dan berada dalam suasana
pegunungan, dimana sungai mengalir, sementara bunga bermekaran, diantara angin
meniup dedaunan, ya..suasana yang tergambarkan sebagai surga.
Kepada angin dan burung-burung
Kunyanyikan lagu ini
Tentang asmara yang biru
Yang mewarnai lukisan di dinding
Sebuah hati tanpa pigura
Tergantung sendiri dan berdebu
Koordinat sebuah rahsa (dzauk)
Saya sandingkan narasi ini kepada sidang
pembaca, kisah-kisah yang lekat dengan kesadaran kita. Sebut saja kisah
romantik, sentimentil, kisah yang menggugah perasaan kita, dengan maksud agar
kita terbawa menuju suasana keadaan, yaitu suasana yang ada dalam referensi kita , untuk mendekati koordinat titik sensasi sebuah keadaan suasana rahsa. Dimana
ketika disana didalam titik koordinat tersebut, kesadaran kita akan
mampu mengenalinya adalah suatu makom keadaan hal yang
mendekati hikmah yang dimaksudkan oleh suatu ayat. Tanpa mengunakan
perumpamaan dan mencari pendekatan seperti ini, menurut pemahaman penulis jiwa kita akan berputar-putar saja. Dzikir kita akan
keluar seperti anak panah yang membabi buta. Tidak menemukan sasaran yang
dituju.
Maka mencari titik koordinat rahsa, itulah gagasan yang saya
usung, dalam rangka upaya mendekati pemahaman atas suatau keadaan hal (suasana)
yang ingin disampaikan atas hikmah suatu ayat. Ibarat ruang dimensi rahsa yang
memiliki sumbu (X,Y,Z) maka titik persinggungan yang dimaksudkan tentunya akan
kita dapatkan dengan menarik garis dari setiap sumbu (X,Y,Z) tersebut sehingga
akan bertemu di sebuah titik.
Setelah kita mampu menarik garis perumpamaan, selanjutnya kita akan mampu menemukan titik persinggungan dari garis-garis tersebut dan titik inilah yang saya maksudkan sebagai keadaan suasana hal. Maka semestinya jiwa (bashiroh) akan akan bertindak sebagai GPS untuk memandu kesadaran kita dalam menemukan area tersebut. Yaitu area dimensi bagaimana keadaan suasana hal saat kita bertasbih bersama angin dan burung. Tidak terlalu sulit bukan ?. Marilah kita masuki pemahamannya dahulu.
Nabi Daud as, sering berdoa agar dirinya tetap diberikan nikmatnya air dingin. Tidakkah muncul pertanyaan kita, ada apa dengan air dingin ?. Pernahkah kita merasakan nikmatnya air dingin ?. Kapan dan dimana ?. Apakah orang yang sedang kedinginan, orang yang sedang kebanjiran, kehujanan, peduli dengan nikmatnya air dingin ?. Dan mampu merahsakan nikmatnya air dingin tersebut ?. Bagaimana menurut anda ?. Hikmah inilah yang akan saya dekatkan.
Sayangnya nikmat tersebut hanya akan terjadi
kepada orang yang sadar. Orang yang sadar jika dirinya sedang minum air dingin.
Lho..!. Apa susahnya ?. Jangan heranlah. Coba eksplorasi berapa kali kita
merasakan nikmatnya air dingin?. Padahal sudah ribuan kali kita meminumnya.
Sudah pernah, belum pernah, atau malahan tidak perduli sama sekali dengan air
dingin ?. Kok bisa ya ?. Ya bisa lah. Kalau kita punya uang pasti kita akan
memilih minuman lainnya yang lebih kuat sensasinya. Lantas dimana hikmah doa
Nabi Daud as ini ?. Ya didalam kenikmatan itu sendiri, (dzauk) bukan pada makna
airnya.
Lihatlah, orang yang mampu merasakan dan menikmati bagaimana air dingin tersebut perlahan, pasti akan memohon agar kenikmatan tersebut berulang kembali. Tetes demi tetes air menjadi kenikmatan tersendiri. Namun sekali lagi sayangnya hanya kepada orang yang sadar saja ini bisa terjadi. Yaitu bagi jiwa yang sedang berada dalam suasana menikmati air tersebut. Bagi jiwa yang mengelana kemana-mana, jiwa yang tidak berada disitu, air dingin hanyalah air biasa tak memberikan sensasi apa-apa. Ya, hanya sebuah makan minum biasa saja, kejadian yang biasa-biasa saja. Tak berasa.
Kunyanyikan lagu ini
Tentang asmara yang biru
Yang mewarnai lukisan di dinding
Sebuah hati tanpa pigura
Tergantung sendiri dan berdebu
Koordinat sebuah rahsa (dzauk)
Inilah kesulitan kita, ketika kita tidak
memiliki refernsi apa-apa, maka kita sulit untuk memasuki keadaan
hal. Ibarat GPS tanpa adanya
titik koordinat yang diketahui sebelumnya akan sulit bagi kita untuk mengetahui
dimanakah letak area tersebut. Disinilah wilayah kajian kita kajian dzauk dan al hal.
Setelah kita mampu menarik garis perumpamaan, selanjutnya kita akan mampu menemukan titik persinggungan dari garis-garis tersebut dan titik inilah yang saya maksudkan sebagai keadaan suasana hal. Maka semestinya jiwa (bashiroh) akan akan bertindak sebagai GPS untuk memandu kesadaran kita dalam menemukan area tersebut. Yaitu area dimensi bagaimana keadaan suasana hal saat kita bertasbih bersama angin dan burung. Tidak terlalu sulit bukan ?. Marilah kita masuki pemahamannya dahulu.
Nabi Daud as, sering berdoa agar dirinya tetap diberikan nikmatnya air dingin. Tidakkah muncul pertanyaan kita, ada apa dengan air dingin ?. Pernahkah kita merasakan nikmatnya air dingin ?. Kapan dan dimana ?. Apakah orang yang sedang kedinginan, orang yang sedang kebanjiran, kehujanan, peduli dengan nikmatnya air dingin ?. Dan mampu merahsakan nikmatnya air dingin tersebut ?. Bagaimana menurut anda ?. Hikmah inilah yang akan saya dekatkan.
Air dingin akan terasa nikmatnya saat kita
tengah berada di panas terik matahari, kehausan. Saat kita berpanas-panas
sehabis mengejar bus kota. Atau saat sehabis kita berjalan kesana kemari
mencari kerja. Atau sehabis kita berpuasa dalam suasana yang panas sekali. Dan
lain sebagainya. Perhatikanlah saat suasana air tersebut membasahi kerongkongan
kita. Sensasi apakah yang timbul, keadaan apakah yang terlintas dalam jiwa
kita. Ya, nikmat dan syukur. Kata-kata tak mampu menguaraikan keadaannya.
Setiap orang pasti dengan ceritanya masing-masing. namun kesemuanya itu akan merujuk
kepada satu kata, “betapa nikmatnya air dingin.” Namun apakah kata ini berhenti disini. Tidak. Nyatanya
jiwa mampu meluas bersama kenikmatan yang dibawa air dingin tersebut. Inilah
kekuatan hikmah.
Lihatlah, orang yang mampu merasakan dan menikmati bagaimana air dingin tersebut perlahan, pasti akan memohon agar kenikmatan tersebut berulang kembali. Tetes demi tetes air menjadi kenikmatan tersendiri. Namun sekali lagi sayangnya hanya kepada orang yang sadar saja ini bisa terjadi. Yaitu bagi jiwa yang sedang berada dalam suasana menikmati air tersebut. Bagi jiwa yang mengelana kemana-mana, jiwa yang tidak berada disitu, air dingin hanyalah air biasa tak memberikan sensasi apa-apa. Ya, hanya sebuah makan minum biasa saja, kejadian yang biasa-biasa saja. Tak berasa.
Maka disinilah pentingnya
posisi jiwa.
Jiwa harus dalam keadaan saat sekarang (now), kalau tidak jiwa juga tidak akan
mampu merasakan air tersebut, meski kita lelah memohon dan berdoa agar
diberikan kenikmatan air dingin. Hasilnya sia-sia. Jiwa harus dalam posisinya, inilah
usaha kita, mengarahkan
jiwa kedalam posisinya; yaitu keadaan siap untuk merasakan dan menikmati
dinginnya air yang membasahi kerongkongannya. Keadaan siap dan waspada ini sering dimaknai sebagai
niat kita. Yaitu keadaan ketika kita
menyengaja (berniat) untuk merahsakan nikmatnya air dingin. Namun
sayangnya, ini tidaklah mudah, banyak sekali hijab diri.
Disinilah nanti akan saya sandingkan dnegan
pemahaman hijrah. Jiwa harus hijrah kepada posisi yang pas, ada niat yang
kuat untuk hijrah. Namun Ingat !. Keadaan jiwa juga akan mengalami kesulitan untuk menemukan
posisi ini, jika diri tidak memiliki referensi apapun atas kenikmatan air
dingin. Bagi orang-orang yang di pegunungan. Air dingin tidak akan memberikan
sensasi sebagaimana orang yang di padang pasir. Oleh karenanya jika kita berdoa
dengan pemahaman literal saja air dimaknai air, bukan pada dimensi rahsa
(dzauk) nya, maka doa nabi Daud as ini, menjadi sering tidak berefek dibadan.
Jiwa harus mampu mengkonversi pemahaman terlebih dahulu. Jiwa harus mampu
memahami hikmahnya terlebih dahulu. Baru kemudian kita tempatkan posisi jiwa
disana (visi dan misi). Inilah yang ingin saya sampaikan.
Oleh karena itu untuk mendapatkan sensasi yang
sama, kita yang hidup di daerah dingin (pegunungan) harus mendekati dengan
perumpamaan lainnya untuk keperluan melacak koordinata rahsa (nikmat) yang
dimaksudkannya.Bisa dengan mengambil perumpamaan yang sepadan, misalnya
mengeksplorasi bagaimana rahsanya jika segelas teh panas memasuki
kerongongan kita. Wah, badan jadi terasa hangat, dingin yang menyelimuti tubuh
kita perlahan pudar. Dan lain sebagainya. Bisa juga hal ini kita lakukan
dengan cara berpuasa, sehingga keadaan kita sama halnya dengan keadaan dimana
kita sangat membutuhkan air dingin. Ketika kita berbuka, kita menyiapkan diri
kita (niat) agar posisi jiwa kita berada disini.
Pendek kata, kita bisa mencari titik koordinat
tersebut, dan juga koordinat-koordinat rahsa lainnya, dengan laku syariat dan tharekat yang bisa kita jalani.
Tinggal kita meletakan posisi jiwa saja, agar kita mampu mendapatkan makna dan
hikmahnya. Maka syariat sebagaimana yang dicontohkan Rosululloh sangat
berguna sekali dalam hal ini. Sholat, puasa, zakat, kurban, dan lain-lainnya
akan mampu menghantarkan kita untuk menemukan tiitik kooordinat ini.
Disinilah entry pointnya, ketika kita sudah
mendapatkan sensasi, atau titik koordinat yang sama atas rahsa nikmat yang
dimaksud, maka kita akan mampu mengarahkan doa sebagaimana doa nabi Daud
as, ini dengan sama khusuknya sebagaimana orang-orang yang hidup di padang
pasir. Ingatlah bahwa Al qur an diturunkan di daerah yang kering, sehingga banyak
bahasa isyarat (perumpamaan) yang mungkin tidak didapati di wilayah belahan
dunia yang lainnya.
Ilustrasi inilah yang saya hantarkan untuk
memberikan pemikiran lain. Menepis anggapan sebagian orang yang berfikiran bahwa makom bertasbihbersama angin, burung dan gunung-gunung tidak mungkin dicapai oleh kaum urban kota.
Janganlah meragukan kemampuan diri kita.
Hilangkanlah apriori dan keraguan. Mari kita langsung rasakan saja. Diantara
kesibukan kita, diantara kemacetan ibukota, perlahan kita eksplorasi diri,
mencari sensasi kenikmatan apa saja yang sudah Tuhan berikan kepada kita
sebagai referensi kita untuk memasuki hikmah setiap ayat dalam doa dan sholat
kita.Tuhan sudah menciptakan dan mempergulirkan dengan seadil-adilnya. Semua
manusia diberikan kesempatan yang sama. Entah dia berada di gunung, di padang
pasir, di desa, di perkotaan, di gedung pencakar langit atau di gubuk derita.
sama saja bagi Tuhan. Tinggal manusianya maukah dirinya (jiwanya) ber-hijrah.
Sungguh kita tidak akan mampu mengatakan satu
kata saja semisal, “Alhamdullilah,” jika
kita tidak mampu menemukan referensi keadaan suasana hal yang menyebabkan diri kita mampu mengucapkan kata
tersebut. Kita tidak akan mampu memberikan pujian apapun atas Allah apalagi
dengan kalimat. “Segala puji bagi Allah”, tanpa kita mampu mendapatkan referensinya. Sanggupkah kita mengatakan cinta, padahal kita tidak
mencintai ?. Apakah kita akan
menjadi ‘pendusta’ ?. Apakah kita hendak menipu-NYA ?.
Kita juga tidak akan mampu mengatakan satu kata
saja semisal, “ar rohman nir rohiem,” tanpa kita mampu
mendapatkan suasananya yaitu keadaan hal yang menjadi
sebab kita mampu mengucapkan kata tersebut. Bagaimana kita mampu memuji
bagaimana kita mampu mengatakan Allah Maha Pengasih dan penyayang, sementara
kita senantiasa menghujat takdir dan kita selalu berkeluh kesah atas kehidupan
kita ini. Atas pekerjaan, atas istri , atas anak, atas beban hidup dan
lain sebagainya. Tidakkah kita
mampu menemukan setitik saja kasih sayang-Nya, yang mampu kita jadikan
referensi agar kita mampu mengatakan, “Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang.” Marilah kita temukan bentuk-bentuk kasih sayang-Nya
kepada diri kita agar kita tidak menyimpan keraguan atas Diri-Nya yang Maha
Pengasih dan Penyayang. Agar kita mampu membangkitkan ucapan syukur atas
semua ini. Agar kita puas agar jiwa kita kemudian tenang menjalani takdir
dibelantara kota ini. Meskipun kita berangkat pagi dan pulang malam hari.
Inilah pemahamn yang saya usung.
Insyaallah jika kita mampu, hasil laku
kita ini tidak akan kalah dengan umat terdahulu. Asalkan kita lakukan dengan
sungguh-sungguh (istikomah). Sebab Islam itu mudah. Allah yang akan mengajarkan
kita, menuju jalan-jalan-NYA. Dia yang memiliki kuasa untuk memberikan hidayah
kepada siapa saja. marilah kita buka hati kita.
Kalau sudah begitu, siapakah yang
bilang jika manusia urban tidak bisa ber spiritual ?. Bersabar dan
istikomahlah. Tidakkah kita tertarik jika diseiringnya waktu, kemudian
tanpa disadari kita akan mampu bertasbih bersama angin, burung dan gunung-gunung
?. Nah, kita tunggu saja, siapakah nanti yang akan komprol sambil bilang, “
Wow..!.”
Marilah kita coba lakukan saja dengan laku,
kita langsung makan jeruknya saja, maka dengan begitu kita akan langsung
dipahamkan bagaimana hakekat rahsa jeruk itu sendiri
Bersiaplah dengan kewaspadaan (niat), saat dan
dalam keadaan untuk mendapatkan kenikmatan, yang perlahan
akan ditunjukkan Allah kepada diri kita. Niat yang tulus dan istikomah hanya
karena Allah. Mulailah latih dengan kesadaran dan kewaspadaan (niat) tadi.
Seperti misal saat kita makan minum, saat kita mendapatkan khabar gembira, saat
ketemu kekasih, anak, istri, saat pulang kerja, saat berangkat kerja, dan lain
sebagainya. Saat presentasi, saat dimarahi bos, saat berhadapan dengan
customer, dan lain-lainnya. Lakukan
semua dengan kesadaraan, kewaspadaan sedang diberikan dan diajari bagaimana mengerti
nikmat. Seperti doa kita, ”..Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri
nikmat..” Adalah nikmat yang senantiasa meliputi jalannya orang-orang ini.
Yakinlah kita sedang pada posisi doa kita ini. Kita ingin sebagaimana mereka
(orang-orang) tersebut. Eksplorasi bagaimana sensasinya atas semua kejadian
tersebut. nanti kita akan menmukan kenikmatan-kenikmatan disitu.
Sementara itu, sambil kita eksplorasi
kenikmatan-kenikmatan yang pernah kita dapatkan tersebut. (Kita bangkitakan
dilain waktu saat kita sholat). Gali terus kedalamannya dan jadikan
referensi. Siapakah yang merasakan kenikmatan itu dan bagaimanakah
sensasinya. Kenikmatan apa saja. Sehingga dengan itu, kita memiliki alas
an cukup untuk bersyukur atas kenikmatan tersebut. Kenali dan jadikan acuan
kita. Perlahan saja satu persatu jadikan referensi yang kita miliki untuk
memahami hikmah dari setiap kalimah, mulai dari Bismillah hirohman
nirohiem, Subhanalloh, Alhamdullilah, Allahu Akbar, Lauhala wala kuwata illa
billah, Ina lilahi wa inailaihi rojiun. Ingat kita sedang belajar mengucapkan
kalimah itu dengan hikmah. Bolak balik dan kunyah saja. Bisa juga hal ini, di lakukan dalam perjalanan dan
pulang kantor. Atau pada setiap keadaan. Jadikan pekerjaan (aktivitas) kita
adalah sarana kita dalam ber spiritual. Maka spiritual jadi mudah. Jangan
terstigma berspiritrual harus di tempat-tempat sepi. Keadaan kita saat sekarang
ini adalah pekerja, maka itulah sarana kita. (Dalam tulisan selanjutnya akan
dijabarkan tekniknya). Semoga saja, kita salah satu diantara saksi-saksi
kebesaran-NYA.
Bukalah hati dan rasakan
Kepada angin dan burung-burung
Matahari bernyanyi
Tentang daun dan embun jatuh
Sebelum langit terbuka
Bagaimanakah burung bertasbih, dan tentang daun dan embun jatuh, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka?. Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. “ (QS. 67:19).
Matahari bernyanyi
Tentang daun dan embun jatuh
Sebelum langit terbuka
Bagaimanakah burung bertasbih, dan tentang daun dan embun jatuh, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka?. Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. “ (QS. 67:19).
Dimanakah posisi jiwa ?. Keadaan suasana apakah
yang mampu kita dapatkan dari membaca surah ini ?. Mengerti. Memahami. Mampu
memaknai ?. Bukankah ada gaya yang bekerja sehingga burung tetap dapat melayang
diudara ?. Sudahkah mampu kita rasakan ?. Ilmu pengetahuan sudah mampu
mengungkapkan gaya-gaya yang bekerja kepada burung ini. Maka siapakah yang
memiliki daya ini ?. Mampukah kita mendapatkan suasana bersama gaya
tersebut ?. Kalau sudah. Maka arahkanlah kesadaran kita kepada pemilik
daya ini.
Abdullah
bin Masoud RA meriwayatkan bahwa, “Kami
biasa makan bersama Nabi Muhammad SAW, dan kami biasa mendengar dengan telinga
kami puji-pujian kepada Allah SWT dari makanan yang dihidangkan itu.” (HR.
Bukhari).
Jabar
bin Samra RA meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Aku bisa mengenal batu-batu yang biasa mengucapkan
salam kepadaku, bahkan ketika aku belum menjadi Rasul. Bahkan sekarangpun aku
bisa mengenalinya.” (HR. Muslim).
Mari kita coba lagi, rahsakanlah bagaimana akal
dan jiwa kita saat menerima berita (hadist) ini ?. Keraguan ?. Keyakinan ?.
Cobalah eksplorasi. Bagaimanakahakal mampu berada dalam keadaan suasana saat kita
mendengar tasbih dari makanan tersebut ?. Dan bagaimanakah batu mampu
memberikan salam ?.
Kepada angin dan burung-burung
Mengerti irama ini
Seorang lelaki yang merindukan
Matahari terus bernyanyi
salam
Mengerti irama ini
Seorang lelaki yang merindukan
Matahari terus bernyanyi
Kita yang merindukan matahari terus bernyanyi.
Sudahkah kita dapatkan sensasinya ..?. Sensasi bertasbih bersama
angin dan burung-burung diantara lalu lintas bus kota yang semakin menggila. Di tengah kemacetan yang menampar raga. Dalam tekanan
dan kepenatan ibukota. Mampukah sang jiwa tetap dalam keadaan, jiwa
tenang melakoni itu
semua, dalam suasana bertasbih bersama angin, burung dan gunung-gunung. Menikmati
kemacetan sebagaimana menikmati kebesaran alam semesta yang luar biasa. Hiks !.
Dan untuk itulah kita ber spiritual,
menghantarkan kajian, dan nampaknya ini masih belum cukup, mari kita
lanjutkan, bersambung…
salam
Komentar
Posting Komentar