Kajian Iman, Menanggapi Berita Al qur an
Betapa terpekurlah diri menyadari teguran ini. Melangut
lama sekali. Ayat ini secara jelas berkata kepada jiwa di dada ini. Jiwa yang
terus saja ter-cover. Dan aku-lah jiwa itu, salah satu diantara mereka
yang disebutkan itu. Adalah jiwa-jiwa yang disapa dengan kata ganti
‘mereka’ oleh Al qur an. Bukan kepada jiwa lainnya, Al qur an ini berkata
!. Mengapa diri (kemudian) tidak bersedih ?!. Bukanlah lintasan hati kita
sering berkata hal yang demikian, tanpa kita sadari masuk di alam kesadaran
kita ?.
Kita sering tidak menyadari penggunaan kata ganti orang
ketiga ini. Sehingga
seakan-akan ayat ini hanya ditujukan kepada mereka kaum yang tidak beriman.
Sehingga secara psikologis tidak berdampak bagi jiwa kita. Jiwa manusia akan
selalu begitu. Jika suatu kalimat tidak ditujukan kepada diri kita secara
langsung, maka jiwa kita tidak akan merespon. Tidak memberikan efek di badan
kita. Seakan-akan ayat
tersebut bukan
diperuntukan kepada kita, agar kita mengambil hikmah kejadian dari kisah
tersebut. Sudah sering kejadiannya begitu, kita sering gagal memetik
hikmahnya sebab pernyataan tersebut
seakan-akan (tekstual) ditujukan kepada ‘mereka’ saja.
Padahal ayat ini justru bekerja sebaliknya. Ayat ini menegur
kita kaum yang mengimani Al qur an, (yang) di dalam hatinya terlintas keraguan. Cobalah kita
kaji,“Apakah ada gunanya ayat ini bagi
kaum yang tidak beriman ?!.” Mereka
sudah menyatakan tidak beriman, di maki dikatakan apapun maka mereka juga akan
tetap tidak beriman !. Hati
mereka telah meragukan seluruh isi Al qur an. Maka apakah ada gunanya ?. Ayat
ini sama sekali tak akan membekas dan tak berefek kepada kaum yang ‘tidak beriman’. Maka jika kita
tahu keadaan ini, kenapakah kita tidak berfikir jikalau ayat ini mungkin saja ditujukan kepada diri kita
sendiri. Dengan mengambil kisah yang di analogikan (perumpamakan) dalam
kisah-kisah mereka ?.
Kembali menjadi pertanyaan mendasar, menjadi ironi
tersendiri, jika kepada kita kaum yang mengimani Al qur an , ayat inipun justru tidak berdampak dan memberikan
efek apa-apa, adakah yang salah ?!. Sungguh diri terus bertanya, kepada jiwa.
Kenapa sampai tidak menyadari hal ini !.
Jika Al qur an tidak berefek kepada kaum yang ‘tidak beriman’ masih bisa dimengerti, namun jika tidak berefek juga kepada (kita) kaum yang ‘beriman’ ?.Bukankah
hal ini patut kita pertanyakan, kepada diri kita masing-masing ?. Apakah
di dalam hati kita sendiri meragukan ‘kebenaran’ firman Allah ?. Marilah kita telanjangi diri kita
masing-masing. Suci lahir dan didalam batin. Tengoklah kedalam didalam jiwa
ini. Adakah debu ‘kepalsuan’ yang masih melekat ?.Apakah kita masih menganggap bahwasanya Al
qur an semisal dengan dongengan ?!.
Mari kita telusuri dan semoga diri kita tidak termasuk
sebagaimana orang-orang yang di maksdukan di dalam firman ini ;
“…orang-orang kafir itu berkata: "Al-Qur'an ini tidak
lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu". (QS.
6:25)
Ayat semisal dengan itu, yaitu ayat yang menceritakan perihal
sesuatu dengan menggunakan perumpamaan dan kata ganti orang ketiga, seharusnya
kita anggap (seperti) sedang berkata kepada jiwa kita sendiri. (Maka) baru ayat
ini akan berefek dan kemudian jiwa kita akan merespon dengan benar. Bukannya
kemudian kita abaikan begitu saja !.
Kita seringkali menuduh
orang lain kafir (ter-cover) hingga sampai lupa kepada jiwa kita sendiri.
Sementara keadaan diri kita sendiri seperti apa, seperti terlupa (?!).
Kita (malah) tidak pernah mau menengok keadaan diri kita sendiri.
Seakan-akan apa yang disampaikan Al qur an hanyalah untuk orang lain saja.
(Yaitu sebutan orang dengan kata ganti orang ketiga). Inilah ‘hal’ yang sulit diakui
oleh jiwa kita.
Sehingga keadaannya, ayat Al qur an hanya seakan-akan
berada di awang-awang saja. Al qur an seakan-akan hanya menceritakan keadaan
orang lain selain diri kita. Kita selalu memungkiri dan mengingkari bahwasanya
jangkauan ayat-ayat Al qur an adalah untuk diri kita juga. Sebutan yang
baik-baik selalu kita ambil namun sebutan yang jelek-jelek seakan-akan jauh
dari keadaan diri kita (akhlak) kita. Kita selalu merasa dalam angan seperti
itu. Begitulah psikologi manusia. Maunya selalu yang enak-enak, yang nyaman,
dan karena anggapan seperti inilah, kemudian jiwa terlena. Tidak pernah berkaca.
Sebutan Kafir, Yahudi, Nasrani, Majusi dan lain-lainnya
adalah sebuah perilaku akhlak yang di nisbatkan kepada manusia yang memiliki
perilaku sebagaimana keadaan orang-orang tersebut. Adalah perilaku orang-orang
yang kebetulan memeluk agama tersebut. Adalah sebuah pola berfikir, yang muncul
dalam kesadaran mereka. Sehingga perilaku itu mungkin saja menjangkiti umat
Islam itu sendiri. Maka bukanlah suatu hal yang aneh jika (kita) umat
Islam nampak dipermukaan memiliki perilaku sebagaimana yang disebut dengan
sebutan-sebutan tersebut. Tentunya hal ini, tanpa mereka sadari bahwa
diri mereka memiliki perilaku yang demikian.
Umat Islam lebih
berperilaku Yahudi dari orang Yahudi itu sendiri.
Umat Islam lebih
berperilaku Nasrani daripada orang Narsrani itu sendiri.
Umat Islam lebih
berperilaku Majusi daripada orang Majusi itu sendiri.
Orang islam berperilku
kafir lebih daripada orang kafir itu sendiri.
Padahal orang Islam
telah memiliki ilmu untuk mengetahui semua itu. Begitulah jebakan syetan.Inilah
seharusnya yang meski kita waspadai, bukannya kita malahan terlena, dengan
sebutan-sebutan yang dinisbatkan kepada orang ketiga yang banyak bertebaran di dalam
Al qur an. Dan kemudian kita merasa aman dengan itu.
Sekali lagi ; Sebutan orang-orang
ketiga tersebut adalah (lebih kepada) penisbatan perumpamaan perilaku dan
akhlak suatu kaum di
dalam kehidupan mereka
beragama. Seperti Tuhan beranak, mengubah dan mengotak-atik dan menjual ayat,
menyembah Tuhan-tuhan tandingan, menduakan Allah, dan lain sebagainya.
Kesemuanya itu, lebih kepada perilaku akhlak manusia itu sendiri !.
Jika kesemuanya itu adalah perilaku akhlak maka bukan suatu hal yang tidak
mungkin, jikalau perilaku itu melekat juga dalam perilaku akhlak (kita) umat
Islam. Yaitu perilaku akhlak diri kita. (Maka) Perhatikanlah dalam kebiasaan
dan perilaku diri kita sendiri. Misal, bagaimanakah perilaku kita, terhadap
pekerjaan kita, terhadap anak dan istri kita, terhadap jabatan kita, terhadap
kekuasan kita, terhadap ego kita, terhadap ilmu kita, terhadap cinta kita,
terhadap gaya hidup kita, dll..dsb.
Nah, lihatlah bagaimana
objek berfikir kita, saat terkini, berada dimanakah ?. Dalam memandang dinamika
kehidupan kita sendiri. Bukankah objek berfikir kita terus tersedot dan
mengarah kepada keseharian kita saja. Objek berfikir kita tidak jauh dari
harta, tahta dan wanita. Tidak jauh dari, pekerjaan, istri, anak, atasan,
jabatan, kesenangan, ..dll..dsb. Inilah dilematika kaum urban. Maka karena sebab itu , kita sedikit sekali mengingat Allah.
Jika kita jeli dengan kebiasaan kita, bukankah kesemuanya itu adalah sebuah
perilaku alhak yang mengarah kepada menduakan Allah.
Ketika objek berfikir kita sudah tidak kepada Allah maka saat
itulah kita tengah menduakan Allah. Begitulah perilaku dan akhlak orang-orang
yang disebut di dalam Al qur an sebagai kafir, Yahudi, Nasrani, Majusi, dan
lain sebagainya. Bukankah kalau begitu ada kemungkinan diri kita akan terjatuh
kedalam kehinaan seperti itu ?.
Maka dengan ini kita
dapat menelanjangi diri kita sendiri, sudahkah kita menjauh dari perilaku
tersebut. Yaitu perilaku orang-orang yang sering disebut dengan kata ganti
orang ketiga di dalam Al qur an ?. Maka sebelum menunjuk orang lain, lebih baik
mari kita menunjuk diri kita sendiri. Inilah isyarat dan hikmah dalam bahasa
yang disampaikan Al qur an. Jnagan sampai ternyata kita sendirilah yang
dimaksudkan di dalam ayat tersebut.
Memang keadaannya jiwa kita
sendiri sering tidak mampu memahami hakekat berita-berita yang
disampaikan Al qur an. Dalam hati muncul lintasan keraguan yang ketara
sekali. Sesuatu lintasan hati (yang) seperti ‘tak
percaya’. Lintasan yang ‘meragukan (atas) sesuatu (hal) informasi yang
kita terima. Lintasan ini sangat halus sekali. Lintasan yang ada dalam tataran
jiwa. Namun ada, dan sangat kuat sekali mempengaruhi pola berikir kita.
Sehingga kita tanpa sadar mengalihkan objek berfikir kita. Inilah
yang harus kita waspadai.
“Masak
sih ?. Kok gitu ?. Kenapa bisa ?. Itu kan hanya dongengan cerita para nabi,
mana mungkin terjadi di saat terkini di jaman ini ?. Ah, itu hanyalah
dongengan kisah mukjizat para nabi dahulu saja !.”.
Kalau Al qur an kemudian menyoal orang kafir, kita akan menukas “Lha
itukan mereka bukan kita ?!...dst..” Ugh..!
Itulah lintasan hati,
mempertanyakan apa saja, beralasan apa saja, membantah dengan cara apa saja.
Tanpa kita sadari. Dan keadaan ini semakinmelenakan kita, saat ketika yang digunakan adalah kata ganti orang
ketiga, dia, mereka, atau sebutan untuk orang ketiga yaitu, Kafir, Yahudi,
Nasrani, Majusi atau lainnya. Sebutan tersebut seakan jauh dari kita. Dan
karenanya seakan-akan kita umat islam terbebas dari jangkauan ayat-ayat
tersebut.
Maka sering kita lihat,
ada sekelompok umat islam lebih ‘Yahudi’ daripada orang Yahudi sendiri..dll.
Mereka tidak pernah menyadari perilaku mereka sendiri. Sibuk dengan
mencari-cari kesalahan orang lain, yang memang di tuliskan di dalam Al qur an.
Lupa jika mereka sendiri (kita) berkelakuan sama dengan orang-orang yang (kita)
mereka hujat.
Begitulah keadaan diri kita. Sayang kita tidak pernah
menyadari. Cobalah tengok kedalam. Dan sungguh jiwa ini sekarang dalam
keadaannya yang begitu. Saking halusnya lintasan ini, membuat kita tak pernah
menyadari jika diri kita masih berada di dalam Susana ‘hal’ keadaan ini.
Cobalah ekplorasi jiwa kita masing-masing, (misal) jika
kepada kita di bacakan sebuah ayat (berita) Al qur an semisal dengan ini ;
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari
Kami.(Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah
berulang-ulang bersama Daud", dan Kami telah melunakkan besi untuknya,
(QS. 34:10)
Sesungguhnya
Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu
petang dan pagi, (QS. 38:18)
Cobalah sejujurnya, uji
hati kita atas berita ini. Berita ini menjadi hanya sepenggal berita saja yang
sudah berlalu. Akal fikiran dan jiwa kita lantas mengabaikan hikmah atas berita
ini. Sebab kita meyakini bahwa berita ini semisal hanya dongengan saja.
Akal dan fikiran kita, bekerja melalui proses berfikir logis.
Gunung dan burung yang bertasbih menjadi suatu berita yang ‘mushkil’, menjadi berita yang
keluar dari tatanan kaidah berfikir kita. Sehingga berita ini akan diproses
sebagai ‘spam’ di dalam otak kita. Berita akan
diabaikan. Hingga jiwa kita tidak mampu mengekplorasi ‘rahsa’, yaitu
hakekat tasbih dari gunung dan burung. Hakekat dari tasbih alam
semesta. Begitulah keadaannya.
Selanjutnya
firman Allah kemudian dianggap sebagaimana berita biasa saja, yang enak dibaca
bagai dongengan sebelum tidur. Tidak berefek di jiwa. Sesungguhnya, seharusnya
jiwa sudah saatnya mampu mengatakan dengan sebuah keyakinan, atas perihal berita tersebut,
yaitu ;
Sekali
lagi, lihatlah kembali. Marilah kita sama-sama
telanjangi jiwa kita. Apakah yang kita dapatkan ?. Ya, (ayat) berita Al qur an
tersebut (ternyata) kita tempatkan di dalam folder ‘dongengan’ di dalam kesadaran kita. Seperti
kisah-kisah para dewa-dewa jaman Yunani saja. Jika kita jujur terhadap diri
kita. Maka kita akan dapati diri kita akan seperti itu. Dalam keadaan yang
terus saja meragukan akan ‘kebenaran’ berita Al qur an. (Tanpa kita sadari
sendiri, hanya orang-orang yang sering membaca lintasan hati akan memahami
keadaan ini). Dikarenakan keadaan ini 'masuk' dalam dimensi kesadaran.
Kesadaran yang mengkristal menjadi 'keyakinan' (IMAN).
Yah, kita mendengarkan berita Al qur an, sebagaimana
mendengar sebuah dongengan, fantasi dan kisah-kisah fiksi lainnya. Cobalah
eksplorasi saja, dan diri ini kemudian (akan) mengakui, “Sebab akulah salah satu dari mereka itu !.
” Al qur an telah
menelanjangi ‘hijab’ diri ini. Mengapakah
diri tidak menangis karena kebodohan selama ini ?.
Hati kemudian
‘merinding’, jika keadaan umat Islam sebagaimana keadaan diri ini, bagaimana
mereka semua memiliki kekuatan iman ?. Benar, sunguh benar sekali umat Islam
hanya semisal buih di lautan. Mudah saja terbawa gelombang arus pasang.
(yang) dengan sendirinya, mudah saja, membuyar tersapu angin muson.
Duh,
Bagaimanakah
kita kemudian mampu meyakini, dan menetapi, sehingga ayat-ayat Allah mampu ber
efek didalam jiwa kita. Sehingga Al qur an tidak menjadi sekedar dongengan
saja. Bagaimanakah kita
mampu menjadi saksi kebenaran ayat-ayat Al qur an. Menjadi saksi
bahwasanya benar gunung dan burung mampu bertasbih
bersama Daud as. Mampukah
diri kita bertasbih bersama gunung dan burung-burung ?. Inilah renungan yang akan menjadi
kajian selanjutnya. Semoga Allah merahmati dan meridhoi. Amin.
Salam
arif
Komentar
Posting Komentar