Khauf dan Ar Raja (Bertasbih Bersama Angin, Gunung dan Burung-burung
Maka
seperti yang saya katakan di muka, meski jutaan lembar kertas sudah ditulisi
perihal ini, meski semua orang berbicara dengan kata yang sama, masih
sulit bagi kita untuk mendekati keadaannya. Kita membicarakan hal yang sama namun kita tidak sadar bahwa dimensi kita berbeda sama sekali
antar satu dan yang lainnya. Pernahkah kita merasakan jiwa kita tenang ?.
Karena sebab apakah jiwa kita tenang ?. Bagaimanakah keadaannya ?. Apakah kita
memiliki referensinya ?. Coba bangkitkan lagi keadaan saat diri kita mencapai
posisi iwa yang tenang, bisakah ?. Blegh..!. Tidak, ternyata tidak, kita
belum memiliki file nya. Kalaupun ada pastinya antara saya dan anda belum
tentu sama dimensinya.
Mari
kita perdalam lagi. Dalam setiap kajian, setiap khutbah, di majelis-majelis
dzikir dan dalam setiap kesempatan pengajian ibu-ibu dan lain-lainnya. Kita
senantiasa menyebutkan kata ini, “Jiwa Mutmainah.” Saking banyaknya disebutkan
maka kata ini a seringkali menjadi hanya sebatas slogan saja. Lewat dan
berlalu, ooh ya ya. Mengerti namun tidak tahu keadaannya. Semakin sering kita
sebutkan, bukannya akan semakin membuat kita paham keadannya, tapi justru
malahan sebaliknya, menjadi sesuatu yang biasa. Keadaan hal Jiwa Mutmainah,
seakan-akan jauh diawang-awang, sebagaimana keadaan surga yang tidak mampu kita
rasakan sensasinya di dunia ini.
Ketika
saya mencoba mencari referensinya dalam kesadaran saya, ternyata saya juga
belum pernah mendapatkan hal sebagaimana yang dimaksudkan sebagai Jiwa
Mutmainah. Kenapa bisa begitu ?. Baik, marilah kita jujur terhadap diri kita
sendiri. Kapan terakhir jiwa kita dalam puncak spiritual, dalam ketenangan
jiwa, ketenangan yang tidak menyisakan kegelisahan tersembunyi. (Yaitu)
Kegelisahan yang tersusun atas ketakutan akan kehilangan harta, kehilangan
anak, suami, istri, jabatan, pangkat, status, nama baik dan lain sebagainya.
Jujur saja, sering kali kita, tidak mengenali kegelisahan ini pada
saat posisi kita aman secara finansial dan saat keadaan diri kita dalam keadaan
tidak bermasalah. Rasanya kita jauh dari kegelisahan, semua serba ada, tidak
ada yang menakutkan kita sepertinya ketakutan tersebut sangat jauh dari
kita.
Namun bagaimana jikalau kita uji
sendiri. Mari kita coba bayangkan, bagaimana jika kita kehilangan semua milik
kita tersebut. Kehilangan ibu, kehilangan ayah, kehilangan kekasih, kehilangan
istri/suami, kehilangan pangkat, jabatan, mobil, rumah, dan lain sebagainya.
Paling mudah saja kehilangan pekerjaan dan penghasilan kita. Pendek kata
kehilangan sesesuatu yang paling kita cintai dan paling kita sayangi. Bagaimana
keadaan kita ?. Mampukah kita membayangkan keadan saat kita kehilangan itu
semua ?. Mampukah kita dalam keadaan tersebut ?. Mampu tenangkah kita ?.
Mari kita coba uji, dengan simulasi otak dan kesadaran kita saja.
Semakin dipikirkan maka nafas
kita akan memburu, terus semakin dalam, akan muncul hawa didada yang membuat
kita ‘pengap’ , kita kemudian gelisah, lama kelamaan kita mengalami ketakutan,
berharap jangan sampai hal tersebut terjadi. Ketakutan yang kemudian akan muncul
dipermukaan. Ketakutan tersebut lama kelamaan akan mencengkeram kita. Bahkan
akan mendekati paranoid jikakita terlambat menyadari keadaan diri kita.
Ketakutan muncul dipermukaan dan yang kemudian mengkristal. Inilah yang
saya maksudkan ketakutan tersembunyi.
Yakinlah, sesungguhnya kita semua
dalam keadaan seperti ini, yaitu keadaan dimana kita menyimpan ketakutan
(khauf) tersebunyi ini, sampai datang ujian dari Allah untuk menunjukan
keadaan diri kita sebenarnya. maka Allah dalam firmannya mengatakan,
” “”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
.“ “ (QS. 29:2).
Begitulah al qur an berkata. Nah,
apakah ada yang berani mencoba, menguji diri sendiri atas keadaan tersebut, menguji keadaan kita sendiri?. Adalah (yaitu) apa-apa
yang kita ucapkan pada saat kita sholat. Kenapakah kita tidak uji saja
sendiri, bagaimana keadaan keimanan kita ?. Apakah kita menunggu ujian dari
Allah, baru kemudian kita percaya, bahwa keadaan kita memang masih seperti ini
?. Jangan begitu, sekali-kali janganlah begitu !.
Semisal perkataan "Sholatku, ibadahku, hidupku,dan matiku, untuk Allah, Tuhan semesta alam ." Atau juga perkataan lainnya, "Saya termasuk orang yang berserah (Islam)." Benarkah perkataan kita itu, padahal pada setelah takbir kita mengucapkan perkataan tersebut. Maka silahkan benarkah apa yang kita perkatakan. Kita akan tahu jawabannya setelah kita uji.
Semisal perkataan "Sholatku, ibadahku, hidupku,dan matiku, untuk Allah, Tuhan semesta alam ." Atau juga perkataan lainnya, "Saya termasuk orang yang berserah (Islam)." Benarkah perkataan kita itu, padahal pada setelah takbir kita mengucapkan perkataan tersebut. Maka silahkan benarkah apa yang kita perkatakan. Kita akan tahu jawabannya setelah kita uji.
Itulah ternyata jika kita
singkapkan, ketenangan jiwa kita justru di bangun atas khauf (ketakutan)
tersembunyi. Ketakutan yang diwariskan dari kesadaran kolektif.
Ibarat air yang tenang menghanyutkan. Tenang diluar namun di dalam airnya deras
sekali. Dan spiritual kita adalah meng-eksplorasi wilayah ini, menguji diri
kita sendiri, menghilangkan ketakutan kita. Menguji lintasan hati, jangan
sampai ada ketakutan yang tersembunyi lagi. Sungguh
latihan yang berat, mendaki lagi sukar. Taka
apa, karena dengan
itu, kita nanti akan tahu keadaan diri kita, apakah benar perkataan kita
ataukah kita berdusta. Jangan sampai kita menunggu ujian dari
Allah. Baru kita sadar. Jangan, janganlah itu kita lakukan. Maka dengan
kalimat inilah, saya mengulang-ulangnya.
“Dan
sesungguhnya kami
telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah
mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta. “ (QS. 29:3).
Janganlah kita termasuk orang yang
menipu Allah dengan perkataan kita. Lihat saja, setiap saat, lima kali
sehari mengatakan, “Shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanya karena Allah Tuhan semesta Alam.”
Namun nyatanya apa yang di lakukan hanya demi uang, jabatan, dan nafsu kita
saja. Kita tetap saja ketakutan jika kehilangan harta, pangkat, jabatan dan
lain-lainnya. Maka dari itu, marilah kita uji dan kita kaji, fenomena keadaan
diri kita ini. Karena sebab sungguh kita sulit sekali lepas dari keadaan ini,
mungkin tidak hanya saya, dia, kita dan bahkan mereka, para kaum urban ibukota
pasti tengah dalam keadaan yang sama.
Afirmasi Berfikir
Meskipun sulit, meski jalan terjal
mendaki lagi sukar. Sebagai umat Islam kita meski berusaha dan berdoa selalu
memohon pengajaran-Nya. Semoga Allah ridho atas upaya kita ini. Inilah
pengharapan (Ar Raja).
Melalui pengharapan (Ar Raja) inilah
kita bangun afirmasi berfikir kita. Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Allah
yang berjanji akan mengajarkan kepada makhluk yang Dia ciptakan sendiri. Allah
yang akan menjadi pelindung kita, dan lain sebagainya. Dengan pengharapan
inilah kita bangun kontruksi kejiwaan kita, dengan semangat membaja atas hal
ini. Dikuatkan dalam akal, dalam kesadaran, dalam jiwa, hingga kedalam sel-sel
tubuh kita, sehingga hawa-hawa akan keluar dari dalam sel-sel tersebut terganti
dengan pengharapan (Ar Raja).
“Sesungguhnya yang perlu kita lakukan hanyalah ber hijrah , kita
bersiap waspada (berniat) untuk merubah posisi jiwa kita. Kita mencari
titik koordinat yang pas atas keadaan hal, yaitu keadaan berserah, yaitu bagaimana keadaan ber-Islam itu sendiri.
Jika sudah ketemu, kita tinggal mengikuti, mengapung, mengamati, keadaan
jiwa kita yang diperjalankan Allah. Merelakan diri dalam pengajaran
Allah. Hingga sampai kepada keadaan perjalanan mi’raj. Diam dalam hening
mengikuti diri yang diperjalankan-NYA. Praktis tidak ada yang kita lakukan
lainnya.”
Nah, kalau sudah sampai keadaan ini,
nyatanya tidak sulit bukan ?. Sederhana sekali. Makanya Islam itu mudah.
Siapapun orangnya, tidak memandang tingkat pendidikan, kaya atau miskin, pasti
akan mampu ber-Islam. Tinggal maukah dia ber-hijrah. Dari kegelapan menuju jalan yang
terang. Sebab keadaannya banyak jiwa yang menyukai keadaan lembam-nya, dia
engan berhijrah, sudah asyik disitu, inilah yang menyebabkan, sesuatu yang
sederhana menjadi begitu sulitnya.
Manusia cenderung menyukai sesuatu yang
sulit. Itulah dominasi akal kita. Akal selalu meremehkan hal-hal yang
sederhana dan mudah baginya. Akal tidak mau memasuki dari kesederhanaan.
Maka semakin berilmu manusia maka akan semakin besar hijab akal pada
dirinya. Akal akan menafikan hal yang terasa mudah
dan sederhana. Akal akan terus berputar-putar dengan
disiplin ilmu-ilmunya. Semakin sulit dan semakin canggih pemikirannya, maka akalakan merasa bangga
dengan keadaannya itu.
Maka lihatlah banyak sekali ayat Al qur
an yang menyitir kaum yang berilmu, yang bangga dengan ilmu-ilmunya. Ilmu yang
mereka sombongkan, tidak akan mampu menghantarkan dirinya kepada keadaan
berserah (Islam). Aneh bukan ?. Coba saja, akal selalu akan berdalih, beralasan apa
saja, jika disuruh berserah diri. Dirinya akan melakukan dengan cara nya
sendiri, dengan anggapannya sendiri. Dia akan tidak mau berserah kepada
kehendak-NYA. Akal tidak akan pernah mau berserah kepada
pengajaran-NYA. Akal selalu akan mengajari diri dan jiwa
kita. Akal tidak akan pernah membiarkan dirinya
diajari oleh Tuhannya. Begitulah keadaannya, maka sesuatu yang sederhana dan
mudah, menjadi berpilin-pilin dan rumit ditangan orang-orang yang berilmu yang
memuja akal
mereka.
Inilah awalnya, sebab ketakutan (khauf) biasanya bersumber dari sang akal kemudian syetan masuk meniupkan was-was kedalamnya. Sehingga keadaan kita akan
selalu dirundung rasa was-was saja. Kita tidak pernah tenang
menghadapi problematika, dan tekanan kehidupan di ibukota ini. Kita selalu
merasa khawatir, curiga, dan lain sebagainya. Maka waktu terasa begitu
cepatnya, hidup terus diburu kebutuhan-kebutuhan, hidup terus didera dan dipaksa
untuk terus berfikir mencari penghasilan lainnya untuk menutupi kebutuhan. Dan
seterusnya, dan lain sebagainya. Duh.
Oleh karena itu, penting sekali jika
kita memiliki pondasi pengharapan (Ar Raja). Allah Maha Pengasih dan Penyayang.
Dengan namanya kita berjalan dimuka bumi ini. Tidak ada rasa rasa takut dan
khawatir. Dia tempat kita bergantung. Sederhana dan simple sekali Islam
mengajari kita. Hanya kita perlu menguatkan (afirmasi) dalam proses berfikir
kita, kemudian membenamkannya kedalam kesadaran kita pengharapan (Ar Raja) ini.
Maka Ar Raja ini akan sedikit demi sedikit menggeser ketakutan kita kepada selain Allah. Mengeluarkan hawa tersebut
dari tubuh kita. Sehingga tubuh kita kemudian nyaman ditinggali jiwa kita.
Begitu sederhana bukan ?.
Jiwa Mutmainah
Kembali kepada pokok bahasan dimuka,
bagaimana dengan keadaan jiwa mutmainah ?. Kita sering menyamakan keadaan hal
jiwa mutmainah dengan keadaan jiwa yang tenang. Tenang dalam persepsi kita
tentunya. Maka apakah orang yang dalam keadaan tanpa masalah dapat
dikatagorikan kedalam makom jiwa yang tenang ?.
Apakah ketenangan jiwa diukur dari ketiadaan problematika hidup yang
mendamparnya. Jika orang tidak pernah ada masalah maka dialah orang yang sudah
menepati makom jiwa yang tenang. Begitu selintas persepsi kita. Apakah kalau
begitu lebih baik kita menghindari masalah ?. Atau kita lari saja dari masalah
?. Kita menyepi di gunung-gunung, kita menuju puncaknya yang tidak
ditinggali manusia. Apakah dengan begitu kita tidak akan mendapatkan masalah,
sehingga jiwa kita kemudian mampu tenang ?. Jika begitu keadaannya, maka
semua mansuia akan berbondong-bondong menjauhi dunia untuk mencapai keadaan
jiwa yang tenang yan dimaksudkan itu. Saya rasa Islam tidak mengajarkan begitu.
Jika kita menjelajahi peradaban dunia.
bagaimana kesadaran kolektif manusia (Min) dibangun, kita akan dapati
ksiah-kisah yang seperti kontrakdiktif. Sebut saja kisah Sidharta. Seorang anak
raja yang kaya, kehidupannya sedari kecil di jauhkan dari seluruh masalah. Dia
tidak boleh melihat kemiskinan, semua terjaga dan dijaga. Namun apakah yang
terjadi, bilakah jiwanya tenang ?. Tidak, jiwanya tidak tenang. Maka kemudian
dia mencari pencerahan, bertapa di bawah pohon Budhi. Banyak kisah
semisal dengan ini, yang diyakini menjadi jalan (dhien) bagi umat-umat
terdahulu untuk mencapai keadaan ketenangan jiwa.
Lain dengan Sidharta, lain dengan para
Rahib dan Pendeta. Banyak sekali upaya penyiksaan diri yang dilakukan. Mereka
menjauhi duniawi, mengharamkan yang tidak diharamkan. Mereka menganggap duniawi
adalah sumber masalah saja. Mereka kemudian melakukan kehidupan ‘rabanni’,
mereka mengharamkan kawin. Laku ini dalam keyakinan mereka akan mampu
menghantarkan kepada keadaan jiwa yang tenang. Mereka menganggap dengan itu
mereka akan dekat dengan Allah.
Banyak
sekali laku spiritual yang terserak dalam kearifan lokal. Upaya manusia untuk mencapai
keadaan jiwa yang tenang tidak putus-putusnya. Mereka semua berusaha mencari
jalan (dhien). Lihatlah, kejawen dengan seatribut laku yang harus dijalani,
belum lagi kearifan lokal Bali, Sundha, Toraja, Karo, dan lain sebaginya.
Semua suku-suku di tanah air ini, memiliki cara dan laku mereka. Mereka dnegan
kearifan lokal mereka, begitu juga anggapan kaum Kurais Mekah saat itu, mereka
dengan laku mereka memuja Latha dan Uzza. Tuhan mereka yang diharapkan akan
mampu mendekatkan diri mereka dengan Allah.
Jiwa
yang tenang, bila kita lihat keadaannya sebenarnya sudah inheren di dalam jiwa
kita sendiri, maka karena itu setiap jiwa manusia pasti akan mencari keadaan
hal nya untuk kemudian akan berusaha mendiami makom tersebut. Inilah fitrah
manusia. Karenanya tidak heran jika seluruh manusia tak terkecuali
kemudian mencari jalan mereka masing-masing. Kita tidak pernah akan mampu
menolak panggilan jiwa yang tenang ini. namun kesulitannya adalah bagaimana
keadaan sesungguhnya makom jiwa yang tenang tersebut ?. Sayangnya upaya ini
akhirnya hanyalah melahirkan klaim sepihak atas kebenaran jalan (dhien). semua
manusia merasa jalnnyalha yang benar yang lurus. Maka ributlah manusia disini,
saling serang dan baku hantam.
Padahal
Al qur an sudah sangat jelas sekali mengisyaratkan, bahwa manusia tidak akan
pernah mampu mencapai posisi keadaan hal jiwa yang tenang jika mereka tidak
berserah diri (Islam). Menyerahkan pengajarannya hanya kepada Allah. Posisi
jiwa tenang untuk setiap manusia hanya Allah saja yang tahu, sebab Dia yang
menciptakan manusia. maka serahkan urusan itu kepada Allah. Berserahlah, hanya
cukup berserah saja, selanjutnya adalah urusan Allah. Terimalah Allah
sebagai Tuhanmu. Serrahkanlah dirimu untuk diajari-Nya. Pesannya sangat
jelas dan tegas. Para nabi mengabarkan hal ini. Mereka memberi peringatan
kepada orang-orang yang tidak mau berserah bagaimana nanti akibatnya. Simple
dan sederhana.
Maka
keadaannya tidaklah serumit yang kita bayangkan. Jiwa yang tenang seharusnya
mampu kita dapatkan dimanapun status dan strata kita. Apapun posisi dan jabatan
kita. Sesibuk apapun diri kita. Sebanyak apapun masalah yang mendera kita.
Meskinya begitu. makanya Islam menganulir jalan-jalan (dhien) umat-umat
terdahulu. Ikutilah jalan Islam ini, jalan termudah, ter simple, jalannya para
nabi. Maka dimanapun dalam ketenangan jiwa, kita akan akan mampu
merasakan nikmat, sesungguhnya nikmat diantara problematika kehidupan kita ini.
Inilah jalannya orang yang diberikan nikmat. Yaitu jalannya orang yang selalu
mendapatkan nikmat dari setiap tetes kehidupan ini, dari seluruh aspek,
kesuksesan, kegagalan, ketakutan, kebahagiaan, kesedihan, kehilangan,
kesenangan, dan seluruh perguliran rahsa. Dia diatas semua rahsa dalam nikmat
diam dan heningnya. Wolohualam
Kajian
ini masih mengupas lebih jauh lagi keadaan jiwa mutmainah diselanjutnya..semoga
kajian ini akan akan mampu menghantarkan pemahaman hikmah bertasbih
bersama angin dan burung..bersambung.
salam
arif
Komentar
Posting Komentar