Kajian Mahabbah, Bahayanya CINTA Tersembunyi
Ketika manusia mencintai kepada selain Allah,
hekaketnya dia sedang memintal bara dendam rindu, yang semakin lama
menekan jiwa dan raganya. Dia tak sadar jika dirinya sedang memintal
kegelisahannya menjadi semakin lebar dan melebar lagi, sebagaimana
perumpamaan laba-laba yang sedang memintal rumahnya. Begitu rapuhnya
kontruksi rumah laba-laba, jika kita mengetahuinya.
Rahsa
tak berkesudahan
Bukankah begitu pelik kisah cinta,
semisal kerinduannya Zulaikha kepada nabi Yusuf as, semisal kerinduan Majenun
kepada Laela, serupa pula kisah Romeo dan Juliet, begitu pula sepilu kisah
cintanya Raden Panji Inu Kertapati dengan Dewi Sekar Taji (Dewi Candra Kirana). Masih ada lagi kisahnya
Cleopatra, siapakah yang terlintas dalam pikirannya jika seorang
ratu rela bunuh diri bersama kekasihnya, karena sang ratu akan di pinang oleh
raja Romawi. Sungguh kisah yang sulit dipahami. Masih ada lagi kisahnya Rojali
dan Juleha, dan masih banyak kisah lainnya yang tersebar, terserak di
tempat tempat asalnya, di seluruh permukaan bumi, terpisah jarak, daratan
dan lautan, terpisah peradabannya, bagaimana kita memaknai semua itu.
Sungguh banyak lagi
kisah-kisah lainnya, yang serupa dengan itu, dari yang hanya sekedar cinta
monyet hingga sampai kepada kisah cinta yang meluluh lantakkan sendi-sendi
kesadaran manusia, sebagaimana kisah cintanya Rama dan Sinta. Dimana
sang Rama menuntut kesucian kekasihnya, meminta kekasihnya untuk membakar
dirinya . Bukti apakah yang diminta Rama kepada Sinta ?. Ya, bukti kesucian
cinta Sinta kepada Rama. Sinta tanpa daya akhirnya menuruti kemaun Rama. Sinta
kemudian membakar dirinya dalam kobaran api yang besarnya membukit. Sebuah
kisah cinta sucikah ataukah sebuah kisah cinta arogansi nafsu manusia atas
manusia lainnya. Sungguh sulit memaknai semua kisah cinta tersebut. Inilah
kesadaran yang diturunkan kepada anak manusia, maka jika kita bandingkan kisah
kisah dalam peradaban manusia, tentang itu semua , kita sandingkan dengan kisah
cinta nya Zulaikha dan nabi Yusuf as, kita dapat melihat ‘kearifan’
dan perbedaannya.
Kisah cinta anak
manusia, di setiap jaman, menyebar pada raga manusia, mengharu birukan siapa
saja yang terpapar, setiap bangsa, setiap kaum, setiap suku, siapa saja, dan
dimana saja terdapat kisah-kisah seperti ini. Kisah kerinduan yang
sulit dimengerti, namun ada dalam kesadaran kita manusia. Begitulah
pembelajaran Allah atas manusia, agar dari kisah-kisah tersebut manusia mampu
mengenali sebuah rahsa, sebuah sensasi di jiwa dan raga yang tak ada dua nya
yaitu C-I-N-T-A.
Dimana ketika manusia
mampu mengenali rahsa ini, dengan ini, manusia akan mampu mengerti
dan menetapi, bagaimana sejatinya rahsa, rahsa dari
hakekat rahsa, rahsa yang sesungguhnya rahsa . Dan kemudian manusia
selanjutnya, mampu membedakan bagaimana kesudahannya, jika cinta
ditunjukan hanya kepada Allah , Tuhan Semesta Alam yang mencipatkan manusia dan
bagaimana kesudahannya jika cinta ditujukan kepada selain Allah. Dimanakah perbedaan semua itu. Dimana letak perbedaan
rahsa diantara semua itu. Manusia nantinya akan mengenali, itulah hikmahnya.
Rahsa cinta akan selalu
sama pada setiap manusia. Kerinduan akan menyebabkan efek yang serupa di badan.
Pada kajian di muka telah di beberkan bagaimana rahsanya, ketika cinta telah
meraga sukma, jika cinta menerpa kepada raga manusia. (Baca Kajian Mahabbah lainnya). Begitulah rahsa cinta lelaki kepada wanita, begitu pula sama
dahsyatnya cinta wanita kepada lelaki. Jarang sekali manusia mampu menahannya.
Begitulah cinta, begitulah rahsa. Menjadi pertanyaan kita semua, apakah sama,
apakah serupa, ataukah ada perbedaannya, bagaimanakah pergumulan rahsa di jiwa
di antara keduanya, jika kita mencinta Allah, dibandingkan dengan jika kita
mencintai tandingan Allah (misal wanita). Karena semua tentang rahsa
di jiwa. Maka karenanya pertanyaan ini akan kembali di ulang, diulang lagi,
agar di mengerti.
“Diantara manusia ada orang yang menyembah Tuhan selain Allah sebagai
tandingan yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun
orang-orang beriman sangat besar (sungguh-sungguh) cintanya kepada Allah. Sekiranya
orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka menyaksikan azab,
bahwa kekuatan itu semua milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (pasti mereka
menyesal) “ (QS. Al baqoroh ; 165)
Bagaimanakah rahsa
diantara keduanya ?. Rahsa mencintai Allah dan rahsa mencintai selain Allah ?.
Rahsa cinta akan memberikan efek yang sama di badan, bergetar tubuh, dan
lainnya, begitu juga terpaan segala sensasi lainnya yang sulit sekali di
gambarkan. Teramu di jiwa, gelora kerinduan dan wahana penantian. Sulit
sekali dimengerti, sepertinya sama efek yang ditimbulkannya. Bilakah itu ?. Ya, itulah
sesungguhnya rahsa cinta. Rahsa cinta yang akan terasa sama. Jika manusia mau
mengenali rahsa cinta itu.
Namun setelahnya, sangat
jelas sekali perbedaannya. Bagaimana kesudahan efek nya ketika kita
mencintai Allah, dengan ketika kita mencintai selain Allah (misal wanita). Hati yang di sucikan akan mampu
melihat perbedaanya, jauh setelah getaran tersebut
menghilang. Dan setelah kesudahannya. Sangat jelas sekali perbedaannya. Hal
tersebut sudah dialami Zulaikha. Hati yang di sucikan akan mampu mengenali
perbedaan tersebut. Namun kembali, kata-kata ini tak akan mampu
mengungkapkannya. Tidak sekarang, bahkan juga nanti. Maka biarpun ribuan lembar
kertas di tulis, biarpun seluruh anak sungai di jadikan tintanya, tetap rahasia
rahsa ini tak akan mampu di ungkap. Begitu mistery. Mistery sebuah rahsa di
jiwa.
Kesulitan tersendiri
Menyembah Tuhan selain
Allah. Mereka mencintai sesuatu yang mereka sembah itu, sebagaimana mereka
(seakan-akan) mencintai Allah. Bagaimana keadaan itu, bagaimana
rahsanya, mengapa bisa manusia dalam keadaan begitu ?. Apakah manusia begitu
sulit membedakan rahsa diantara keduanya. Kalau sulit ,
dimanakah kesulitannya ?.
Bagaimanakah rahsa
mencintai Allah dan bagaimanakah rahsa mencintai Tuhan selain Allah ?. Menjadi
pertanyaan tersendiri. Menjadi pergulatan batin sepanjang waktu dan
peradabannya. Masih ada pertanyaan lainnya , apakah manusia tahu dan mengenal
rahsa cinta itu sendiri ?. Jikalau tidak mengenal rahsa cinta bagaimana kita
mampu membedakan kedua rahsa cinta , apakah cinta kita benar kepada Allah
atau malahan kita terjebak cinta kepada selain Allah.
Layaknya kita harus menguji kemana kecenderungan jiwa kita. Sehingga kemudian
kita mampu berhati-hati dan waspada terhadapnya.
Ketika kita sudah mampu
membedakan kedua rahsa tersebut maka kemudian kita akan mampu menjaga hati
kita, agar senantiasa berada dalam keadaan cinta kepada Allah.
Sungguh-sungguh kepada Allah, Tuhan semesta alam. Bukan kepada lainnya. Inilah
perjuangan yang sangat berat, mengenali cinta ini, kemudian menetapi dan
selanjutnya menjaga agar cinta tersebut tetap dalam keadaannya hingga akhir
hayat.
Tidak ada satupun
manusia mau didakwa, bahwa mereka telah melakukan
penyembahan kepada selain Allah. Bahwa mereka mencintai kepada
selain Allah. Mereka benar-benar, dan seakan-akan sedang melakukan penyembahan
kepada Allah. Mereka dalam keadaan seolah-olah sedang menyembah Allah. Sungguh
ayat Al baqoroh ; 165 ini memperingatkan kepada diri kita. Menyadarkan kepada
diri kita akan adanya, kemungkinan-kemungkinan tersebut. Aku, kami, kita,
mereka, dan juga lainnya senantiasa dalam penyangkaannya
masing-masing. Dalam persepsinya masing-masing. (Maka masing-masing
diri harus berani menguji diri mereka sendiri atas hal ini).
Sungguh keadaannya, ketika
ada orang yang mencoba memperingatkan kepada Aku, kami, kita dan mereka, atas
kemungkinan-kemungkinan itu, diri pasti akan marah
dan tersinggung. Kita tidak pernah mau terima jika di sangka melakukan
penyembahan kepada selain Allah. Kita akan marah besar bila kepadanya di
sangkakan mencintai kepada selain Allah. Mengapa demikian..?. Karena sejatinya
manusia sulit sekali jujur terhadap dirinya sendiri. Manusia selalu ingin
dianggap baik, (karena kodrat jiwa yang ingin suci), manusia sulit
sekali mengakui kelemahan dirinya. Inilah keadaanya yang terjadi sejak dari
jaman para nabi hingga sampai sekarang ini. Menjadi penyebab kenapa manusia
akhirnya bergolong-golongan dalam penyembahan kepada Tuhan Yang Satu (Allah).
Sangkaan manusia
Sangkaan-sangkaan
manusia, yang telah menganggap diri mereka sudah melakukan penyembahan dengan
benar kepada Tuhan inilah, yang mengakibatkan terjadinya perbedaan-perbedaan,
yang kemudian memecah menjadi agama-agama di muka bumi ini. Sumber mata air
yang satu, akhirnya bercabang menjadi beberapa anak sungai. Anak sungai ini
bercabang lagi menjadi ratusan kali yang kecil. Berpecah lagi menjadi
selokan-selokan. Maka kita dapati, ada anak sungai yang kemudian mengangkut
banyak sampah, airnya keruh karena bercampur lumpur hitam dan oli, sehingga
ketika bercabang juga sudah tidak bisa disebut air lagi. Ada yang air hanya
kecoklatan saja, dan ada pula campuran diantara itu, betul-betul
berwarna-warni. Bermacam-macam warna, rupa, bentuk dan bau airnya.
Maka keadaan sekarang
ini, menjadi kesulitan tersendiri bagi kita untuk mencari anak sungai yang
masih jernih, yang masih sama dengan asalnya. Bahkan ironisnya lagi
, seperti apa air yang jernihpun, kita juga sudah hampir tidak
mengetahui bentuk dan baunya, seperti tahu nama namun tak kenal rupa, karena
realitasnya yang kita dapati hampir semua air telah berubah, baik rupa,
warna, maupun baunya. Akhirnya sangkaan kita itulah air yang
dimaksudkan. Sungguh kenyataannya air permukaan yang mengalir di
sungai-sungai, telah banyak berubah, jauh dari rupa air yang
sebenarnya. Hanya sedikit dan mungkin langka sekali, air yang tetap
jernih, sebagaimana aslinya. Hanya ada satu yang benar, diantara ratusan anak
sungai, diantara semua air permukaan, hanya ada satu jenis air yang dapat
dikatakan benar-benar air, begitu keadaan sekarang ini. Seperti apakah
itu, yang manakah itu, menjadi pertanyaan tak berkesudahan pula. Menjadi
keributan tersendiri.
Manusialah sendiri yang
telah mengotori sungai itu sehingga airnya menjadi kotor. Sungai yang mengalir
dalam setiap peradaban telah memikul beban . Setiap jamannya sungai tersebut
membawa sampah-sampah. Maka sudah dapat kita bayangkan bagaimana kotornya,
ketika aliran tersebut sampai ke jaman kita ini. Namun sekali lagi, anehnya semua
manusia dalam sangkaan mereka masing-masing. Sangkaan bahwa sungai
merekalah yang memiliki air yang benar, yang paling jernih, disebabkan
karena sangkaan mereka berasal dari sumber mata air yang paling benar. Kemudian
ironinya, mereka masing-masing menolak keras jika dikatakan bahwa sumber air
mereka , sesungguhnya adalah berasal dari sumber mata air yang sama.
Air tetap adalah air. Maka dalam terminologinya hanya akan ada dua macam
saja yaitu Air dan bukan Air. Beriman kepada Allah atau beriman
kepada selain Allah (kafir). Inilah perumpamaan dalam kesadaran tauhid. Semestinya pemahaman
agama demikian juga.
Manusia bersikeras dalam
sangkaan-sangkaan mereka, mereka mengambil sebagian dari Islam (ajaran dari
para nabi) dan membuang sebagiannya lagi, membuang sebagian dan
mengambil lainnya lagi, berdasarkan sangkaan-sangkaan mereka sendiri, berikut
membuat-buat sendiri sembahan dan penyembahannya, menjadikannya sebuah agama,
maka munculah agama-agama selain Islam dalam kesadaran manusia. Begitu juga
dalam Islam itu sendiri, meski mereka mengaku dirinya Islam, namun kejadiannya
akan sama seperti itu. Akhirnya, kemudian manusia yang merasa pintar mengusung
gagasan pluralisme.
Namun sekali lagi,
sungguh mereka (setiap agama) tetap dalam sangkaan mereka sendiri bahwa mereka
merasa telah melakukan penyembahan dengan benar. Menyembah Tuhan yang benar.
Inilah problematikanya. Namun Allah ber firman,“Sungguh, Allah mengetahui
apa saja yang mereka sembah selain Dia. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana”
(Al-Ankabut ; 42). Allah mengetahui apa-apa yang mereka sangka kan
kepada Allah. Sayang, tidak dengan manusia. Manusia tidak sadar, dan
tidak tahu keadaan dirinya sendiri. Manusia merasa dalam kebenarannya sendiri,
meskipun sudah datang kepada mereka ayat-ayat yang nyata. Keadaan seperti ini
selalu up to date, berlaku sepanjang jaman, melingkupi diri dan jiwa
manusia setiap jaman. Maka ajaran Islam pun tidak terlepas dari hal ini. Kepada
setiap diri yang mengaku beragama Islam pun tidak luput dari keadaan sangkaan
ini. Masing-masing dalam sangkaan (baca; golongan) masing-masing. Maka Islam
terpecah menjadi 73 golongan. Di gabung dengan ajaran nabi-nabi
terdahulu, terserak menjadi ratusan golongan, bahkan mungkin
mencapai ribuan. Mereka dalam sangkaan dan persepsinya masing-masing.
Mempertahankan kesadaran (baca; ajaran/agama)) nenek-moyang dan nenak moyang
mereka masing-masing. Sehingga mau tidak mau kita harus introspeksi, dan
kontemplasi terhadap diri kita sendiri, ketika di hadapkan pada suatu pilihan
atas keadaan dan kondisi itu.
Mencari
sumber air
Semisal, ketika kita
ingin sungguh-sungguh mengenal air. Yaitu Air jernih yang dimaksud seperti apa.
Maka kita harus mencari tahu sendiri air yang jernih yang
dimaksudkan itu sebenarnya seperti apa. Mencari contoh air yang benar, seperti
apa, bentuk, warna dan rupanya. Kita tidak harus percaya begitu saja, atas
informasi yang kita terima. Manusia harus tahu se yakin-yakinnya bagaimana
keadaan air tersebut sesungguhnya. Maka dengan pengetahuan ini, manusia akan
mampu membedakan mana air yang benar sebagaimana yang dimaksudkan dan mana pula
air yang bukan. Maka dengan pengetahuan ini, dan keyakinan ini,
manusia akan mampu membedakan seluruh air yang mengalir diatas permukaan tanah.
Sebab diarenakan mereka sudah pernah mendapatkan sample (contoh) air tersebut.
Mereka semua akan menjadi tahu dan dipahamkan, hakekat apakah air
yang mengalir di sungai memang sungguh benar adalah air atau sesuatu yang
disangkakan sebagai air. Inilah hakekat pencarian dalam penyucian jiwa.
Manusia yang ingin
mencari kebenaran, harus mau bekerja keras mencari sample air yang benar. Salah
satunya adalah menggali sendiri ke dalam tanah. Manusia harus berani menggali
berapapun kedalaman yang diperlukan, hingga muncul air jernih yang di
maksudkan.
Mencari sumber air,
dengan menggali tanah. Inilah perumpamaannya, dalam situasi dan kondisi terkini
di jaman meilenium ini, jaman informasi tak terkendali, manusia harus mau
menggali, dan terus menggali ke kedalaman hatinya, harus sungguh-sungguh
menggali di kedalaman hatinya, agar mendapatkan hakekat kebenaran yang
sebenar-benarnya. Maka dengan hakekat ini manusia akan mampu memilih dan
memilah manakah ajaran yang benar, manakah agama yang benar, diantara ajaran
dan agama-agama yang berada dalam kesadaran kolektif manusia sekarang ini. Sehingga,
jika kita sudah sampai dalam keadaan ini, kesadaran kita akan mampu dengan
total meyakininya.
Setelahnya manusia
mampu memilih dan memilah, mencari manakah jalan yang
lurus dan jalan yang benar, maka dengan itu diri akan mampu mengenali Allah
karena hakekatnya hanya hati yang mampu mengenal
Allah. Karenanya itu, kita menjadi yakin se yakin yakinnya (haqul
yakin) bahwasanya kita sudah menyembah Allah dengan sebenar-benarnya, bukan
menyembah selain Allah. Sebagaimana di isyaratkan surah Al baqoroh ‘ 165
tersebut. Manusia diharapkan selalu dalam upaya kearah ini. Inilah
yang di harapkan dalam Islam. Sehingga setelahnya manusia akan
dengan sadar mengamalkan ajaran (syariat) dalam keadaan sukarela (ikhlas), puas
lagi ridho menetapinya. Meyakini kebenaran Al qur’an dan As sunnah.
Begitu halnya dalam cinta, dalam pengenalan cinta. Manusia harus
menggali dan terus menggali ke dasar hatinya untuk mengenal dan mengerti
bagaimana rahsanya C-I-N-T-A NYA. Bagaimana
cinta dibahasakan. Agar manusia tidak terjebak kepada cinta lainnya. Cinta
selain Allah.
Rumah
laba-laba
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain
Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang
paling lemah ialah rumah laba-laba, sekiranya mereka mengetahui”. (QS. Al
Ankabut ; 41).
Bagaimanakah rahsanya
jika kita ber putar-putar terus dalam suatu tempat, dalam lingkaran yang
semakin lama, semakin mengecil dan kecil, kemudian menjadi semakin sempit.
Kemudian kita di jepit , dihimpit dari segala sudut dengan tekanan yang semakin
lama semakin membesar. Udara semakin lama semakin habis ?. Bagaimanakah pula
rahsanya jika kegelisahan kita meluas, dari lingkaran kecil kemudian semakin
membesar dan terus membesar menuju ke lingkaran yang lebih besar ?. Karena
himpitan itu ?. Itulah perumpamaan rahsa di jiwa jika manusia mengambil
pelindung selain Allah.
Sebagaimana laba-laba
membuat sarangnya, laba-laba akan meletakkan benangnya pada satu ranting,
berpindah kepada ranting satunya lagi, kemudian berpindah lagi ke ranting
lainnya, dari ujung yang satu kepada ujung yang lain. Mempercayakan talinya
melekat kepada ranting, berharap ranting tersebut akan mampu menjadi
penyangga bagi talinya. Diikat kepada ranting yang satu. Masih belum yakin dia
akan meng-ikatkan lagi kepada ranting yang lain dengan suatu pengharapan yang
sama, selalu begitu, dan begitu seterusnya. Setelah merasa kuat.
Kemudian dia mulai
memintal, berputar-putar sendiri, dalam lingkaran kecil, membesar, dan membesar
terus, berputar-putar disitu. Begitulah keadaannya, perumpamaan rahsa di
jiwa, dimana tingkat keresahan jiwa akan semakin membesar dan membesar ,
dan berputar-putar terus dalam lingkaran yang dibuatnya sendiri. Manusia
sejatinya tengah memintal keresahan dan kegelisahannya , berputar-putar dalam
angan yang dibuatnya sendiri. Begitulah perumpamaannya jika manusia mengambil pelindung
selain Allah.
Kontruksi
yang lemah
Manusia dalam ber Tuhan,
seperti yang diperbuat laba-laba, mengikatkan talinya (keyakinannya) kepada
sesuatu yang dianggap sebagai Tuhan. Belum mantap. Masih melum puas diikatkan
lagi, kepada sesuatu yang lain (seperti Tuhan) yang dianggapnya
pula, akan memberikan perlindungan, keamanan, kenyamanan,
rejeki dan juga lainnya. Begitu seterusnya sebagaimana
yang dilakukan laba-laba yang membuat rumah. Meski telah diikatkan ke banyak
tempat (Tuhan-Tuhan mereka), namun sejatinya dia tetap merasa was-was tidak
tenang jiwanya, sebagaimana laba-laba yang telah mengikatkan talinya kepada
banyak ranting, kemudian dia terus berputar putar memintal rumahnya, dari lingkaran
kecil terus membesar. Itulah keadaannya. Kita diharapkan waspada dan mengerti
perumpamaan ini. Berhati-hatilah, jika kondisinya jiwa kita masih terus dalam
keadaan was-was , tidak tenang, tidak ikhlas, tidak ridho, dalam keadaan diri
kita, maka kita harus waspadai perumpamaan ini.
Dalam kehidupan
sehari-hari , sebagai misal, sering kita dapati, perumpamaan ini. Misalnya saja
pekerjaan. Kita ikatkan tali (keyakinan) kita kepada pekerjaan, kita
hadapkan diri kita kepada pekerjaan, menganggap bahwa pekerjaan tersebutlah
yang akan menjamin kehidupan kita. Namun semakin kita kita ikatkan
tali (keyakinan) kepada pekerjaan, justru malahan kegelisahan kita, ketakutan
kita akan kehidupan menjadi semakin hebat pula. Keadaannya begitu. Kita
kemudian berusaha lagi, untuk mencari usaha lain, untuk menambah pendapat,
karena pekerjaan yang pertama dianggap belum mampu membuat kita tenang.
Selanjutnya kita mengikatkan tali (keyakinan) kita kepada pekerjaan lainnya lagi.
Berharap dengan itu kita menjadi tenang, karena ada jaminan pendapatan.
Begitulah seterusnya.
Namun sayangnya, semua itu nyatanya tetap tidak membuat kita puas. Semakian
kita kejar terus, kebutuhan dan tiongkat kepuasan kita pun justru
semakin meningkat pula. Hingga akhirnya kita justru malahan semakin
dikejar rasa was-was, rahsa ketakutan, dan rahsa-rahsa lainnya, lingkaran
kegelisahan malahan menjadi semakin lebar, dan ketakutan kita akan kemiskinan
menjadi semakin tinggi pula. Kita seakan akan dikejar-kejar oleh bayangan kita
sendiri. Semua melebar terus, seperti laba-laba yang membuat
sarangnya.
Rumah laba-laba adalah
kontruksi yang sangat lemah karena tiangnya diikatkan kepada sesuatu, dimana
sesuatu itu sendiri tak memiliki kekuasaan apapun atas dirinya sendiri, ranting
misalnya, tentunya sewaktu-waktu dapat roboh atau patah. Ranting tak memiliki
kekuasaan apapun atas dirinya sendiri, dia dapat layu dan mati, sewaktu-waktu.
Itulah perumpamaannya. Maka jika kita ikatkan keyakinan kita kepada pekerjaan
misalnya atau wanita misalnya bersiaplah untuk patah, kapan saja. Sungguh benar
perumpamaan itu.
Sungguh, kita tidak
sadar, jikalau semua keadaan itu bisa terjadi, disebabkan karena
kita telah menuhankan pekerjaan kita. Menggantungkan kehidupan kita kepada
pekerjaan, kepada system, kepada atasan, dan sebagainya. Jiwa kita hanya
tertuju kepada semua itu. Jiwa kita setiap hari dihadapkan kepada
masalah-masalah kerja dan kerja. Kita menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar
saja. Namun justru teologi Islam menganggap hal itu tidak wajar. Islam tidak
membenarkan itu. Itulah sebab kenapa saya katakan pekerjaan akhirnya menjadi
Tuhan kita. Terbukti, setiap sholat pun kita hanya ingat kerjaan,
lintasan hati hanya ada kerja dan kerja, bukankah berarti kita hanya
menghadapkan jiwa kita kepada kerjaan kita, bukan kepada
Allah ?. Dan itu semua terjadi begitu saja tanpa kita sadari, tanpa kita
rekayasa, jarang mampu kita tolak. Namun sungguh berhati-hatilah.
Itulah Hantu yang dianggap Tuhan, sangat tersamar sekali, masuk
dalam kesadaran kita. Inilah contoh Tuhan tandingan yang di maksudkan. Sering
kita hanya menganggap bahwa Thogut (Tuhan selain Allah) hanyalah
sebatas patung dan berhala saja. Inilah kekeliruan, jutru berhala yang
sebenarnya bermain dalam kesadaran kita . Apapun dapat menjadi berhala-berhala
kita. Itulah perumpamaan, yaitu bagaimana orang yang cintanya kepada
selain Allah, sebagaimana dia menganggap cintanya itu kepada Allah.
Kesudahan
rahsa
Yang terpenting adalah
bagaimana kesudahan rahsa dalam jiwanya. Bagaimanakah rahsanya diantara
keduanya itu. Apakah ketenangan ataukah kegelisahan yang terus melebar sebagai
efeknya. Ataukah range diantara itu. Karena sebab (ketika) dia
menganggap bahwa cintanya itu suatu yang benar. Maka (saat itu) dia dalam
keadaan terhijab. Maka hanya sensasi rahsa nya saja yang dapat kita amati.
Sensasi tersebut mampu menjelaskan, apakah kita benar dalam
penyembahan kita ataukah salah. Sulit sekali merangkai kata,
bagaimanakah menjelaskan keadaan ini?. Menjadi problematika dari
jaman dahulu hingga kini. Namun sekali lagi, sungguh hasilnya akan
dapat dirahsakan oleh jiwa kita bagaimana itu. Dan jiwa kita sendiri
akan mampu mengenalinya,perbedaan diantara keduanya itu, karena sangat
berbeda sekali sensasi rahsanya.
Sebagaimana ketika kita
mencintai pekerjaan, kita ber alibi bahwa pekerjaan adalah sebagai
bentuk ibadah kita kepada Allah, kita kemudian tak sadar mencintainya
sebagaimana mencintai Allah. Namun benarkah dalam bekerja niat kita ibadah ?.
Nyatanya hanyalah kita yang tahu, dan kita juga akan mengetahui bagaimana
kesudahannya, jikalau kita nyatanya tidak lurus kepada-Nya.. (Maka bagaimanakah
rahsanya ?). Orang yang mengerti dan pernah mengalaminya pasti tahu bagaimana
rahsanya. Ya..mereka mengerti, karena hasilnya adalah rahsa ketidak
tenangan yang semakin lama semakin membuncah. Ketika dia menggantungkan dirinya
kepada selain Allah, hekekatnya dia sedang memintal kegelisahannya sendiri,
sebagaimana laba-laba yang sedang membuat rumah, semakin membesar
dan semakin membesar. Itulah kesudahanya. Itulah kepastiannya.
Masih banyak perumpamaan
lainnya, orang yang mencintai ilmu, mencintai hartanya, karyanya, dan lain
sebagainya, ketika mereka mencintai semua itu, pasti mereka akan dapat
membenarkan perumpamaan tersebut (QS; Al Ankabut ; 41). Ketika masa sudah
berlalu, mereka akan mengerti juga. Apakah manusia mau menunggu saat itu ?.
Masih adakah yang
dipertanyakan ?
Cinta yang tak usai,
cinta yang tak pernah tahu dari mana asal dan muaranya, menjadi kesulitan
manusia menetapi. Cinta kembali diusik, dipertanyakan, di nafikan, dijauhi,
dinista di hina. Namun cinta tetaplah cinta. Cinta adalah sebuah rahsa, hanya
manusia yang mampu mengenal rahsa ini. Bukankah cinta patut kita syukuri.
Namun kebalikannya,
ketika cinta manusia ditujukan hanya kepada wanita maka bersiaplah untuk diamuk
rahsa kecewa, ketika cintanya tidak seperti yang diharapkan angannya, ketika
cinta malahan kemudian telah menyakitinya. Sungguh, manusia kemudian hanya akan
menghiba, jiwa diliputi nestapa dan lara, merana tak berkesudahan, jiwa dan
raga diamuk rasa dendam rindu dan sakit hati, bahkan membuncah
menjadi benci.
Sudah kejadiannya begitu,
jika rahsa tersakiti, dada menjadi seakan-akan
hendak meledak . Aliran energy dalam system ketubuhannya akan terbolak-balik,
mempengaruhi system hormonal ketubuhannya, mengacaukan system ketahanan
tubuhnya, kemudian akan mengacaukan seluruh indranya. Hingga remuk redam
raganya, rahsanya seperti ingin mati saja. Bagaimana tidak, segala
macam rahsa teramu dalam jiwa, mengharu biru, menutup akal dan
logika, dan selanjutnya hilang lenyap sudah harga diri. Maka
bersipa sajalah ketika manusia salah mencintai, yaitu ,encintai
kepada selain Allah, bersiaplah diamuk rahsa, yang
akan membunuh dirinya. Itulah kesudahannya dan menjadi kepastian bagi
manusia .
Begitulah kerinduan
akan mencinta dan dicinta, ketika manusia mencintai kepada selain Allah,
hekaketnya dia sedang memintal bara dendam rindu yang semakin lama semakin
menggelora, menyiksa jiwa dan raganya, tinggal menunggu saatnya saja,
sebagaimana perumpamaan laba-laba yang sedang memintal rumahnya. Begitu
rapuhnya kontruksi rumah laba-laba, jika kita mengetahuinya.
Bagaimana mengungkapkan
rahsa tersakiti itu, di gambarkan dengan lugas oleh Chairil Anwar,
melalui puisinya yang fenomenal.
Aku (1)
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau..!
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau..!
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang !
Dari kumpulannya terbuang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari..
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Aku (2)
Melangkah aku bukan tuak menggelegak
Sumbu buatan satu biduan
Kujauhi ahli agama serta lembing katanya
Aku hidup
Dalam cacar melebar, barah bernanah
Dan kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahaga
June 1943
Sebab betapa sesalnya akan cinta, karena pengembaraannya tak berkesudahan
kemudian dia berdoa.
DOA
kepada Pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Cahayamu panas suci
tinggal kerdip lilin dikelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara dinegeri asing
Tuhanku
dipintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
( by Chairil Anwar)
Karena salah mencinta
manusia bisa menjadi binatang jalang, bisa menjadi apa saja. Sebagaimana
pengakuan seorang Chairil Anwar. Begitulah cinta anak manusia. Cinta sudah
seringkali melukai. Namun sangat sedikit manusia, yang ketika terpapar rahsa
itu, mengerti dan sadar, kemudian mengalihkan rahsa itu kepada cinta yang
hakiki, kepada cinta yang benar, yaitu cinta kepada Allah. Marilah kita senantiasa
memohon ampun dan hidayah-Nya. Sungguh, sejatinya manusia amat
lemah. Manusialah yang senantiasa men dzolimi dirinya sendiri, disebabkan
karena sesungguhnya manusia sudah tahu sendiri, bagaimana hukum kepastian atas
cinta.
Maka
apakah cinta masih dipertanyakan ?
Maka
apakah kita masih perlu bertanya : Ada apa dengan cinta ?.
Maka ketika umur sudah
mulai merenta, dan uban mulai nampak di kepala, bukankah saatnya sudah tidak
ada pilihan bagi kita ?. Lantas kemudian mau kita arahkan kemana lagi cinta kita
ini, jikalau bukan kepada-Nya. (Ataukah kita tetap tidak mau melepas cinta
kepada harta, tahta dan wanita ?). Masihkah itu kita pertanyakan lagi
?!?. Semoga saja ada (mereka) yang mengerti.
“Ya Allah, aku memohon
kepada-Mu, cinta-Mu dan cinta orang-orang yang Engkau cintai “.
Walohualam,
Salam
arif
Komentar
Posting Komentar