Kisah Spiritual 10, Berita Langit Berawan
Tanda akan di mulainya sebuah ‘kejadian’ yang
akan menggoreskan peradaban manusia yang tinggal di bumi Nusantara.
Bila sekarang ini ‘kebakaran’ banyak
melanda seantero Jakarta, maka kali berikutnya nanti. Banjir badang datang dari
mana-mana. Semisal air bah yang di timpakan kepada umat Nabi Nuh.
Mas Dikontole, tertunduk sedih. Matanya
berlinang air mata. Walau tidak sempat menetes, terasa agak mengganggu
pandangan matanya.
Bangsa ini adalah bangsa besar. Pernah ber jaya
pada masa nya. Kini hanya tinggal serpihan-serpihan kebanggaan semu, yang coba
di bangun dari kenistaan yang dibuat manusianya sendiri.
Kemana dendang lagu ‘nina bobok’ yang
menghantarkan tidur. Dendang yang menyatukan jiwa Ibu dengan anak-anaknya.
Semua telah sirna tergantikan ‘sinetron’ dan lainnya.
Jaman ini telah mendekati ‘titik nadir’nya.
Dimana alam akan mencari titik keseimbangan baru. Air akan membersihkan apa
saja. Manusia-manusia akan di ‘cuci bersih’. Mengapakah manusia tidak pernah
belajar, bagaimana saat Tsunami ?.
Manusia di peradaban ini, telah jauh dari titah
suci nya.
Gunung-gunung akan kembali mewartakan ‘berita’
yang di bawanya, tanah tanah akan terbuka mengeluarkan isinya.
“Duh, Jagad dewa batara, hamba terlahir untuk
menyaksikan ini semua. Mengapa harus hamba ?”
Pedih dan perih melilit tulang iga. Dan
menghujam di dada sebelah kiri diantara relung hati dan jantung.
Teringat bagaimana laku Ayahnya saat
memperjuangkan pondasi bagi lahirnya kesadaran yang akan mampu
menghantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Sungguh kisah yang sulit di
pahami di jaman ini.
Sang Ayah yang dengan tekad dan keyakinannya,
ingin mempertahankan ‘kesadaran leluhurnya’. Kesadaran yang tidak akan goyah di
terpa jaman edan ini.
Kisah panjang mesti dirunut , untuk keperluan
kajian dalam menguraikan sebuah kejadian. Buku yang sudah mulai lusuh penuh
coretan disana sini. Halaman demi halaman mulai di buka. Banyak diceritakan
perjuangan sang Ayah hingga mendapatkan banyak medali perjuangan. Pangkat
terakhir Letkol di tinggalkannya setelah Indonesia merdeka. Idealisme yang amat
rumit bila di ceritakan. Namun dari sinilah nampak mulai terbaca, arah kemana
sesungguhnya perjuangan itu harus di lakukan. Banyak sekali filosofi yang masih
sulit dimengerti. Bagaimana merdeka dalam filosofi jawa. Sebagaimana para
orang Jawa menghargai para leluhurnya para pendiri nusantara ini. Filosofi yang
sudah mulai langka di jaman ini. Kesetiaannya pada rangkaian ritual leluhur, ritual
jawa dengan balutan Islam. Dengan amat ketat di anutnya. Cita-citanya untuk
membangun Indonesia merdeka ternyata menggelegak bak kawah gunung berapi yang
aktif. Seperti bara api membakar apa saja. Begitu bicara Indonesia merdeka.
Bicara nusantara, nampak sekali ketegasan dalam setiap detail kalimatnya.
Dalam bagian lain di bukunya dikisahkan,
silsilah keluarga., nyaris tidak ada yang tahu. Jika keluarga ini masih sedarah
dengan para keluarga kerajaan Majapahit. Malahan jika di tinjau silsilahnya,
lebih dekat jalur keluarga ini, bila dibandingkan dengan ke keratonan
Jogjakarta . Apakah ini klaim Ayahnya saja..?. Sungguh tidak ada yang tahu. Mas
Dikontole hanya pun hanya menerima saja. Tanpa mempunyai
pretensi apapun. Dia lebih asyik membaca bagian berikutnya. Bagian dimana
laku-tapa brata sang Ayah, yang menginginkan terlahirnya kembali sang Satria
Piningit, atau apalah namanya dalam istilah kini, untuk melanjutkan kejayaan
para leluhurnya. Leluhurnya yang murni dari jalur KEN AROK, yang diharapkan
akan lahir di jaman sekarang ini.
Mas Dikontole terkesima membaca bagian ini.
Sampai sedemikian jauhkah pemikiran Ayah?. Malahan dia tidak tau itu semua.
Apakah itu mungkin?. Dengan rasa penasaran di bukanya lagi bagian demi bagian
dengan lebih serius. Apa yang bisa dikatakannya, selain bertasbih ’subhanalloh’. Demi
mewujudkan keinginannya itu, dia melakukan laku sebagaimana laku para
leluhurnya jaman dahulu. Bertapa kungkum di pertemuan laut dan sungai selama 6
bulan. Di daerah kalimanta. Hanya makan apa saja yang melewatinya. Bertapa di
bukit dan gunung, melakukan laku kubur diri dan lain sebagainya. Sungguh miris
untuk di ceritakan. Laku seorang Ayah untuk kesuksesan anaknya. Bukan hanya
satu dua hari, rata-rata di lakukan dalam hitungan bulan. Bagaimana itu
bisa..?. Apakah buku ini terlalu membesar-besakan ?.
Tak berpikir lama, kembali larut membaca bagian
berikutnya. Filosofi ’sepi ing pamrih dan sepi ing bundo’.
Benar-benar dilakoninya dengan sabar. Mas Dikontole jadi teringat bagaimana
masa kecil mereka, Ayahnya tidak pernah memegang uang sepeserpun di saku nya.
Kemana saja dia pergi hanya membawa uang untuk satu kali naik bus saja.
Dia tidak membawa lebih. Jika Ayahnya mendapatkan rejeki, dan ditengah jalan
ada yang meminta maka akan diserahkan semua yang ada, dia akan berjalan kaki
pulang ke rumah. Dengan tangan kosong. Kebisaaan Ayah yang waktu itu tak pernah
di mengerti. Hampir sepuluh tahun Ayahnya melakukan terikat model begini. Maka
menjadi jelas dalam ingatan Mas Dikontole, mengapa dari dahulu dia harus
berpindah kesana kemari. Tidak memiliki rumah satu pun, hingga Ayah nya
meninggal. Bisa dibayangkan jika ada orang yang meminta apa saja dari dirinya,
dan kebetulan dia memiliki maka pasti akan diserahkannya. Hidup dalam keadaan
sufi. Sufi dalam pemahaman dan filosofi Jawa.
Tak urung Mas Dikontole menangis, penuh
keharuan, hingga tak menyisakan suara, tertahan dan tersekat dalam
kerongkongan. Tak sanggup menguraikan lagi. Sekedar membayangkan pun sudah
tidak berani, bagaimana rasanya dan menderitanya sang Ayah. Melakukan itu
semua. Terdengar lirih Mas Dikontole, memanggil nama Ayahnya. Dalam
doanya kepada Tuhan, agar di selamatkan di alam sana . Luar biasa, sungguh
menggetarkan laku seorang Ayah untuk anaknya. Benar-benar melebihi pikiran
apapun dalam benaknya tentang sang Ayah.
Setelah membaca bagian-bagian yang penting dari
diary Ayahnya. Mas Dikontole, mulai sedikit memahami kenapa mendapat, restu
leluhurnya. Laku yang dilakukan sang Ayah demi baktinya kepada nusantara,
kepada generasi trah Majapahit jelas tak mungkin mampu dilakukan oleh
sembarangan orang. Berpuluh-puluh tahun melakukan laku dan tirakat seperti itu,
dari sungai beranjak ke sungai lainnya, dari satu gunung ke gunung, dari satu
pulau ke pulau lainnya telah dijajahinya. Tak perlu diceritakan betapa
Alam-alam liar yang tak terinjak kaki manusia, dikarenakan saking
angkernya, juga telah di datanginya, bahkan telah disambangi dan
ditinggalinya. Dari ujung timur sampai ujung barat Indonesia , dari utara
sampai selatan penjuru tanah air tak luput dari jajahannya. Tidak ada satu
jengkal tanah pun, wilayah Majapahit yang belum di datangi. Hanya demi
memperjuangkan dan menguraikan sebuah mimpi, kejayaan nusantara. Kembalinya
fajar di ufuk nusantara. Itulah semboyannya.
Jangan ditanya berapa tetes air mata dan duka
nestapa, menahan lapar dan dahaga. Membayangkan seorang manusia bertapa dikubur
dengan hanya kepala saja yang menyebul di permukaan saja. Mungkin orang sudah
mampu membayangkan betapa menderitanya. Mungkin tidak ada yang percaya.
Kalaupun percaya pasti orang akan menganggap sesuatu yang gila. Itulah
perjuangannya, demi cita-citanya melahirkan seorang anak yang akan mewarisi
kejayaan trah keluarganya.
Itulah sekelumit kisah tentang sang Ayah. Kini
Mas Dikontole, dihadapkan kepada realitas. Setelah dirinya berpetualang di
alam-alam ‘liar’ para danyang. Ilmu ‘ghaib’ yang dikeuasainya nya nyaris tanpa
arti ketika harus berbenturan dengan kebutuhan hidup dan kerasnya kehidupan
kota. Sungguh jikalau saja dia mau, alam ghaib telah menyediakan emas dan harta
kekayaan untuk dirinya dan seluruh keluarganya, yang tidak akan habis sampai
tujuh turunan. Namun semua itu di tolaknya. Tidak ada dalam syariat Islam,
mansuia di perbolehkan mengambil harta kekayaan tanpa bekerja. Tawaran ‘ghaib’
itu semua di tolaknya.
Langit teduh, awan mulai mengelap di seputar
langit Jakarta.
Tanda akan di mulainya sebuah ‘kejadian’ yang
akan menggoreskan peradaban manusia yang tinggal di bumi Nusantara.
Kembali ingatan Mas Dikontole di hadapkan atas
sebuah berita ‘ghaib’ yang tidak pernah dimengerti dan dimauinya. Apakah benar
demikian, dia sendiri pun nyaris tak peduli. Dia hanya di paksa untuk menjadi
saksi-NYA. Dan dia pun sudah sering protes kepada Tuhannya. Mengapa harus
dirinya ?. Bukan suatu hal yang mudah untuk menjadi ‘saksi’, konsekwensi dan
resiko yang mesti di tanggungnya tidaklah main-main. Jiwa raga nya nyaris
setiap saat harus bertempur dengan entitas dari alam ‘ghaib’. Setiap saat dia
seperti ‘ber olah raga’ hingga otot-otot dadanya mengeras bagai baja.
Kapankah selesai ‘tugas’nya ?, maka dia kembali
menatap awan yang semakin hari semakin bergulung-gulung di langit di atas kota
Jakarta.
wasalam
Komentar
Posting Komentar