Kajian Al Nafs 4, Kuda Perang (yang) Berlari Kencang
Pengajaran yang terlupa
Dalam pelatihan sholat
khusuk di masjid Al Barkah Bekasi, beberapa bulan yang lalu. Ustad Abu Sangkan
sempat berseloroh kepada para jamaah. Ditanyakan kepada seluruh jamaah ;
“Bapak-bapak dan Ibu-ibu, siapa yang tahu Rukun Iman ada
berapa ?”
Ramailah audience
menjawab, dari barisan ibu-ibu menjawab dengan mantap, hampir berbarengan dari
keolompok bapak-bapak juga menjawab dengan tak kalah kerasanya;
“Ada enam Ustad !”.
“Yang bener…?!?”. Ustad
Abu menjawab dengan nada berseloroh.
“Betul Ustad..!” Jawab mereka serempak
“Yakin ada enam..?!?. ” Ustad Abu balik bertanya.
“Yakin Ustad Abu, memang ada enam..”
“Ah..ada lima kali..coba kita eja satu-satu…”
Kembali Ustad Abu Sangkan memancing tanda Tanya audience di
ruang masjid besar Al Barkah Bekasi tersebut.
Maka ramaalah mereka.
Kemudian Ustad Abu Sangkan mengajak jamaah untuk mengeja hapalan Rukun Iman.
Maka ramailah seluruh jamaah, mengeja pengajaran rukun Iman yang sudah di luar
kepala mereka semua. Namun anehnya ketika sampai rukun Iman yang kelima, Ustad
Abu berhenti. Kemudian mengajak lagi audience untuk mengeja satu demi satu
Rukun Iman. Kembali sampai Rukun Iman yang kelima Ustad Abu berhenti dan tidak
melanjutkan lagi. Begitu terjadi hampir tiga kali dilakukannya.
Timbulah tanda tanya
seluruh jamaah yang hadir di masjid tersebut, jamaah terlihat heran dan tak
mengerti, mengapa bisa begitu, betulkah ada lima ?. Namun sebelum tanya
auidience terlanjur terungkap. Ustad Abu menjelaskan;
“Rukun iman dari yang pertama hingga kelima, sangat gampang kita
ucapkan, sangatlah gampang kita meyakininya. Percaya..ya kita tinggal percaya.
Yakin..ya kita tinggal yakin begitu saja. Tidak perlu susah payah. Terlepas
yakinnya seperti apa, itu urusan nanti. Yang penting yakin dan percaya,
cukuplah sudah. Namun cobalah rukun Iman yang ke enam, adakah diantara kita
yang mau menerima dan yakin atas ketentuan dan ketetapan (Qodho dan Qodar)
Allah atas diri kita. Mampukah kita semua menerima takdir kita. Kita
semua sepertinya sulit untuk beriman kepada rukun Iman yang keenam, bukankah
begitu ?. “ (bahasa disadur dengan
bebas, tanpa mengurai hakekat makna apa yang disampaikan beliau).
Inilah inti pengajaran Islam sebenarnya. Pengajaran tauhid yang
utuh. Menjadi pertanyaan kita semua. Mengapakah manusia gagal melakukan
penerimaan atas ketentuan dan ketetapan Allah. Sehingga karenanya kita TIDAK
mampu menetapi TAKDIR kita ?. Ketika manusia gagal melakukan penerimaan atas
takdir, maka cacatlah keimanan mereka. Rangkaian dari 1-6 adalah sebuah
kesatuan akidah, yang akan menciptakan jiwa-jiwa seorang muslim sejati.
Begitulah sejatinya kesempurnaan Iman.
Pengajaran atas
penerimaan rukun Iman ke enam begitu sulitnya. Pengajaran agar manusia menerima
seluruh ketetapan Allah, atas Qodo dan Qodar-Nya. Menimbulkan perlawanan
sengit dari jiwa manusia itu sendiri. Inilah dilematika umat Islam.
Benturan-benturan yang mereka terima dalam kehidupan sehari-hari tak
mengajarkan mereka apa-apa. Rahsa kehilangan, rahsa miskin dan papa, rahsa tak
di hargai, rahsa ketakutan, rahsa tak memiliki harta, , rahsa kecewa, sedih dan
duka, nertapa dan lara, dan pergulatan seluruh rahsa yang memborbardir mereka,
telah menghijab mereka. Mereka merasa hidup tidak pernah ber pihak kepada diri
mereka. Mereka lupa bahwa semuanya itu adalah bentuk-bentuk pengajaran Allah
kepada hamba-hamba-Nya. Sulit sekali kita memaknai, menyadari dan memahami itu
semua.
Begitu juga kebalikankan, ketika mereka di berikan kekayaan,
diberikan harta, dimuliakan manusia, mereka menjadi sombong, mereka semua tetap
tidak mengakui atas ketetapan Tuhan-Nya. Mereka dengan angkuhnya mengatakan
bahwa semua itu atas usaha mereka semata. Bagaimanakah manusia, diberikan
harta, mereka sombong. Di dera kemiskinan mereka menghiba, menista Tuhannya.
Sungguh sulit memasuki wilayah ini. Dan menjelaskan kepada semua bagaimana cara
menetapi dan berjalan diatas semua itu.
Maka manusia yang diberikan kemampuan atas hal tersebut adalah
manusia yang telah diberikan nikmat. Manusia yang diberikan nikmat adalah
manusia yang tidak bersedih hati. Merekalah wali-wali Allah. Mereka adalah
orang-orang yang beriman dan bertakwa.
“Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah tidak ada rasa takut
atas (diri) mereka dan tidaklah mereka bersedih hati.” (QS. Yunus; 62)
“Yaitu, orang-orang yang beriman dan senantiasa ber takwa “ (QS.
Yunus ; 63)
Jadi jika saya gunakan bahasa yang lebih sederhana. Orang yang
mampu menjalani realitas hidupnya adalah orang-orang yang tidak ada rahsa takut
dalam dirinya dan mereka tidak bersedih hati. Mereka selalu senantiasa berada dalam
suasana nikmat menjalani realitas kehidupannya. Mereka bisa seperti itu jika
dan hanya jika mereka beriman dan senantiasa bertakwa. Jika manusia tidak mampu
menghilangkan rahsa takutnya atas kehidupan ini dan mereka tidak mampu tenang,
puas dan ridho, mereka tidak mampu untuk tidak bersedih hati. Maka mereka patut
menguji kadar keimanan mereka itu. Maka tolak ukur beriman atau tidakkah diri
kita menjadi mudah. Semua bertumpu pada kepuasan hati. Kepuasan hati inilah realitas
yang sesungguhnya bagi jiwa manusia.
Kembali saya ulas lagi.
Bagaimana kondisi orang yang sudah tidak memiliki rahsa takut dan tidak
bersedih hati. Bagaimanakah kita mencapai makom tersebut. Syarat
utamanya adalah IMAN, dan orang beriman tersebut juga senantiasa dalam
upayanya untuk ber takwa. Masalahnya adalah bagaimana kita memaknai Iman.
Sementara dalam penerimaan kita kepada rukun yang ke enam saja kita ber
masalah. Maka pengajaran selanjutnya, selayaknya adalah ber tumpu kepada
pengajaran atas pemaknaan rukun iman yang ke enam ini. Kemampuan kita melakukan
penerimaan atas rukun iman ke enam ini, akan membawa kita kepada penerimaan
TAKDIR. Hakekat penerimaan TAKDIR akan memabawa kita dalam suasana
tenang, puas dan ridho, menjalani realitas kehidupan ini. Maka manakah
yang realiats penerimaan itu sendiri yaitu suasana hati ataukah kesuksesan
materi ?. Inilah jawaban untuk pertanyaan yang terlontar dalam kajian pembuka.
Maka menjadi penting,
dan menjadi sorotan tajam saya dalam setiap kajian yang saya usung adalah
bagaimana pengajaran Islam agar setiap umatnya mampu melakukan penerimaan atas
takdir-takdir mereka. Sehingga karenanya sempurnalah keimanan kita. Saya
berharap pengajaran atas penerimaan rukun iman ke enam ini menjadi pengajaran
yang penting. Bukan malah dilupakan.
Maka karena itulah manusia diajarkan Agar mereka sanggup
melakukan penerimaan atas ketentuan dan ketetapan Allah Karena semua itu
diperlukan dalam keseimbangan hukum-hukum alam semesta Hukum dualitas,
hukum keseimbangan dunia dan akherat, hukum surga dan neraka, pahala dan siksa.
Agar peradaban manusia nantinya mampu mencapai titik peradaban yang tertinggi.
Kemudian di saat itu manusia akan menjadi saksi, atas penciptaan dirinya dan
alam semesta ini Akan dituniukan di ufuk Timur dan Barat, Maha Besar Allah.
Betapa besar kekuasaan-Nya. Ketetapan dan ketentuan segala sesuatu
berada dalam genggamannya. Bersama keyakinan tersebut manusia menapaki
jalan TAKDIR mereka masing-masing. Tidak surut langkah, tidak bersedih
hati, tiada rahsa takut.
Dengan kegagahan sang
KUDA PERANG, menapaki langkah menerobos melineum baru. Membuat peradaban baru
dalam keimanan yang utuh. Maka sepatutnya pengajaran ini tidak
terlupa…menjadi tugas kita semua. Agar manusia bangga menjadi muslim. Menjadi
sebuah karakter utuh. Karakter sang KUDA PERANG, berlari, terus berlari meski
terengah-engah, menderap menggulung debu ke langit tinggi, menerbitkan api dari
kuku yang dihentakkan ke bumi. Meniti realitas hidup dengan berani. Semua itu
karena keimanan kepada Tuhan yang satu. ALLAH SWT. WolAohualam.
Salam
arif
Komentar
Posting Komentar