Khauf dan Ar Raja (Bertasbih Bersama Angin, Gunung dan Burung-burung


Memasuki kajian ini, sama saja sulitnya. Kita sedang membicarakan sesuatu yang sederhana, dan biasa saja, saking sederhananya sehingga kita tidak mampu melihatnya. Kesadaran yang paradoks sekali. Aneh bukan ?. Bahasan kita ini, sudah seringkali diulas oleh  jutaan orang, semua orang Islam akan  mengatakan hal yang sama, setiap khutbah jum’ah tidak lupa juga selalu diingatkan oleh Khatib yang berdiri di mimbar. Kita harus bersyukur atas nikmat iman, nikmat Islam, kita harus  bertakwa, takutlah akan Allah, kita harus bermal sholeh, dan banyak lagi kata  lainnya, semisal sering disebutkan juga  Jiwa Mutmainah yang menjadi kajian kita ini.                                                                                                                                           
Jika semua orang sepakat untuk hal yang sama, mengapakah kita masih seperti ini ?. Jujur saja, apakah kita pernah merasakan bagaimana keadaan hal nikmat itu sendiri ?. Seperti apakah itu ?. Mampukah kita mendeskripsikannya ?. Atau mampukah kita mengenalinya ?. Samakah antara saya, dia, anda,  kita dan mereka ?.   Kalau kita di ruang yang sama tentunya keadaan umat Islam tidak akan begini. Jika kita sama-sama dalam dimensi ini, maka tidak akan ada lagi perpecahan dan perbedaan. Inilah keyakinan saya.

Maka seperti yang saya katakan di muka, meski jutaan lembar kertas sudah ditulisi perihal ini, meski semua orang berbicara dengan kata  yang sama,  masih  sulit bagi kita untuk mendekati keadaannya. Kita membicarakan hal yang sama namun kita tidak sadar  bahwa dimensi  kita berbeda sama sekali antar satu dan yang lainnya. Pernahkah kita merasakan jiwa kita tenang ?. Karena sebab apakah jiwa kita tenang ?. Bagaimanakah keadaannya ?. Apakah kita memiliki referensinya ?. Coba bangkitkan lagi keadaan saat diri kita mencapai posisi iwa yang tenang, bisakah ?. Blegh..!. Tidak, ternyata tidak,  kita belum memiliki file nya.  Kalaupun ada pastinya antara saya dan anda belum tentu sama dimensinya.

Mari kita perdalam lagi. Dalam setiap kajian, setiap khutbah, di majelis-majelis dzikir dan dalam setiap kesempatan pengajian ibu-ibu dan lain-lainnya. Kita senantiasa menyebutkan kata ini, “Jiwa Mutmainah.” Saking banyaknya disebutkan maka kata ini a seringkali menjadi  hanya sebatas slogan saja. Lewat dan berlalu, ooh ya ya. Mengerti namun tidak tahu keadaannya. Semakin sering kita sebutkan, bukannya akan semakin membuat kita paham keadannya, tapi justru malahan sebaliknya, menjadi sesuatu yang biasa. Keadaan hal Jiwa Mutmainah, seakan-akan jauh diawang-awang, sebagaimana keadaan surga yang tidak mampu kita rasakan sensasinya di dunia ini. 

Ketika saya mencoba mencari referensinya dalam kesadaran saya, ternyata saya juga belum pernah mendapatkan hal sebagaimana yang dimaksudkan sebagai Jiwa Mutmainah. Kenapa bisa begitu ?. Baik, marilah kita jujur terhadap diri kita sendiri. Kapan terakhir jiwa kita dalam puncak spiritual, dalam ketenangan jiwa, ketenangan yang tidak menyisakan kegelisahan tersembunyi. (Yaitu) Kegelisahan yang tersusun atas ketakutan akan kehilangan harta, kehilangan anak, suami, istri, jabatan, pangkat, status, nama baik dan lain sebagainya. Jujur saja,  sering kali kita,  tidak mengenali kegelisahan ini pada saat posisi kita aman secara finansial dan saat keadaan diri kita dalam keadaan tidak bermasalah. Rasanya kita jauh dari kegelisahan, semua serba ada, tidak ada yang menakutkan kita sepertinya ketakutan  tersebut sangat jauh dari kita.

Namun bagaimana jikalau kita uji sendiri. Mari kita coba bayangkan, bagaimana jika kita kehilangan semua milik kita tersebut. Kehilangan ibu, kehilangan ayah, kehilangan kekasih, kehilangan istri/suami, kehilangan pangkat, jabatan, mobil, rumah, dan lain sebagainya. Paling mudah saja kehilangan pekerjaan dan penghasilan kita. Pendek kata kehilangan sesesuatu yang paling kita cintai dan paling kita sayangi. Bagaimana keadaan kita ?. Mampukah kita membayangkan keadan saat kita kehilangan itu semua ?. Mampukah kita dalam keadaan tersebut ?.  Mampu tenangkah kita ?. Mari kita coba uji, dengan simulasi otak dan kesadaran kita saja.

 Semakin dipikirkan maka nafas kita akan memburu, terus semakin dalam, akan muncul hawa didada yang membuat kita ‘pengap’ , kita kemudian gelisah, lama kelamaan kita mengalami ketakutan, berharap jangan sampai hal tersebut terjadi. Ketakutan yang kemudian akan muncul dipermukaan. Ketakutan tersebut lama kelamaan akan mencengkeram kita. Bahkan akan mendekati paranoid jikakita terlambat menyadari keadaan diri kita. Ketakutan muncul dipermukaan dan yang kemudian mengkristal.  Inilah yang saya maksudkan ketakutan tersembunyi.  

Yakinlah, sesungguhnya kita semua  dalam keadaan seperti ini, yaitu keadaan dimana kita menyimpan ketakutan (khauf)  tersebunyi ini, sampai datang ujian dari Allah untuk menunjukan keadaan diri kita sebenarnya. maka Allah dalam firmannya mengatakan,

 “”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? .“ “ (QS. 29:2).                                                                    

Begitulah al qur an berkata. Nah, apakah ada yang berani mencoba, menguji diri sendiri atas keadaan tersebut, menguji keadaan kita sendiri?.  Adalah (yaitu) apa-apa yang kita ucapkan pada saat kita sholat.  Kenapakah kita tidak uji saja sendiri, bagaimana keadaan keimanan kita ?. Apakah kita menunggu ujian dari Allah, baru kemudian kita percaya, bahwa keadaan kita memang masih seperti ini ?. Jangan begitu, sekali-kali janganlah begitu !.                              
Semisal perkataan "Sholatku, ibadahku, hidupku,dan  matiku, untuk Allah, Tuhan semesta alam ."  Atau juga perkataan lainnya, "Saya termasuk orang yang berserah (Islam)." Benarkah perkataan kita itu, padahal pada setelah takbir kita mengucapkan perkataan tersebut. Maka silahkan benarkah apa yang kita perkatakan. Kita akan tahu jawabannya setelah kita uji.                                                                            
Manusia memiliki ketakutan yang kadang menghijab dirinya dengan Allah. Sebab inilah kemudian Allah menunjukan keadaan diri kita dengan mendatangkan cobaan dan ujian. Dimaksudkan agar manusia tersebut mengenali ketakutannya sendiri. Ketakutan yang akan yang menghijab dirinya dengan Allah. Mengapa ketakutan ini bisa menghijab ?. Bagaimana tidak, jiwanya terbelenggu di medan materi,  dia akan menjadi takut terhadap sesuatu selain Allah. Dirinya lebih takut kehilangan mobil daripada kehilangan Allah.  Ups. Tapi bener kok keadaan ini. Cobalah bayangkan keadaan kita jika kita kehilangan semua yang kita miliki. Kita lihat keadaan pengemis, keadaan orang yang ditinggal mati, dan lain sebagainya. Bayangkan jika kita sebagai dia, apakah yang bisa kita lakukan ?. Mampukah kita melakoninya  jika kita bertukar raga ?. Disinilah kita kemudian menguji diri kita sendiri, melakukan eksplorasi, meniadakan ketakutan atasselain Allah. Mengandaikan, ber empati, jika aku menjadi, dan lain sebagainya. Maka dari itu,  manusia satu sama lainnya menjadi cobaan. Dengan inilah, kita disuruh berfikir.

Itulah ternyata jika kita singkapkan,   ketenangan jiwa kita justru di bangun atas khauf (ketakutan) tersembunyi.  Ketakutan yang diwariskan dari kesadaran kolektif.  Ibarat air yang tenang menghanyutkan. Tenang diluar namun di dalam airnya deras sekali. Dan spiritual kita adalah meng-eksplorasi wilayah ini, menguji diri kita sendiri, menghilangkan ketakutan kita. Menguji lintasan hati, jangan sampai ada ketakutan yang tersembunyi lagi. Sungguh latihan yang berat, mendaki lagi sukar. Taka apa, karena  dengan itu, kita nanti akan tahu keadaan diri kita, apakah benar perkataan kita ataukah kita berdusta. Jangan sampai kita menunggu  ujian dari Allah. Baru kita sadar. Jangan, janganlah itu kita lakukan.  Maka dengan kalimat inilah, saya mengulang-ulangnya. 

Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. “ (QS. 29:3).

Janganlah kita termasuk orang yang menipu Allah dengan perkataan kita. Lihat saja, setiap saat, lima kali sehari  mengatakan, “Shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya karena Allah Tuhan semesta Alam.”  Namun nyatanya apa yang di lakukan hanya demi uang, jabatan, dan nafsu kita saja. Kita tetap saja ketakutan jika kehilangan harta, pangkat, jabatan dan lain-lainnya. Maka dari itu, marilah kita uji dan kita kaji, fenomena keadaan diri kita ini. Karena sebab sungguh kita sulit sekali lepas dari keadaan ini, mungkin tidak hanya saya, dia, kita dan bahkan mereka, para kaum urban ibukota pasti tengah dalam keadaan yang sama.

Afirmasi Berfikir

Meskipun sulit, meski jalan terjal mendaki lagi sukar. Sebagai umat Islam kita meski berusaha dan berdoa selalu memohon pengajaran-Nya. Semoga Allah ridho atas upaya kita ini. Inilah pengharapan (Ar Raja).

Melalui pengharapan (Ar Raja) inilah kita bangun afirmasi berfikir kita. Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Allah yang berjanji akan mengajarkan kepada makhluk yang Dia ciptakan sendiri. Allah yang akan menjadi pelindung kita, dan lain sebagainya. Dengan pengharapan inilah kita bangun kontruksi kejiwaan kita, dengan semangat membaja atas hal ini. Dikuatkan dalam akal, dalam kesadaran, dalam jiwa, hingga kedalam sel-sel tubuh kita, sehingga hawa-hawa akan keluar dari dalam sel-sel tersebut terganti dengan pengharapan (Ar Raja).  

“Sesungguhnya yang perlu kita lakukan hanyalah ber hijrah , kita bersiap waspada  (berniat) untuk merubah posisi jiwa kita. Kita mencari titik koordinat yang pas atas keadaan hal, yaitu keadaan berserah, yaitu bagaimana keadaan ber-Islam itu sendiri. Jika sudah ketemu, kita tinggal mengikuti, mengapung, mengamati, keadaan  jiwa kita  yang diperjalankan Allah. Merelakan diri dalam pengajaran Allah. Hingga sampai kepada keadaan perjalanan  mi’raj. Diam dalam hening mengikuti diri yang diperjalankan-NYA. Praktis tidak ada yang kita lakukan lainnya.”  

Nah, kalau sudah sampai keadaan ini, nyatanya tidak sulit bukan ?. Sederhana sekali. Makanya Islam itu mudah. Siapapun orangnya, tidak memandang tingkat pendidikan, kaya atau miskin, pasti akan mampu ber-Islam. Tinggal maukah dia ber-hijrah. Dari kegelapan menuju jalan yang terang. Sebab keadaannya banyak jiwa yang menyukai keadaan lembam-nya, dia engan berhijrah, sudah asyik disitu, inilah yang menyebabkan, sesuatu yang sederhana menjadi begitu sulitnya.

Manusia cenderung menyukai sesuatu yang sulit. Itulah dominasi akal  kita. Akal selalu meremehkan hal-hal yang sederhana dan mudah baginya. Akal tidak mau memasuki dari kesederhanaan. Maka semakin berilmu manusia maka akan semakin besar hijab akal pada  dirinya. Akal akan menafikan hal yang terasa mudah dan sederhana. Akal akan terus berputar-putar dengan disiplin ilmu-ilmunya. Semakin sulit dan semakin canggih pemikirannya, maka akalakan merasa bangga dengan keadaannya itu. 

Maka lihatlah banyak sekali ayat Al qur an yang menyitir kaum yang berilmu, yang bangga dengan ilmu-ilmunya. Ilmu yang mereka sombongkan, tidak akan mampu menghantarkan dirinya kepada keadaan berserah (Islam). Aneh bukan ?. Coba saja, akal selalu akan berdalih, beralasan apa saja, jika disuruh berserah diri. Dirinya akan melakukan dengan cara nya sendiri, dengan anggapannya sendiri. Dia akan tidak mau berserah kepada kehendak-NYA. Akal tidak akan pernah mau berserah kepada pengajaran-NYA. Akal selalu akan mengajari diri dan jiwa kita. Akal tidak akan pernah membiarkan dirinya diajari oleh Tuhannya. Begitulah keadaannya, maka sesuatu yang sederhana dan mudah, menjadi berpilin-pilin dan rumit ditangan orang-orang yang berilmu yang memuja akal  mereka. 

Inilah awalnya, sebab ketakutan (khauf) biasanya bersumber dari sang akal kemudian syetan masuk meniupkan was-was kedalamnya. Sehingga keadaan kita akan selalu dirundung rasa was-was saja. Kita tidak pernah tenang menghadapi problematika, dan tekanan kehidupan di ibukota ini. Kita selalu merasa khawatir, curiga, dan lain sebagainya. Maka waktu terasa begitu cepatnya, hidup terus diburu kebutuhan-kebutuhan, hidup terus didera dan dipaksa untuk terus berfikir mencari penghasilan lainnya untuk menutupi kebutuhan. Dan seterusnya, dan lain sebagainya. Duh.

Oleh karena itu, penting sekali jika kita memiliki pondasi pengharapan (Ar Raja). Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan namanya kita berjalan dimuka bumi ini. Tidak ada rasa rasa takut dan khawatir. Dia tempat kita bergantung. Sederhana dan simple sekali Islam mengajari kita. Hanya kita perlu menguatkan (afirmasi) dalam proses berfikir kita, kemudian membenamkannya kedalam kesadaran kita pengharapan (Ar Raja) ini. Maka Ar Raja ini akan sedikit demi sedikit menggeser ketakutan kita kepada selain Allah. Mengeluarkan hawa tersebut dari tubuh kita. Sehingga tubuh kita kemudian nyaman ditinggali jiwa kita. Begitu sederhana bukan ?.

Jiwa Mutmainah

Kembali kepada pokok bahasan dimuka, bagaimana dengan keadaan jiwa mutmainah ?. Kita sering menyamakan keadaan hal jiwa mutmainah dengan keadaan jiwa yang tenang. Tenang dalam persepsi kita tentunya. Maka apakah orang yang dalam keadaan tanpa masalah dapat dikatagorikan kedalam makom  jiwa yang tenang ?.

Apakah ketenangan jiwa diukur dari ketiadaan problematika hidup yang mendamparnya. Jika orang tidak pernah ada masalah maka dialah orang yang sudah menepati makom jiwa yang tenang. Begitu selintas persepsi kita. Apakah kalau begitu lebih baik kita menghindari masalah ?. Atau kita lari saja dari masalah ?.  Kita menyepi di gunung-gunung, kita menuju puncaknya yang tidak ditinggali manusia. Apakah dengan begitu kita tidak akan mendapatkan masalah, sehingga jiwa kita kemudian mampu tenang ?.  Jika begitu keadaannya, maka semua mansuia akan berbondong-bondong menjauhi dunia untuk mencapai keadaan jiwa yang tenang yan dimaksudkan itu. Saya rasa Islam tidak mengajarkan begitu.

Jika kita menjelajahi peradaban dunia. bagaimana kesadaran kolektif manusia (Min) dibangun, kita akan dapati ksiah-kisah yang seperti kontrakdiktif. Sebut saja kisah Sidharta. Seorang anak raja yang kaya, kehidupannya sedari kecil di jauhkan dari seluruh masalah. Dia tidak boleh melihat kemiskinan, semua terjaga dan dijaga. Namun apakah yang terjadi, bilakah jiwanya tenang ?. Tidak, jiwanya tidak tenang. Maka kemudian dia mencari pencerahan, bertapa di bawah pohon Budhi.  Banyak kisah semisal dengan ini, yang diyakini menjadi jalan (dhien) bagi umat-umat terdahulu untuk mencapai keadaan ketenangan jiwa. 

Lain dengan Sidharta, lain dengan para Rahib dan Pendeta. Banyak sekali upaya penyiksaan diri yang dilakukan. Mereka menjauhi duniawi, mengharamkan yang tidak diharamkan. Mereka menganggap duniawi adalah sumber masalah saja. Mereka kemudian melakukan kehidupan ‘rabanni’, mereka mengharamkan kawin. Laku ini dalam keyakinan mereka akan mampu menghantarkan kepada keadaan jiwa yang tenang. Mereka menganggap dengan itu mereka akan dekat dengan Allah.

Banyak sekali laku spiritual yang terserak dalam kearifan lokal. Upaya manusia untuk mencapai keadaan jiwa yang tenang tidak putus-putusnya. Mereka semua berusaha mencari jalan (dhien). Lihatlah, kejawen dengan seatribut laku yang harus dijalani, belum lagi kearifan lokal Bali, Sundha, Toraja, Karo,  dan lain sebaginya. Semua suku-suku di tanah air ini, memiliki cara dan laku mereka. Mereka dnegan kearifan lokal mereka, begitu juga anggapan kaum Kurais Mekah saat itu, mereka dengan laku mereka memuja Latha dan Uzza. Tuhan mereka yang diharapkan akan mampu mendekatkan diri mereka dengan Allah.

Jiwa yang tenang, bila kita lihat keadaannya sebenarnya sudah inheren di dalam jiwa kita sendiri, maka karena itu setiap jiwa manusia pasti akan mencari keadaan hal nya untuk kemudian akan berusaha mendiami makom tersebut. Inilah fitrah manusia. Karenanya tidak heran jika  seluruh manusia tak terkecuali kemudian mencari jalan mereka masing-masing. Kita tidak pernah akan mampu menolak panggilan jiwa yang tenang ini. namun kesulitannya adalah bagaimana keadaan sesungguhnya makom jiwa yang tenang tersebut ?. Sayangnya upaya ini akhirnya hanyalah melahirkan klaim sepihak atas kebenaran jalan (dhien). semua manusia merasa jalnnyalha yang benar yang lurus. Maka ributlah manusia disini, saling serang dan baku hantam.

Padahal Al qur an sudah sangat jelas sekali mengisyaratkan, bahwa manusia tidak akan pernah mampu mencapai posisi keadaan hal jiwa yang tenang jika mereka tidak berserah diri (Islam). Menyerahkan pengajarannya hanya kepada Allah. Posisi jiwa tenang untuk setiap manusia hanya Allah saja yang tahu, sebab Dia yang menciptakan manusia. maka serahkan urusan itu kepada Allah. Berserahlah, hanya cukup berserah saja, selanjutnya adalah urusan Allah.  Terimalah Allah sebagai Tuhanmu. Serrahkanlah dirimu untuk diajari-Nya.  Pesannya sangat jelas dan tegas. Para nabi mengabarkan hal ini. Mereka memberi peringatan kepada orang-orang yang tidak mau berserah bagaimana nanti akibatnya. Simple dan sederhana.

Maka keadaannya tidaklah serumit yang kita bayangkan. Jiwa yang tenang seharusnya mampu kita dapatkan dimanapun status dan strata kita. Apapun posisi dan jabatan kita. Sesibuk apapun diri kita. Sebanyak apapun masalah yang mendera kita. Meskinya begitu. makanya Islam menganulir jalan-jalan (dhien) umat-umat terdahulu. Ikutilah jalan Islam ini, jalan termudah, ter simple, jalannya para nabi. Maka dimanapun dalam ketenangan jiwa,  kita akan akan mampu merasakan nikmat, sesungguhnya nikmat diantara problematika kehidupan kita ini. Inilah jalannya orang yang diberikan nikmat. Yaitu jalannya orang yang selalu mendapatkan nikmat dari setiap tetes kehidupan ini, dari seluruh aspek, kesuksesan, kegagalan, ketakutan, kebahagiaan, kesedihan, kehilangan, kesenangan, dan seluruh perguliran rahsa. Dia diatas semua rahsa dalam nikmat diam dan heningnya. Wolohualam

Kajian ini masih mengupas lebih jauh lagi keadaan jiwa mutmainah diselanjutnya..semoga kajian ini akan  akan mampu menghantarkan pemahaman hikmah bertasbih bersama angin dan burung..bersambung.

salam
 arif 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali