Kajian Iman, Menanggapi Berita Al qur an


Dan mereka berkata: "(Al qur an hanyalah) Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, (yang) diminta supaya dituliskan, maka  dibacakanlah dongengan itu kepadanya (Muhammad) setiap pagi dan petang". (QS. 25:5)

Betapa terpekurlah  diri menyadari teguran ini. Melangut lama sekali. Ayat ini secara jelas berkata kepada jiwa di dada ini. Jiwa yang terus saja ter-cover.  Dan aku-lah jiwa itu, salah satu diantara mereka yang disebutkan itu. Adalah jiwa-jiwa yang disapa dengan kata ganti ‘mereka’  oleh Al qur an. Bukan kepada jiwa lainnya, Al qur an ini berkata !.  Mengapa diri (kemudian) tidak bersedih ?!. Bukanlah lintasan hati kita sering berkata hal yang demikian, tanpa kita sadari masuk di alam kesadaran kita ?.

Kita sering tidak menyadari penggunaan kata ganti orang ketiga ini. Sehingga seakan-akan ayat ini hanya ditujukan kepada mereka kaum yang tidak beriman. Sehingga secara psikologis tidak berdampak bagi jiwa kita. Jiwa manusia akan selalu begitu. Jika suatu kalimat tidak ditujukan kepada diri kita secara langsung, maka jiwa kita tidak akan merespon. Tidak memberikan efek di badan kita. Seakan-akan ayat tersebut bukan diperuntukan kepada kita, agar kita mengambil hikmah kejadian dari kisah tersebut. Sudah sering kejadiannya begitu, kita sering gagal  memetik hikmahnya sebab pernyataan tersebut seakan-akan (tekstual) ditujukan kepada ‘mereka’ saja.

Padahal ayat ini justru bekerja sebaliknya. Ayat ini menegur kita kaum yang mengimani Al qur an, (yang) di dalam hatinya terlintas keraguan. Cobalah kita kaji,“Apakah ada gunanya ayat ini bagi kaum yang tidak beriman ?!.” Mereka sudah menyatakan tidak beriman, di maki dikatakan apapun maka mereka juga akan tetap tidak beriman !. Hati mereka telah meragukan seluruh isi Al qur an. Maka apakah ada gunanya ?. Ayat ini sama sekali tak akan membekas dan tak berefek kepada kaum yang ‘tidak beriman’. Maka jika kita tahu keadaan ini, kenapakah kita tidak berfikir jikalau ayat ini mungkin saja ditujukan kepada diri kita sendiri. Dengan mengambil kisah yang di analogikan  (perumpamakan) dalam kisah-kisah mereka ?.

Kembali menjadi pertanyaan mendasar, menjadi ironi tersendiri, jika kepada kita kaum yang mengimani Al qur an , ayat inipun justru tidak berdampak dan memberikan efek apa-apa, adakah yang salah ?!. Sungguh diri terus bertanya, kepada jiwa. Kenapa sampai tidak menyadari hal ini !.

Jika Al qur an tidak berefek kepada kaum yang ‘tidak beriman’ masih bisa dimengerti, namun jika tidak berefek juga kepada (kita) kaum yang ‘beriman’ ?.Bukankah hal ini patut kita pertanyakan, kepada diri kita masing-masing ?. Apakah di dalam hati kita sendiri meragukan ‘kebenaran’ firman Allah ?. Marilah kita telanjangi diri kita masing-masing. Suci lahir dan didalam batin. Tengoklah kedalam didalam jiwa ini. Adakah debu ‘kepalsuan’ yang masih melekat ?.Apakah kita masih menganggap bahwasanya Al qur an semisal dengan dongengan ?!.

Mari kita telusuri dan semoga diri kita tidak termasuk sebagaimana orang-orang yang di maksdukan di dalam firman ini ;

“…orang-orang kafir itu berkata: "Al-Qur'an ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu". (QS. 6:25)




Ayat semisal dengan itu, yaitu ayat yang menceritakan perihal sesuatu dengan menggunakan perumpamaan dan kata ganti orang ketiga, seharusnya kita anggap (seperti) sedang berkata kepada jiwa kita sendiri. (Maka) baru ayat ini akan berefek dan kemudian jiwa kita akan merespon dengan benar. Bukannya kemudian kita abaikan begitu saja !.

Kita seringkali menuduh orang lain kafir (ter-cover) hingga sampai lupa kepada jiwa kita sendiri. Sementara  keadaan diri kita sendiri seperti apa, seperti terlupa (?!). Kita (malah)  tidak pernah mau menengok keadaan diri kita sendiri. Seakan-akan apa yang disampaikan Al qur an hanyalah untuk orang lain saja. (Yaitu sebutan orang dengan kata ganti orang ketiga). Inilah ‘hal’ yang sulit diakui oleh jiwa kita.

Sehingga keadaannya,  ayat Al qur an hanya seakan-akan berada di awang-awang saja. Al qur an seakan-akan hanya menceritakan keadaan orang lain selain diri kita. Kita selalu memungkiri dan mengingkari bahwasanya jangkauan ayat-ayat Al qur an adalah untuk diri kita juga. Sebutan yang baik-baik selalu kita ambil namun sebutan yang jelek-jelek seakan-akan jauh dari keadaan diri kita (akhlak) kita. Kita selalu merasa dalam angan seperti itu. Begitulah psikologi manusia. Maunya selalu yang enak-enak, yang nyaman, dan karena anggapan seperti inilah, kemudian jiwa terlena. Tidak pernah berkaca.

Sebutan Kafir, Yahudi, Nasrani, Majusi dan lain-lainnya adalah sebuah perilaku akhlak yang di nisbatkan kepada manusia yang memiliki perilaku sebagaimana keadaan orang-orang tersebut. Adalah perilaku orang-orang yang kebetulan memeluk agama tersebut. Adalah sebuah pola berfikir, yang muncul dalam kesadaran mereka. Sehingga perilaku itu mungkin saja menjangkiti umat Islam itu sendiri. Maka bukanlah suatu hal yang aneh jika (kita)  umat Islam nampak dipermukaan memiliki perilaku sebagaimana yang disebut dengan sebutan-sebutan tersebut.  Tentunya hal ini, tanpa mereka sadari bahwa diri mereka memiliki perilaku yang demikian.

Umat Islam lebih berperilaku Yahudi dari orang Yahudi itu sendiri.
Umat Islam lebih berperilaku Nasrani daripada orang Narsrani itu sendiri.
Umat Islam lebih berperilaku Majusi daripada orang Majusi itu sendiri.
Orang islam berperilku kafir lebih daripada orang kafir itu sendiri.

Padahal orang Islam telah memiliki ilmu untuk mengetahui semua itu. Begitulah jebakan syetan.Inilah seharusnya yang meski kita waspadai, bukannya kita malahan terlena, dengan sebutan-sebutan yang dinisbatkan kepada orang ketiga yang banyak bertebaran di dalam Al qur an. Dan kemudian kita merasa aman dengan itu.

Sekali lagi ; Sebutan orang-orang ketiga tersebut adalah (lebih kepada) penisbatan perumpamaan perilaku dan akhlak  suatu kaum di dalam kehidupan mereka beragama. Seperti Tuhan beranak, mengubah dan mengotak-atik dan menjual ayat, menyembah Tuhan-tuhan tandingan, menduakan Allah, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu, lebih kepada perilaku akhlak manusia itu sendiri !.

Jika kesemuanya itu adalah perilaku akhlak maka bukan suatu hal yang tidak mungkin, jikalau perilaku itu melekat juga dalam perilaku akhlak (kita) umat Islam. Yaitu perilaku akhlak diri kita. (Maka) Perhatikanlah dalam kebiasaan dan perilaku diri kita sendiri. Misal, bagaimanakah perilaku kita, terhadap pekerjaan kita, terhadap anak dan istri kita, terhadap jabatan kita, terhadap kekuasan kita, terhadap ego kita, terhadap ilmu kita, terhadap cinta kita, terhadap gaya hidup kita, dll..dsb.

Nah, lihatlah bagaimana objek berfikir kita, saat terkini, berada dimanakah ?. Dalam memandang dinamika kehidupan kita sendiri. Bukankah objek berfikir kita  terus tersedot dan mengarah kepada keseharian kita saja. Objek berfikir kita tidak jauh dari harta, tahta dan wanita. Tidak jauh dari, pekerjaan, istri, anak, atasan, jabatan, kesenangan, ..dll..dsb.  Inilah dilematika kaum urban.  Maka karena sebab itu , kita sedikit sekali mengingat Allah. Jika kita jeli dengan kebiasaan kita, bukankah kesemuanya itu adalah sebuah perilaku alhak yang mengarah kepada menduakan Allah.

Ketika objek berfikir kita sudah tidak kepada Allah maka saat itulah kita tengah menduakan Allah. Begitulah perilaku dan akhlak orang-orang yang disebut di dalam Al qur an sebagai kafir, Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lain sebagainya. Bukankah kalau begitu ada kemungkinan diri kita akan terjatuh kedalam kehinaan seperti itu ?.

Maka dengan ini kita dapat menelanjangi diri kita sendiri, sudahkah kita menjauh dari perilaku tersebut. Yaitu perilaku orang-orang yang sering disebut dengan kata ganti orang ketiga di dalam Al qur an ?. Maka sebelum menunjuk orang lain, lebih baik mari kita menunjuk diri kita sendiri. Inilah isyarat dan hikmah dalam bahasa yang disampaikan Al qur an. Jnagan sampai ternyata kita sendirilah yang dimaksudkan di dalam ayat tersebut.

Memang keadaannya jiwa kita sendiri sering  tidak mampu memahami hakekat berita-berita yang disampaikan Al qur an.  Dalam hati muncul lintasan keraguan yang ketara sekali. Sesuatu lintasan hati (yang) seperti ‘tak percaya’. Lintasan yang ‘meragukan (atas) sesuatu (hal)  informasi yang kita terima. Lintasan ini sangat halus sekali. Lintasan yang ada dalam tataran jiwa. Namun ada, dan sangat kuat sekali mempengaruhi pola berikir kita. Sehingga kita tanpa sadar mengalihkan objek berfikir kita.  Inilah yang harus kita waspadai.

“Masak sih ?. Kok gitu ?. Kenapa bisa ?. Itu kan hanya dongengan cerita para nabi,  mana mungkin terjadi di saat terkini di jaman ini ?. Ah, itu hanyalah dongengan kisah mukjizat para nabi dahulu saja !.”.  Kalau Al qur an kemudian  menyoal orang kafir, kita akan menukas “Lha itukan mereka bukan kita ?!...dst..”  Ugh..!

Itulah lintasan hati, mempertanyakan apa saja, beralasan apa saja, membantah dengan cara apa saja. Tanpa kita sadari. Dan keadaan ini semakinmelenakan kita, saat ketika yang digunakan adalah kata ganti orang ketiga, dia, mereka, atau sebutan untuk orang ketiga yaitu, Kafir, Yahudi, Nasrani, Majusi atau lainnya. Sebutan tersebut seakan jauh dari kita. Dan karenanya seakan-akan kita umat islam terbebas dari jangkauan ayat-ayat tersebut.

Maka sering kita lihat, ada sekelompok umat islam lebih ‘Yahudi’ daripada orang Yahudi sendiri..dll. Mereka tidak pernah menyadari perilaku mereka sendiri. Sibuk dengan mencari-cari kesalahan orang lain, yang memang di tuliskan di dalam Al qur an. Lupa jika mereka sendiri (kita) berkelakuan sama dengan orang-orang yang (kita) mereka hujat.

Begitulah keadaan diri kita. Sayang kita tidak pernah menyadari. Cobalah tengok kedalam. Dan sungguh jiwa ini sekarang dalam keadaannya yang begitu. Saking halusnya lintasan ini, membuat kita tak pernah menyadari jika diri kita masih berada di dalam Susana ‘hal’ keadaan ini.

Cobalah ekplorasi jiwa kita masing-masing, (misal)  jika kepada kita di bacakan sebuah ayat (berita) Al qur an semisal dengan ini ;

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami.(Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud", dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (QS. 34:10)                             

Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi, (QS. 38:18)

dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masingnya amat ta'at kepada Allah. (QS. 38:19)

Cobalah sejujurnya, uji hati kita atas berita ini. Berita ini menjadi hanya sepenggal berita saja yang sudah berlalu. Akal fikiran dan jiwa kita lantas mengabaikan hikmah atas berita ini. Sebab kita meyakini bahwa berita ini semisal hanya dongengan saja.

Akal dan fikiran kita, bekerja melalui proses berfikir logis. Gunung dan burung yang bertasbih menjadi suatu berita yang ‘mushkil’, menjadi berita yang keluar dari tatanan kaidah berfikir kita. Sehingga berita ini akan diproses sebagai ‘spam’ di dalam otak kita. Berita akan diabaikan.  Hingga jiwa kita tidak mampu mengekplorasi ‘rahsa’, yaitu hakekat tasbih dari gunung dan burung. Hakekat dari tasbih alam semesta. Begitulah keadaannya.

Selanjutnya firman Allah kemudian dianggap sebagaimana berita biasa saja, yang enak dibaca bagai dongengan sebelum tidur. Tidak berefek di jiwa. Sesungguhnya, seharusnya jiwa sudah saatnya mampu mengatakan dengan sebuah keyakinan, atas perihal  berita tersebut, yaitu ;

Katakanlah: "Al-Qur'an itu diturunkan (Allah) Yang mengetahui segala rahasia di langit dan bumi. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. 25:6)

Sekali lagi, lihatlah kembali. Marilah kita sama-sama telanjangi jiwa kita. Apakah yang kita dapatkan ?. Ya, (ayat) berita Al qur an tersebut (ternyata) kita tempatkan di dalam folder ‘dongengan’ di dalam kesadaran kita. Seperti kisah-kisah para dewa-dewa jaman Yunani saja. Jika kita jujur terhadap diri kita. Maka kita akan dapati diri kita akan seperti itu. Dalam keadaan yang terus saja meragukan akan ‘kebenaran’ berita Al qur an. (Tanpa kita sadari sendiri, hanya orang-orang yang sering membaca lintasan hati akan memahami keadaan ini). Dikarenakan keadaan ini 'masuk' dalam dimensi kesadaran. Kesadaran yang mengkristal menjadi 'keyakinan' (IMAN).

Yah, kita mendengarkan berita Al qur an, sebagaimana mendengar sebuah dongengan, fantasi dan kisah-kisah fiksi lainnya. Cobalah eksplorasi saja, dan diri ini kemudian  (akan) mengakui, “Sebab akulah salah satu dari mereka itu !. ” Al qur an telah menelanjangi ‘hijab’ diri ini. Mengapakah diri tidak menangis karena kebodohan selama ini ?.

Hati kemudian ‘merinding’, jika keadaan umat Islam sebagaimana keadaan diri ini, bagaimana mereka semua memiliki kekuatan iman ?. Benar, sunguh benar sekali umat Islam hanya semisal buih di lautan. Mudah saja terbawa gelombang arus pasang. (yang) dengan sendirinya, mudah saja,  membuyar tersapu angin muson.
Duh,

Bagaimanakah kita kemudian mampu meyakini, dan menetapi, sehingga ayat-ayat Allah mampu ber efek didalam jiwa kita. Sehingga Al qur an tidak menjadi sekedar dongengan saja. Bagaimanakah  kita  mampu menjadi saksi kebenaran ayat-ayat Al qur an. Menjadi saksi bahwasanya benar gunung dan burung mampu bertasbih bersama Daud as. Mampukah diri kita bertasbih bersama gunung dan burung-burung ?. Inilah renungan yang akan menjadi kajian selanjutnya. Semoga Allah merahmati dan meridhoi. Amin.


Salam
arif


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali