Kisah Spiritual, Ketika Alam Ingin Berkisa
Mas Dikonthole berangkat dari rumah seperti
biasa, sehabis sholat subuh. Sudah sejak awal bulan mode transportasi motor
menjadi pilhannya, jika sebelumnya commuter lines, atau bus trans Jakarta.
Sekarang dirinya beralih ke motor, lebih praktis saja. Namun ternyata sama
saja, perjuangan yang membutuhkan keuletan yang prima, kesabaran yang luar
biasa untuk sampai di tempat ‘client’ seperti yang dijanjikannya.
Sudah 5 jam lamanya Mas Dikonthole bertengger
diatas motornya, menerobos kesana, menelikung kesini, mencoba menembus brikade
mobil dan motor. Kadang harus merayap diantara genangan, bahkan kadang juga
harus berenang bagai ayam yang terjebak kubangan. Sungguh perjuangan yang
menguras tenaga dan pikiran, dan menguji kesabaran. Namun bentangan air ada
dimana-mana. Sepanjang mata memandang hanya kerumunan mobil dan motor, ditengah
banjir bandang yang menerjang jalan-jalan arteri. Nampak dilihatnya yang
tersembul hanya kepala manusia (helm) yang menyemut. Jauhnya bias puluhan
kilometer terlihatnya.
Jakarta hari ini (17/1/13) lumpuh dikepung
banjir, adakah ini hanya sepenggal berita saja ?. Ugh. Bagi Mas Dikonthole yang
menjadi bagian dari keadaan situasi kejadian tersebut, (yang) saat itu
juga tengah bersama diantara manusia-manusia yang tengah terjebak banjir,
bukanlah hanya sekedar berita pagi atau sore saja. Dia saat sekarang ini tengah
menetapi diri bersama manusia-manusia lainnya. Bersama mereka, yang
sedang berjuang sekuat tenaga untuk keluar dari situasi tersebut, dialah saksi,
dia merasakan sendiri bagaimana rahsanya didalam situasi tersebut. Maka
informasi tersebut baik sekarang atau nanti adalahrealitas bagi Mas Dikonthole dan akan tetap begitu
keadaannya. Karenanya informasi ini baginya bukanlah sebuah berita lagi sudah menjadi keadaan hal. Sebab dia sudah menjadi bagiannya, dialah
saksi kejadiannya maka baginya berita itu adalah realitas.
Begitulah perumpamaan perbedaan realitas dan
ghaib. Adalah jelas sekali perbedaannya antara orang yang hanya
melihat, mendengar dan orang yang menjadi saksi kejadian. Semua orang bisa saja
bersaksi atas keadaan banjir, namun bagaimanakah kualitas kesaksian diantara
mereka ?. Yaitu orang yang hanya menonton di TV dan orang yang berada didalam
banjir itu sendiri. (Inilah perumpamaan yang selalu menjadi tema yang saya
usung dalam kajian-kajian). Kesaksian orang yang terjebak dan terkepung
banjir tentunya akan lebih bermakna.
Maka karenanya dalam setiap hal, diri
selalu berusaha menjadi saksi atas setiap kejadian, yang entah bagaimana
caranya, kejadian secara kebetulan selalu diperlihatkan-NYa pada
dirinya, tidak terkecuali banjir ini. Inilah keyakinan dalam pemahaman, maka
untuk inilah sesungguhnya hakaket manusia diturunkan ke dunia,
(yaitu) menjadi saksi-NYA dengan totalitas kesadaran seluruh instrument
ketubuhannya menjadi mata, menjadi telinga, menjadi satu dalam rahsa,
menjadi saksi atas kebesaran-Nya.
Berserah secara totalitas (Islam Kaffaf).
Berjalan dimuka bumi untuk menyaksikan kebesaran-NYA dengan totalitas rahsa.
Itulah hakekat yang diyakini Mas Dikonthole. Sehingga apa saja, yang
nampak dalam pandangannya, segala sesuatu yang diperlihatkan-NYA akan dia
saksikan dengan sepenuh hati, dengan kesadaran bahwa hakekatnya dirinya
hanyalah penyaksi saja atas seluruh rangkaian kejadian di alam semesta ini. Ditetapkan
dirinya dalam keyakinan hanya menjadi SAKSI-NYA. Sehingga kemudian diri menjadi
mampu mengatakan (bersaksi) bahwa, ‘Tiada Tuhan Selain Allah’. Inilah tekadnya.
Nah, semisal itulah kisah perjalan spiritual Mas
Dikonthole. Dia selalu berada pada saat kejadian, menjadi saksi atas suatu
keadaan yang kadang sulit sekali dimengerti dan dipahami oleh logika manusia
biasa. Mungkin bagi manusia lain menjadi sebuah berita ghaib. Sama halnya
dengan perumpamaan orang yang hanya melihat kejadian banjir di TV, atau orang
yang hanya mendengar berita dari radio saja. Atau mungkin orangyang hanya
selintas lewat dengar dari orang lainnya lagi. Mendengar entah dari orang
keberapa. Jika begini, meskipun mereka meyakini ada berita banjir, namun
keyakinan yang dibangun jelas tidak sama dengan keyakinan orang yang mengalami
sendiri kejadiannya. Inilah esensi yang terus dihantarkan, realitas dan ghaib.
Maka apakah sama keadaan orang yang tahu dengan
orang tidak tahu ?. Sangat jelas bedanya bukan ?. Maka kalau begitu berikutnya
akankah kita nanti mampu mengenali antara orang yang menjadi pelaku
(saksi) yaitu orang yang menjadi saksi dan mengerti dengan dan/atau orang yang
hanya melihat di TV dan/atau hanya mendengar di radio saja. Inilah yang menjadi
problematika, bagi seorang para pewarta. Banyak sekali manusia sulit membedakan
antara mana saksi yang benar dan mana yang saksi palsu. Orang cenderung tidak
percaya atas berita yang tidak pernah mampu dilihatnya. Sehingga orang tidak
mampu membedakan kebenaran itu sendiri.
Sesungguhnya mudah saja, perhatikan dari cara
bicaranya, mereka sama-sama mengetahui, meyakini, namun rasa mereka tidak sama,
cara menyampaikan beritanya juga tidak sama. Begitulah perumpamaan yang
terus ingin disampaikan. Keyakinan yang dihantarkan juga akan berbeda antara
orang yang memang berada ditempat kejadian dengan orang yang hanya katanya,
semisal orang yang hanya melihat di TV saja.
Demikianlah keadaannya, saat mana Mas Dikonthole
akan merangkai kejadian, atas fenomena alam yang tak biasa ini. Menguraikannya
agar menjadi bermakna bagi dirinya sendiri dan juga mungkin lainnya. Serta
kemudian membawakan beritanya, mewartakannya kepada manusia lainnya,
sebagai informasi pembanding. Kembalinya kepada sidang pembaca apakah
percaya ataukah tidak. Akan meyakininya atau tidak. Tidaklah penting pada hasil
akhirnya.
Sebab sesungguhnya hal itu bukan kapasitas Mas
Dikonthole, dirinya hanya pewarta, hanya pembawa berita. Menjadi penyampai berita
gembira dan berita peringatan bagi sesama, menjadi sebuah mata rantai, saling mengkhabarkan atas rangkaian
berita di alam semesta kepada lainnya dan lain-lainnya lagi. Sebagaimana
seperti itulah nanti keadaan kesadaran kolektif manusia dibangun,
dari khabar dan berita yang saling dipertukarkan. Membentuk dan mengkristal menjadi
sebuah kesadaran kolektif suatu kaum. Begitu agar kesadaran manusia senantiasa
terjaga di alam semesta ini.
Karenanya hakekat makna atas kisah-kisah ini
selanjutnya saya serahkan kepada kearifan pembaca untuk memaknainya. Bukan
untuk diperdebatkan. Sebab hanya orang yang berada ditempat kejadian saja
yang benar-benar tahu bagaimana kejadian dan situasinya dan juga bagaimana
rahsanya. Maka kisah ini akan menjadi sebuah rangkain kisah terbarukan, Kisah
Misteri dalam jalinan kisah Spiritual Mas Dikontholedalam menguak sebuah peradaban baru yang akan
lahir di nusantara ini. Sebuah Nusantara Baru. Menanti seorang pemimpin yang
akan segera lahir di bumi ini. Bersama kita menunggu, saya, aku, dia dan
lainnya lagi, bersama-sama alam semesta menunggu. Menunggu kesadaran suci,
bersih dari kekotoran duniawi tidak hanya dari korupsi. Semoga.
Sebab alam ingin diwartakan beritanya, agar
manusia mengetahui bagaimana keadaannya. Dengan harapanan keadaan alam yang
tersakiti sekarang ini, menjadi realitas bagai kesadaran manusia. Kemudian
mansuia lebih berempati kepada alam dan lingkungan sekitarnya. Alam meminta Mas
Dikonthole mewartakannya. Maka sudah tentu, alam sendiri yang membisikan
keadaannya, hingga Mas Dikonthole mampu meng-kisahkannya. Mengabarkannya
apa adanya. Dalam kisah-kisah spiritual. Perbincangan dengan alam, bertasbih
bersama angin, burung dan gunung-gunung. Semisal keadaan Jakarta sekarang ini.
Alam ingin menumpahkan ceritanya. Maka Mas Dikonthole tak sanggup menolak.
Terpaksa dengan berat hati, dia akan menyampaikan berita-beritanya. Meski
raganya yang rengkih terbanting-banting menahan rasa yang dihantarkan mereka.
Semoga kisah ni tidak sia-sia. Dan semoga juga tidak ada yang terluka hatinya
sebab kisah-kisahnya ini. Amin
Komentar
Posting Komentar