Kajian Ilmu, Menyingkap Rahasia Ilmu Laduni (Akherat)
Pengantar : Rahasia ahli kitab
yang mampu memindahkah kursi Ratu Bilkis sebagaimana di kisahkan Al
qur an hingga kini masih merupakan misteri. Menimbulkan tanda tanya besar dan
spekulasi tersendiri bagi kalangan umat Islam. Apakah ilmu tersebut hanya
dongengan saja ?. Ataukah ilmu tersebut masih bertahan hingga kini. Al qur an
pasti tidak mungkin memberitakan , jikalau hanya sekedar sebuah dongengan
pengantar tidur saja. Pasti ada rahasia yang sangat besar di balik pengungkapan
berita tersebut. Apapun yang diberitakan Al qur an adalah sebuah
kepastian, hukum sunatulloh, yang berlaku dari dahulu, kini, hingga
nanti. Meliputi seluruh peradaban manusia dan alam semesta. Jadi
logikanya ilmu tersebut pasti masih ada dalam kesadaran umat manusia hingga
kini. Namun siapa yang memiliki ilmu tersebut ?. Dan sebenarnya rahasia
apa (hikmah) yang diajarkan Allah kepada orang tersebut. Apakah yang di
maksud dengan hikmah dari kitab-kitab-Nya ?. Sehingga
(ketika) seseorang telah mampu memahami hikmah dari kitab-kitab-Nya, orang
tersebut akan memiliki kemampuan luar biasa. Bagaimanakah cara menyingkapkannya.
Banyak sekali kajian yang mencoba mengungkapkannya, dengan segala wahana yang
di tawarkan. Kajian ini mencoba memberikan pembanding bagi kajian-kajian
lainnya. Memberikan alternatif pemikiran. Bagaimana seharusnya kita
menyikapi berita (kisah) Al qur an tersebut ?.
Mengkaji Ilmu Laduni
Banyak sudah kajian yang membahas perihal Ilmu
Laduni ini. Ada sebagian orang yang menghubungkan ilmu ini dengan kekuatan
ghaib, karomah, kesaktian dan lain sebagainya. Ada lagi yang percaya bahwa
orang yang memiliki ilmu ini akan memiliki kemampuan membuka
berita-berita ghaib. Sehingga orang yang memiliki ilmu ini akan
mampu meramalkan kejadian yang bakalan terjadi, sebagaimana yang di
isyaratkan dalam hikayat nabi Khidir. Karenanya, orang kemudian percaya dan
meyakini bahwa ilmu ini hanyalah milik para nabi dan para wali
saja.
Ilmu Laduni telah di persepsikan, dikontruksikan
sedemikian rupa, berkaitan dengan karomah dan lainnya, sehingga jika kemudian
ada orang yang mengaku memiliki kemampuan mendekati persepsi ini, maka orang
tersebut akan di puja-puja bagai orang sakti, sebagaimana orang
yang dianggap setingkat para wali. Begitu terpesonanya manusia melihat
kehebatan yang dipertunjukannya. Sehingga mereka lupa bahwa bukan itu hakekat
Ilmu Laduni. Kehebatan Ilmu Laduni yang disangkakan akhirnya menjadi tujuan
para pemuja ilmu. Sebuah ironi atas ilmu, jika ada permintaan maka ada
penawaran begitulah hukumnya. Ketika orang tergila-gila dengan ilmu tersebut,
maka ada sebagian orang lainnya yang melakukan klaim bahwa dirinya telah
memiliki ilmu yang dimaksud. Seperti semut bertemu gula, begitulah keadaannya.
Pemilik ilmu kemudian dikerumuni, di puja di perlakukan bak raja, titahnya
adalah titah sang pendito ratu. Maka bermuncullah orang-orang yang mengaku aku
telah memiliki ilmu Laduni dan bahkan katanya mampu mengajarkan ilmu tersebut.
Munculah fenomena para dukun yang berkolaborasi dengan para jin,
mengaku memiliki ilmu Laduni, biar semakin laris dagangan mereka
karena dianggap wali atau orang tua sakti.
Ilmu Laduni biasa juga di sebut dengan Ilmu
Hikmah adalah Ilmu Hati. Pada awalnya, Ilmu ini lebih banyak
membicarakan perihal penyingkapan hati, teori tentang Dzauk (rahsa) dan Kasyaf.
Jika hati sudah bening maka jiwa diharapkan akan mampu membaca dan
menangkap kehendak-kehendak Allah. Bahkan sampai kepada membaca Lauh Mahfudz.
Dalam dimensi inilah kemudian orang sering menyalah gunakan pemahaman atas ilmu
ini. Orang-orang yang tergila-gila ilmu ini, mengklaim dirinya telah melihat
Lauh Mahfud. Dia meng klaim telah membaca apa yang tersurat ataupun
tersirat, mampu menguraikan hikmah kata perkata bahkan setiap huruf dari Al qur
an. Mampu menguraikan hikmah tiap surah dan ayat yang berhubungan dengan
kekayaan, kesaktian, kekuatan dan lain-lainnya. Setiap surah kemudian di urai
menjadi obat bagi siapa saja yang sakit dan membutuhkan bantuan. Pendek kata
ayat-ayat Al qur an dan setiap hurufnya dijadikan komediti yang dapat di jual
belikan sesuai dengan kebutuhan manusianya. Sungguh hal yang menimbulkan bahaya
tersendiri bagi bagi orang yang tidak lurus hatinya.
Rosululloh mengingatkan kepada kita agar
berhati-hati terhadap orang yang mengaku-aku memiliki Ilmu Hikmah (Laduni).
Berkata Aisyah ra bahwa Rosululloh setelah membaca Surah Ali Imron ayat 7; “Jika
kamu melihat orang-orang bermujahadah tentang itu (mencari takwil perihal
ayat-ayat mustasyabihat) maka itulah orang-orang yang dimaksud Allah, (orang
yang akan menimbulkan fitnah) maka jauhilah mereka†(Riwayat Imam
Ahmad). Riwayat ini di kuatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ibn Jarir.
Banyak sekali ayat yang tidak seharusnya di
takwilkan, dan memang akan sulit di takwilkan. Sebab banyak dimensinya, salah
satunya adalah berada dalam dimensi rahsa, misal kata cinta, kasih
sayang, ikhsan, takwa, syukur, iman, dan lain-lainnya. Kata tersebut hanya akan
mampu dipahami jika kita sudah berada dalam keadaan hal yaitu suasananya. Maka
jika seseorang ingin mengetahui bagaimanakah keadaan rahsa cinta kepada Allah
misalnya, maka orang tersebut harus memasuki dimensi rahsa. Jika hanya diuraikan
melalui akal dan logika, melalui perbendaharaan kata-kata manusia, maka kita
tidak akan mampu mendapatkan keadaan hal (suasana) sebagaimana yang dimaksud
oleh kata cinta itu sendiri.
Semisal buah jeruk, kita tidak akan mampu
mendapatkan referensi utuh perihal jeruk, jika kita tidak mendapatkan realitas
buah itu sendiri. Jika kita sudah menemukan realitas jeruk maka
karenanya, kita pun dengan sendirinya, menjadi mampu berada dalam
suasana, keadaan, kondisi, hal siap menerima makna hakekat jeruk selanjutnya yang
masuk kedalam kesadaran kita, karena kita sudah memiliki referensinya
(realitasnya).
Jika kita masuk kedalam realitas dimensi keadaan
hal (suasana) hakekat sebagaimana keadaan jeruk itu sendiri, secara
bulat, baik dalam realitasnya maupun dalam dimensi rahsanya, dan oleh karenanya
kita kemudian memiliki pengetahuan tentang hal ikhwal perihal buah jeruk
tersebut dengan benar dan utuh,sehingga kita mampu menjadi yakin
yakinnya, tanpa ada ruang yang menyisakan keraguan sedikitpun di
dalam dada kita, maka oleh sebab karena keyakinan ini, jikalau
ada pembantah meskipun sang pembantah mampu membalikan gunung sekalipun,
keyakinannya akan tetap tidak akan tergoyahkan. Dia akan tetap pada
pendiriannya bahwa hakekat jeruk yang benar adalah yang
sebagaimana realitas dalam kesadarannya itu. Maka (ketika) kita
berada dalam pengamatan ini, dalam suasana kondisi seperti ini maka secara
tidak langsung, kita tengah berada di dalam bagian dari Ilmu
Laduni itu sendiri. Inilah yang ingin saya sampaikan.
Hakekat Ilmu Laduni
Dalam pemahaman saya hakekat Ilmu Laduni sendiri
adalah sama saja dengan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu yang dipelajari melalui
pemahaman empiris. Hakekat Ilmu Laduni menurut saya, adalah Ilmu
yang akan menghantarkan kepada seseorang kepada keyakinanya, ilmu yang mampu
menyingkapkan hijab hati atas sesuatu, sehingga nampaklah baginya kebenaran
itu. Kebenaran itu yang kemudian akan menjelaskan sendiri bagaimana
keadaannya. Selanjutnya, jika kebenaran sudah diketahuinya dengan hak maka
munculah keyakinan utuh, dimana dalam hatinya tidak menyisakan ruang untuk
keraguan sedikitpun. Dengan kata lain Ilmu Laduni adalah Ilmu yang di gunakan
untuk menambah keyakinan seseorang dari keyakinannya yang ada sebelumnya.
Menambah kuat keimanan dari keimanan yang penuh keraguan. Sebab kebenaran itu
sendiri yang akan berkata kepadanya. Sehingga pada saatnya nanti kesadaran
orang tersebut akan sampai kepada/di posisi kearifan tertinggi sebagai manusia.
Sesungguhnya Al qur an penuh hikmah. Jika
saja kita mampu menerima dan menetapi keadaan yang
dimaksud suatu ayat. Maka itu adalah hikmah yang sangat banyak. Sebab dengan
pemahaman semisal satu ayat saja, jiwa kita akan mampu tenang. Jiwa
akan dengan sendirinya tenang dalam menetapi takdir-takdirnya dalam
keyakinannya. Ketenangan yang tidak di buat-buat. Sebab dirinya diliputi suatu
keyakinan bahwa Allah tidaklah menghendaki kesukaran bagi dirinya. Bahwa Allah
adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan maha Penyayang. Inilah keyakinan
sejati. Karena dia sudah pernah merahsakannya, keadaan dalam
keyakinan itu. Disinilah ranah Ilmu Laduni, wilayah rahsa (dzauq),
penyingkapan daya (kasyaf), menetapi posisi kedudukan dan
keadaan jiwa atas hal didalam hikmah atas makna setiap surah.
Saya akan sedikit mengulasnya dengan salah satu
contoh dan keadaannya sebagai berikut, misalnya keadaan pada surat Al baqoroh ;
185, diinformasikan kepada kita. Firman Allah : “Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. “ Sekilas
kita membaca ayat tersebut sebagai informasi biasa saja, namun jika kita masuki
lebih dalam, ayat tersebut seperti bicara kepada kita. Anehnya, meskipun kita
mencoba memasuki lebih dalam lagi keadaan seperti yang dimaksud ayat tersebut
kita tidak akan mampu menemukan keadaan posisi jiwa disitu yang pas dengan
pemahaman ayat tersebut. Timbullahkeraguan pada diri kita, seperti apa
keadaannya ?. Kemudahan seperti apa yang dimaksudkan. Bukankah kehidupan kita,
hanyalah mendapati kesukaran demi kesukaran, kesulitan demi
kesulitan, hidup tak berbatas tepi, merana terus menerus sepanjang
waktu ?. Begitulah kita akan selalu saja mempertanyakan keadaan diri kita.
Berikutnya alih-alih kita mengakui kebenaran ayat tersebut. Malahan selanjutnya
kita pun akan menganggap remeh, bahkan mengabaikan saja ayat ini. Kita malas
sekali berfikir akan kebenarannya. “Masa bodoh ah..gak ngerti
lupakan saja ..!†Begitulah kita.
Keadaan jiwa akan meliar, bertanya dan
memberontak kepada siapa saja dalam dirinya, kepada apa saja. Jiwa akan terus
mendebat; “Jika Allah mengehendaki kemudahan bagi saya kenapa hidup
saya susah begini, kenapa saya tidak kaya, kenapa saya tidak cantik, kenapa
saya tidak dilahirkan dari konglomerat, apa yang di mudahkan Allah atas saya,
kenapa bla..bla..dan seterusnya dan seterusnya.†Jiwa tidak akan
pernah berhenti menghujat. Begitulah keadaan jika jiwa tidak memiliki referensi
apapun atas yang kita ucapkan. Dalam kasus ini, jiwa akan terus bertanya
tentang takdirnya. Kemudahan apa yang diberikan Allah atas takdirnya. Muncullah
prasangka kepada Tuhan. “Jika Allah tidak menghendaki kesukaran pada
dirinya, mengapa kehidupannya kok sukar begini.†Jiwa tidak
mengerti, tidak pernah mau mengerti, apa maunya Allah. Sungguh
karena hakekatnya jiwa belum mengetahui keadaan hal kebenaran atas firman Allah
tersebut.
Sebagaimana yang dialami kaum Yahudi
ratusan abad lalu, dahulunya mereka seringkali membuang atau menghilangkan
ayat-ayat yang tak dimengertinya, yaitu ayat yang dianggap mereka tidak
pas dengan akal mereka. Sesungguhnya dikarenakan mereka
tidak paham dan tidak pernah mendapatkan posisi dan keadaan yang
pas saja, disebabkan karena terhijab akalnya mereka itu. Hijab telah
menutup diri mereka untuk mengetahui hakekat dan keadaan
hal-nya sebagaimana yang dimaksudkan surah atau ayat dalam firman Allah. Mereka
penuh prasangka, karenanya mereka membuang sebagian ayatnya atau mengganti
dengan buatan mereka sendiri. Maka kemudian kita dengar ceritanya bahwa kaum
Yahudi banyak yang merubah isi dan kandungan kitab-kitab mereka. Itulah sebab
jika manusia hanya menggunakan akalnya saja, pasti mereka tidak akan mampu
menerima keadaan hal yang dimaksudkan oleh firman Allah. Maka karena
kesombongannya itu, secara begitu saja mereka kemudian mengikari (dalam hati
mereka) dan mendustakan firman-firman Allah tersebut.
Memang tidak gampang memaknai keadaan yang
dimaksud ayat tersebut, dan mengambil ikhwal kebenarannya, namun jangan
sampai karena kita tidak mampu memaknai ayat tersebut,
dengan seenaknya kemudian kita menganggap ayat tersebut salah. Atau
mengabaikan keberadaan adanya firman Allah tersebut. Kita harus ber hati hati
dengan ini. Kondisi seperti ini sebetulnya terjadi kepada siapa saja. Ketika
keadaan jiwa belum siap maka jiwa tidak akan mampu menerima keadaan hal dan
kebenaran ayat tersebut. Itulah keadaan diri setiap manusia. Walau bisa saja
secara logika kita menerima kebenaran atas ayat al qur an. Sebab
dikarenakan pengaruh kesadaran kolektif atas diri kita, yaitu keimanan yang
diturunkan orang tua kita. Namun keadaan jiwa nyatanya tidak
bisa dipaksa untuk begitu saja mengakui hal ini. Jika jiwa tidak memiliki
referensi atas rahsa dan keadaan tersebut maka jiwa akan tetap dalam
posisi pengingkaran. Jiwa tidak mampu mengenali, keadaan seperti apa
yang dimaksudkan sehingga terjadilah keraguan yang tersembunyi dalam
hatinya. Keraguan dalam hati inilah yang sering menimbulkan penyakit
maka manusia tidak bisa khusuk. Keraguan ini harus di singkapkan, di buka lapis
demi lapis. Sampai hati menjadi bening dan mampu menerima keadaan hal dan
kebenaran firman Allah yang dimaksudkan tersebut.
Mari kita eksplorasi lagi, bagaima posisi
keadaan jiwa saat kita mengucapkan “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup
dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. “ Bayangkanlah
bagaimana keadaan jiwa yang semestinya, bagaimana rahsanya, mampukah kita dalam
posisi benar-benar dalam keadaan sebagaimana yang dimaksud oleh ucapan kita itu
?. Ilmu Laduni akan menyingkapkannya untuk kita, bagaimana rahsa dan keadaan
itu. Sehingga kita akan mampu menetapi keadaan tersebut dengan
sebenar-benarnya, dengan se yakin yakinnya. Keyakinan yang utuh. Kalau
berkeinginan melakukan eksplorasi berikutnya, cobalah dengan lafadz lainnya; “ Subhanalloh, Alhamdulillah, Allahu
Akbar, Lai Ila ha illlah, Lau haula wala kuwata ila billah, Ina lillahi wa ina
ilaihi rojiun.” Cobalah bagaimana posisi jiwa dalam
keadaan hal tersebut.
Makna dan keadaan Hal
Secara sederhana perumpamaannya adalah
sebagaimana keadaan seorang pemuda menyatakan cinta kepada kekasihnya. “Aku cinta padamu.” Pernyataan ini akan menimbulkan getaran dan sensasi luar
biasa bagi pemuda tersebut. Dan bagi gadis yang mendengarnya pun
akan mampu menangkap getaran dalam nada suara dan bahasa tubuh pemuda tersebut.
Bagaimanakah hal keadaan (suasana) dalam dada pemuda tersebut saat menyatakan
cintanya ?. Inilah perumpamaannya. Inilah yang di kaji dan diungkap, dirahsakan
agar hati mampu menerima keadaan hal sebagaimana makna ayat, itulah hikmah
yang luar biasa. Bagaimanakah (suasana keadaan hal) dada orang ber iman
dan dada orang kafir ?.
Lebih mudahnya lagi saya ilustrasikan. Ketika
kita sudah memiliki referensi akan buah jeruk, di sebabkan kita
pernah, melihat, memegang, mencium, dan memakannya, mengerti rahsanya, maka
saat kita mengatakan “JERUK”. Instrumen ketubuhan kita menerima kata
tersebut dengan rileks saja. Jiwa dan raga pernah merasakan sensasi rahsa buah
jeruk, akal dan indra juga sudah menyaksikan secara benar. Maka jeruk kemudian
menjadi realitas. Menjadi mudah saja kita untuk memahami dan
mengenali sensasi ketika di sebutkan “˜JERUK”™. Maka ketika kita
mengatakan. “Aku suka jeruk.” Semua instrument ketubuhan kita bekerja sinergis menerima,
tidak ada penentangan apapun baik dari akal, indra, jiwa ataupun raga kita.
Kita akan mengenali sensasi (suasana) rahsanya. Semua dipahamkan dan
mengerti. Kita akan dalam keyakinan yang bulat saat mengatakan
kalimat tersebut. Karena jiwa dan raga serta seluruh instrument ketubuhan kita
dalam keadaan harmoni. Itulah perumpamaannya.
Namun sebaliknya jika kita belum memiliki
referensi perihal jeruk, instrument ketubuhan kita akan mendustakan
apapun yang kita katakan tentang jeruk. Kita tidak akan memiliki keyakinan
karena diri kita tidak memiliki referensinya. Meski kita paksakan
untuk mengerti, kita tetap tidak akan menemukan realitas jeruk dalam diri kita.
Meskipun kita paksakan dri kita untuk agar yakin, namun sejatinya kita hanyalah
akan mendapatkan suatukeyakinan yang menipu (keyakinan semu). Karena
di dalam diri kita masih ada ruangan kosong untuk keraguan. Maka
saat (ketika) kita berkata. “Aku suka jeruk.†Instrumen
ketubuhan kita akan menolak, dan mengingkari, ada penentangan dalam hati. Sebab
ada keraguan disana, ada kebohongan yang tersembunyi. Akibatnya jiwa tetap
tidak tenang setelah mengatakan kalimat itu.
Semisal lainnya, saat (ketika) kita
mendengar kabar perihal Taman Impian Jaya Ancol, banyak berita yang masuk
kepada kita. Bagaimana keadaannya, serta apa saja wahana yang di tawarkan
disana, penuh suka cita, pesona segala rupa, dan lainnya. Begitu
banyak informasi yang kita dengar, sehingga tanpa mampu menolaknya
kita meyakini bahwa berita itu adalah suatu kebenaran. Saking sukanya kita
dengan berita-berita tersebut. Maka kemudian kita bahkan mampu menceritakan
kepada kawan-kawan kita, dengan begitu antusiasnya, berikut sensasi dalam
angan-angan kita. Masuklah imajinasi kita ke dalam cerita yang kita bawakan.
Begitu berurut, setiap orang melakukan kontruksi lagi atas berita yang di
dengarnya, berdasarkan imajinasi dalam versinya masing-masing, cerita dari
mulut ke mulut bersambung, di bawa dari sabang sampai merauke.
Sehingga meski tanpa pernah datang kesana setiap orang akan mampu menceritakan
bagaimana keadaan Taman Impian Jaya Ancol, berikut dengan sensasinya. Dengan
serunya setiap orang kemudian berdebat tentang berita tersebut. Dengan versi
kebenarannya sendiri tentunya. Begitulah keadaannya.
Namun sayangnya, hati tidak pernah bisa diajak
kompromi, ketika kita menceritakan keadaan hal Taman Impian Jaya Ancol. Hati
akan menghakimi kita. Ada kebohongan tersembunyi disana. Maka ketika kita mengatakan
bahwa “Saya percaya atas berita tentang Taman Impian
Jaya Ancol “.
Kemudian ketika kita berkata bahwa “Saya mencintai Taman Impian Jaya Ancol”. Seluruh instrument ketubuhan kita akan menolaknya. Dalam dirinya
tidak ada realitas atas Taman Impian Jaya Ancol. Dia belum pernah
kesana, belum pernah merasakan sendiri sensasinya. Maka ada keraguan dalam
jiwanya. Jika semakin lama dia bercerita maka akan semakin dalam hijab yang
menutupnya. Sehingga dia semakin jauh dari hakekat keadaan Taman Impian Jaya
Ancol yang di maksud itu sendiri. Dalam dirinya hanya penuh angan dan imajinasi
yang menipu dirinya. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk sebuah
keyakinan, jiwa harus menemukan realitas Taman Impian Jaya Ancol, agar dia
yakin seyakin-yakinnya. Tiada jalan lain selain dia harus datang, mengenal dan
merasakan sendiri bagaimana keadaan tempat tersebut.
Ilustrasi tersebut ingin menjelaskan bahwa
ketika kita mengatakan. “Aku beriman kepada Allah.” Padahal kita sendiri tidak pernah memiliki referensi kata ‘IMAN’™. Dan Kita sendiri juga tidak mengenal Tuhan ‘ALLAH’ , maka pastilah instrument ketubuhan kita akan mengikari, ada
keraguan disana, ada kebohongan tersembunyi. Inilah yang menyebabkan meskipun
kita sudah beribadah sedemikian hebat, hati tetap tidak tenang. Karena diri
kita tidak memiliki referensi apapun atas kalimat yang kita ucapkan. Begitu
pula kejadiannya, sama keadaannya (ketika) saat ber dzikir dan dalam
diri kita tidak memiliki referensi apapun atas rahsa dan keadaan hal
sebagaimana di maksudkan lafadz yang kita dzikirkan. Maka sudah barang tentu
kita tidak mampu berada dalam posisi keadaan sebagaimana maksud dalam kita ber
dzikir. Ketika kita tetap nekad, hantam kromo saja, di khawatirkan justru
malahan Jin yang datang, terpanggil oleh energy dzikir kita, maka seringkali
kita temukan seseorang yang banyak dzikir keadaan dirinya malahan
diliputi para kodam, seakan-akan dia memelihara kodam yang selalu mengikuti apa
saja maunya. Inilah jenis hijab lainnya. Dia akan sulit sekali masuk kepada
hakekat “la haula wala kuwata ila billah”™.
Inilah yang menjadi sebab mengapa ketika kita ‘mengingat Allah’™ hati kita tetap tidak mampu tenang. Dan di posisi
lain, diri kita tetap tidak mampu menikmati takdir kita dengan puas, ikhlas dan
ridho. Padahal dalam ayat Al qur an jelas dikatakan ‘Dengan mengingat Allah maka hati akan tenang.’ Disinilah Ilmu Laduni akan memandu kita dalam menemukan
hikmah atas makna ayat dalam Al qur an, secara benar, pada posisi jiwa yang
benar. Sebagaimana yang dimaksud. Sehingga kita akan mampu mengatakan kalimat
tersebut dengan keyakinan yang bulat. Sehingga karenanya, kita akan mampu
kembali ber dzikir dengan khusuk. Kearah tujuan itulah hakekat
keberadaan Ilmu Laduni.
Karena sekali lagi, sudah semestinya kita
menyingkap hikmah atas keadaan hal dari setiap ayat, kemudian
selanjutnya adalah bagaimana kita mampu mendapatkan posisi pada wilayah rahsa
yang dimaksudkan. Keadaan yang dimaksudkan harus menjadi realitas
bagi diri kita. Sebagaimana ilustrasi buah jeruk tadi. Kita harus memiliki
referensi atas setiap kata yang kita ucapkan. Kita harus mengenal rahsa yang
menyingkap makna. Keadaan realitas yang sebenarnya, sehingga kita mampu
mengucapkan kalimat (ayat) dengan khusuk. Ini adalah wilayah rahsa (dzauq) dan
penyingkapan (kasyaf). Suatu lintasan rahsa yang
unik, sangat subyektif sifatnya. Keadaan ini sungguh penting, dikarenakan
dengan mengetahui keadaan ini, kita akan tahu bahwa saat itu, kita sedang
melakukan penyembahan kepada siapa, kepada Allah ataukah kepada
selain Allah. Disinilah Ilmu Laduni akan banyak membantu. Meskipun
setiap orang nantinya dalam kadar dan ukurannya masing-masing dalam
hal ini, namun tidak seharusnya kemudian kita mengesampingkan realitas keadaan
posisi jiwa dimana saat terkini. Mengetahui dimana jiwa dalam keadaan orbit
yang semestinya. Maka tidak selayaknya jika kita mengabaikan
keberadaan Ilmu Laduni ini.
Khazhanah Intelektual
Ilmu Laduni adalah khazanah kekayaan intelektual
Islam yang tersembunyi. Ilmu ini telah di bingkai dan di bonsai sedemikian
rupa, dianggap tabu, sehingga secara perlahan menghilang dari kesadaran umat
Islam. Ilmu ini pernah diperdebatkan berabad-abad lalu. Ada yang pro dan ada
yang kontra. Sungguh sayang sekali, jika ilmu ini akhirnya tenggelam dalam
hiruk pikuk peradabaan. Jangan disalahkan, jika kemudian Ilmu ini
akhirnya dimanfaatkan oleh orang yang tidak mengerti, mereka
menggunakannya untuk kepentingan nafsu mereka sendiri, mereka riya’ dengan
ilmu mereka ini. Inilah yang menjadi penyebab kenapa Ilmu ini kemudian
terpinggirkan.
Menjadi keprihatinan kita, sungguh sangat di
sayangkan, jika khazanah ke ilmuan ini di manfaatkan hanya untuk
sekedar pamer saja. Padahal dalam riwayat lain di ceritakan bahwa Ilmu
inilah yang telah membantu Hujatul Islam Imam Ghozali mendapatkan pencerahan
kembali setelah sakit dan mengalami keraguan yang serius dalam mencari hakekat
ilmu dan hakekat kebenaran. Syukurlah beliau disamping kesembuhannya,
akhirnya beliau juga telah berhasil menyusun
ulang kaidah-kaidahnya secara lebih terperinci dan lengkap.
Marilah kita formulasikan kembali makna dan
hakekat Ilmu Laduni, sehingga sesuai dengan tuntutan jaman. Mari kita lihat
kondisi masyarakat kita, sebagian besar umat Islam adalah orang
awam, mereka adalah garda terdepan yang senantiasa terus di
benturkan dengan kehidupan, merekalah yang berhadapan dengan kesadaran
liberalisme dan lain-lainnya. Mestinya mereka berbekal keimanan yang kuat.
Namun keadaannya tidak demikian. Kesibukan telah menyita hari-hari mereka.
Jangankan untuk menghapalkan dalil-dalil dan meng hapal Al qur an. Untuk
sekedar memenuhi dan menggugurkan kewajiban sholat 5 waktu saja merekapun masih
kesulitan. Bagaimana pula harus mempelajari dalil dalil ilmu kalam yang
diwajibkan atas mereka, agar mampu melaksanakan syariat ?. Bukankah agama akan
memberatkan jadinya ?.
Keadaan mereka terus di kejar waktu, tidak ada
kesempatan mengkaji dalil-dalil sebagaimana yang di isyaratkan ilmu kalam
(Baca; syariat). Kewajiban yang menjadi persyaratan ini akhirnya
membebani mereka. Seperti menjadi keengganan lainnya jika mereka harus
berbicara agama sebagai jalan hidup. Agama akhirnya menjadi beban
hidup itu sendiri. Seperti dua sisi mata uang saja. Sehingga hidup
mereka kering, pada gilirannya menyebabkan kesulitan tersendiri bagi
mereka, dalam menjalankan kehidupan beragama. Meskipun begitu, namun
sesungguhnya kecintaan mereka atas Islam sejatinya tidak pernah surut. Bukankah
sudah terbukti, jika ada sedikit saja kaum lain yang mengusik Islam, mereka
akan berontak. Mereka akan melawan dengan kekerasan. Kecintaan yang menimbulkan
dilema. Sebab karena ulah seperti ini Islam terlihat menjadi gahar, Islam yang
penuh prasangka dan permusuhan. Jauh dari agama yang penuh kasih.
Namun begitu, tidaklah seharusnya jika mereka kemudian
terpinggirkan, dan ditinggalkan dengan tidak mendapatkan pengajaran
!. Bukankah ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita ?. ‘Bagaimana agar kaum awam seperti kita ini mampu menjalani
kehidupan beragama dan berketuhanan meskipun dibelit dinamika kota.’Pertanyaan yang seharus bisa segera terjawab oleh Islam itu
sendiri.
Pengajaran yang sederhana namun mampu memenuhi
kebutuhan mereka dalam beragama. Inilah jawabannya, solusi yang
diharapkan kaum urban. Belajar agama melalui pengajaran ringkas dan sederhana,
dan tidak ribet, namun cukup untuk menjadi bekal kita menjalani hidup, dengan
tenang, puas dan ridho. Bukankah ini sudah seharusnya ?. Pengajaran Islam sederhana
namun dalam dan syarat makna, sebagai bekal dalam mengarungi hidup
di dunia dan di akhirat nanti. Inilah yang dimaui. Karena yakinlah, jikalaupun
kita hanya mampu memahami satu ayat saja dengan benar, semisal ‘Bismillahi rohmani rohiem’ kita manusia sudah dapat di pastikan akan mampu hidup puas,
tenang, dan ridho. Sungguh, jika saja kita mengetahui dan meyakini hal ini
(!?!). Al qur an adalah kitab yang penuh hikmah. Maka disebutkanlah
jika manusia diberikan hikmah ilmu, semisal satu ayat saja,
dapatlah dikatakan, bahwa dia sesungguhnya sudah
mendapatkan rejeki yang amat sangat banyak. Inilah faedah ilmu hikmah
(Laduni) yang di tawarkan. Maka sudah selayaknya jika Ilmu Laduni di
kaji ulang, menjadi solusi alternatif pengajaran bagi masyarakat
urban ibukota.
Batasan Ilmu Laduni
Ilmu Laduni adalah sebuah keniscayaan, ilmu yang
sebaiknya dimiliki oleh umat Islam. Apakah terlalu berlebihan
statemen ini. Rasanya tidak. Seseorang yang telah memiliki iman dalam hatinya
dan dia bertakwa kepada Allah, akan dengan sendirinya memiliki
ilmu ini. Inilah keniscayaan yang saya maksudkan. Pengetahuan akan penyingkapan
hati, pengetahuan kasyaf , kemampuan seseorang dalam mengenali
daya yang bekerja pada dirinya, adalah sebuah kemampuan yang layak
dimiliki.
Menjadi pertanyaan dalam kajian-kajian
terdahulu, bagaimana kita mampu mengenali sebuah daya yang bekerja
pada diri kita adalah benar
daya Allah, bukannya daya yang
berasal dari proses induksi. Inilah pertanyaan kita selalu. Keyakinan bahwa
daya yang bekerja pada diri kita adalah daya Allah, adalah sebuah keniscayaan
yang seharusnya dimiliki oleh kaum muslimin. Sayangnya, mengenali
sebuah daya dan kemudian menetapinya sebagai daya dari Allah adalah sebuah
persoalan tersendiri bagi umat Islam. Mereka selalu merasa sudah
benar dalam penyembahan mereka, mereka enggan masuk ke dalam hatinya
masing-masing mempertanyakan hal ini. Mereka dan kita semua sering tidak mau
mempersoalankan lagi apakah daya yang kita pergunakan adalah benar daya Allah
atau bukan. Sudah mampukah kita meniadakan daya-daya lain yang mencoba
memperngaruhi diri kita dan berkata dengan yakin bahwa tiada daya upaya selain
(daya) Allah. Tanpa keyakinan yang benar, maka sesungguhnya kita tidak akan
mampu mengatakan hal ini. Kita akan mengalami keraguan dan keraguan terus.
Semua dalam kesulitan (ketika) saat ber ikhsan. Hakekat bahwa
Allah melihat kita, dan hakekat bahwa (seakan akan) kita melihat Allah. Inilah
salah satu sebab mengapa umat muslim Indonesia mengalami kemrosotan akhlak yang
akut.
Sebab ketika kita sudah yakin dan mampu
mengenali daya tersebut, maka tenanglah hati dan jiwa kita. Inilah system
bekerjanya ketubuhan kita. Bagaimana mengenali daya tersebut jika kita tidak
memiliki pengetahuan atas ini ?. Maka dengan ilmu (kasyaf) inilah diharapkan
manusia akan dapat mengenali daya tersebut dan kemudian yakin atas ini.
Pengetahuan ini bukanlah datang secara tiba-tiba, seseorang harus melakukan
perjalanan sendiri-sendiri. Pengetahuan ini bukan datang dengan cara membaca,
ataupun belajar dari seorang guru. Pengetahuan ini langsung diajarkan oleh
Allah kepadanya. Maka seseorang yang menginginkan pengetahuan ini wajib
melakukan perjalanan rohani, sampai nantinya Allah akan menunjukan
jalan kepada-Nya.
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh
(jihad) untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami. “ (QS. Al Ankabut : 69)
Inilah janji Allah, maka saya katakan bahwa Ilmu
Laduni adalah sebuah keniscayaan saja. Yaitu bagi setiap muslim yang mencari
keridhaan Allah dengan sungguh-sungguh maka kepadanya akan ditunjukkan jalan
ini. Sebab dengan Ilmu ini dia akan mampu mengenali daya, dia akan mampu
mengenali dualitas rahsa, dia kemudian akan mengenali jalan-jalan-Nya. Inilah
keniscayaan berikutnya, membedakan rahsa-rahsa di jiwa, yaitu sebuah efek
sensasi rahsa yang ditimbulkan oleh sebagai akibat penyembahan diri kita,
apakah kepada Allah atau kepada selain Allah. Dirinya akan mengenali
rahsa tersebut, membedakannya, sehingga kemudian dia mampu melakukan koreksi
dan bertobat, meluruskan kembali niatnya, jika kita salah dalam penyembahan
diri kita. Dengan ilmu ini (kasyaf) dia akan mampu menghadapkan dirinya dengan
keyakinan yang benar kepada Tuhan (Allah) Yang maha Esa bukan kepada Tuhan
yang sebatas dalam persepsi saja, bukan kepada Hantu yang malah
dianggapnya sebagai Tuhan. Semua akan diketahuinya melalui
penyingkapan hati, melalui sensasi rahsa yang tak sama. Akan ada efek dualitas
rahsa yang akan mampu dikenal dengan baik, sehingga dirinya tidak
dibingungkan lagi oleh sensasi dualitas rahsa tersebut.
Saya ingin memisahkan pemahaman saya dengan
pemahaman bahwa Ilmu Laduni atau Ilmu Hikmah adalah sebuah ilmu yang
dimaksudkan dan identik dengan kemampauan seseorang yang memilikii karomah,
supranatural, atau kesaktian-kesaktian lainnya. Bukan itu yang saya maksudkan.
Bukan atas pemahaman itu, kajian ini dituliskan dan bukan maksud dari kajian
ini ke arah sana. Saya akan membatasi pemahaman bahwa Ilmu Laduni , menurut
pendapat saya adalah sebuah ilmu mengenali rahsa (dzauq), menyingkap
hati, dan mengenal daya (kasyah) di dalam diri manusia sendiri. Ilmu yang akan
mampu menyingkap hakekat diri manusia itu sendiri. Sehingga manusia akan mampu
mengenali dirinya sendiri.
Ilmu Laduni adalah ilmu yang sangat spesifik dan
unik. Setiap manusia akan diberikan ilmu ini, namun sayangnya ilmu ini hanya
bisa digunakan untuk dirinya sendiri saja. Inilah pemahaman saya, sehingga ilmu
ini tidak mungkin dapat diajarkan kepada lainnya. Dia hanya bisa menggunakan
ilmu tersebut hanya untuk mengenali dirinya sendiri, mengenali lintasan hati
dan penyingkapannya. Maka berhati-hatilah kepada orang yang mengatakan memiliki
ilmu ini dan mengatakan mampu mengajarkan Ilmu Laduni ini. Dalam
pemahaman saya Ilmu Laduni bukanlah sebuah ilmu tentang kesaktian manusia, ilmu
ini adalah sebuah ilmu hikmah. Hikmah apa yang perlu diketahui seseorang atas
sesuatu hal, maka hanya Allah dan dia saja yang tahu. Allah Maha
Tahu, yang akan menyingkapkan rahasia hikmah apa saja untuk dirinya.
Hikmah yang hanya pas untuk dirinya sendiri, tidak untuk orang lain. Hanya dia
sendiri yang akan memetik hikmah pelajarannya. Maka pengajaran seperti apa,
kurikulum yang mana yang akan pas untuk setiap manusia,
hanya Allah yang tahu. Maka hubungan belajar dan mengajar ini sangatlah
spesifik sifatnya dan ‘privat’ sekali.
Mengenali rahsa (dzauq), mengenali daya
(kasyaf), Ilmu yang mampu meyingkap rahasia hati, sehingga dengan ilmu ini
seseorang akan memiliki keyakinan yang tidak akan menyisakan ruang bagi
keraguan sedikitpun. Karena telah terbukanya hijab dan penyingkapan hati.
Inilah hakekat dan batasan Ilmu Laduni yang saya maksudkan. Dengan
ilmu inilah seorang muslim akan dapat memahami hikmah dam hakekat kebenaran itu
sendiri. Sehingga dia tidak akan dibingungkan lagi dengan versi kebenaran
kelompok lainnya. Jikalau dalam penyingkapan hikmah, seseorang kemudian di
pahamkan melalui cara-cara yang di luar nalar dan logika, (sehingga manusia
menganggap sebagai karomah) itu sifatnya hanya individualistis, dan karena
semua terserah kepada Allah bagaimana memberikan pengajaran.
Pengajaran dalam mengenali daya, memang kadang
sangat mempesona. Hampir semua yang penulis kenal yang sedang belajar hal ini
tiba-tiba memiliki kemampuan yang tidak biasa. Kadang bisa memberhentikan
hujan, memberhentikan dan membalikan arah angin, dan juga kemampuan
supranatural lainnya. Banyak diantaranya yang kemudian mampu menyembuhkan
penyakit non medis, yang di sebabkan makhluk ghaib, dan lain sebagainya. Tersingkapnya
hijab hati akan menyingkapkan ke ghaiban inilah konsekwensinya, maka dia akan
mampu berkomunikasi dengan makhluk ghaib, dan mengenali
kesadaran-kesadaran lainnya, mengenal dari rahsa di jiwa. Dirinya akan
senantiasa di hadapkan kepada dua dunia, beserta dimensi-dimensinya. Dirinya
dibenturkan kepada sebuah fakta untuk memaknai manakah yang
sebenarnya Realitas dan manakah yang Ghaib.
Dualitas rahsa dalam kesadarannya. Karena semua menjadi seakan-akan sama saja.
Tinggal dia mau memaknai seperti apa keadaannya dan sebagai apa. Apakah akan
memaknainya sebagai hal ghaib ataukah sebagai realitas alam semesta saja, suatu
kewajaran. Sungguh mempesona. Namun hakekatnya itu hanyalah pembelajaran
saja kepadanya. Dia sedang diajarkan pelajaran mengenai daya yang sedang
bekerja, daya yang bekerja di alam dan dalam tubuh manusia itu
sendiri. Diajarkan siapakah dirinya, hakekat dirinya sendiri, hakekat tentang
AKU.
Maka celakalah orang yang kemudian mengaku-aku
memiliki daya ini. Celakalah orang yang mengaku aku memiliki Ilmu Laduni ini.
Kemudian menganggul-anggulkannya, sebagai kesaktian, sebagai karomah, atau
lainnya. Karena hakekatnya ilmu ini berada di antara ada dan tiada,
hikmah diantara realitas dan ghaib. Semua milik Allah. Hasil yang benar jika
seseorang memiliki ilmu ini adalah kebalikannya, dia akan menjadi
merasa tidak memiliki ilmu sama sekali. Seseorang justru akan
merasa tidak memiliki daya sama sekali, setelah belajar dan memahami hakekat
ilmu ini. Inilah keanehannya.
Semua tergantung rahmat Allah semata. Dia hanya
menggantungkan hidupnya dari kemurahan Allah, yang akan memberikan daya
kepadanya atau tidak. Inilah hakekat hasil pembelajaran Ilmu Laduni. Ilmu ini ada namun
menjadi tiada, karena hakekatnya adalah kita kemudian
meniadakan ilmu ini sendiri. Ilmu ini berada dalam kesadaran
realitas dan keghaiban itu sendiri. Karenanya kita akan kesulitan jika mencari
orang yang benar-benar memiliki ilmu ini, karena dia akan tersembunyi diantara
manusia lainnya. Jika tersingkapkan, Ilmu ini menurutnya, hanya akan menjadi
aib nya saja nanti. Begitu takutnya dia kepada Allah, takut menjadi riya jika
dirinya diketahui. Maka keberadaan orang-orang ini nyaris terabaikan, mungkin
saja ada diantara kita semua, namun kita tidak tahu. Ciri-ciri seorang muslim
sejati ada pada dirinya. Itulah tanda-tandanya.
Ini adalah ilmu ketiadaan, meniadakan daya
upaya kita, dia hanya bisa pasrah menggantungkan dirinya
atas daya yang diberikan Allah. Dia benar-benar merasa menjadi manusia yang
tidak punya daya sama sekali. Benar-benar lemah, menjadi manusia biasa, sangat
biasa. Dia merasa tidak tahu apa-apa, karena semuanya seakan-akan hanya di
tarok begitu saja. Dia akan menjadi tunduk, rendah hati, karena dia menyadari
bahwa dirinya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Dan lain lain, dan lain lain.
Hingga pada gilirannya nanti sampailah dirinya kepada makom kearifan tertinggi
dalam dimensi manusia.
Jika tertarik belajar Ilmu ini, Ilmu Laduni,
maka menurut hemat saya tidaklah harus belajar kepada orang lain.
Sebab begitu sulitnya jaman sekarang ini menemukan orang seperti itu.
Belajarlah kepada Allah. Bergurulah kepada Allah. Begitulah ke-khas-an Ilmu
Laduni, dalam pemahaman saya, bagaimana memulai nya ?. Maka ini hanyalah
sekedar sharing saja, sekali lagi hakekatnya hanya Allah saja yang tahu,
pengajaran seperti apakah yang pas buat diri kita masing-masing.
Dari mana mulai ?
Di awali dari sebuah pertanyaan yang di
lontarkan. Mengapa manusia menerima dengan sikap pasrah sebuah
keyakinan secara turun temurun, tanpa sedikitpun keraguan ?. Mengapa
manusia tidak mau menggunakan bukti-bukti rasional sebagai dasar penerimaan itu
?. Mengapa setiap kelompok meyakini paham mereka sebagai suatu kebenaran ?.
Bersikukuh mempertahankan keyakinan yang di dapat dari nenek moyang mereka
secara turun temurun, tanpa meragukan sedikitpun. Mengapa Islam,
Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, Bathiniyah, dan lainnya tetap dalam pendapatnya
itu. Sehingga pada gilirannya, membuat mereka sendiri menjadi
sangat sensitif ketika diantara mereka mengalami benturan keyakinan dan
bersinggungan paham. Mengapakah hal ini tidak menimbul pertanyaan dan keraguan
kepada kita, manakah diantara paham mereka sesungguhnya yang benar.
Marilah kita telusuri mengapa keadaannya begitu. “Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya saja kedua orang tuanya
menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. “ (HR. Al Bukhari,
Muslim, Malik, dan Ahmad). Itulah keadaan real kondisi manusia, saat dia
dilahirkan, dia sudah berada dalam kesadaran kolektif masyarakatnya. Dia tidak
bisa memilih orang tuanya, lingkungannya, atau agamanya. Jikalau
begitu dapatkah dia disalahkan pada satu sisi itu saja, ketika dia memeluk
agama Yahudi, Nasrani atau Majusi ?. Apakah orang tuanya yang salah ?. Ternyata
tidak juga, karena ternyata orang tuanyapun mengalami nasib yang sama. Dia juga
hanya menerima agama dari orang tuanya lagi. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Setiap manusia hanya menerima begitu saja paham dan keyakinan dari nenek moyang
nenek moyang mereka.
Jikalau setiap manusia mengalami kejadian yang
sama seperti itu, kenapa mereka semua harus mewarisi juga sikap
permusuhan nenek moyang-nenek moyang mereka semua ?. Menjadi permusuhan yang
turun temurun lintas generasi, permusuhan yang tiada habis-habisnya. Praduga
dan persepsi di bangun atas cerita masa lalu. Tidakkah sebaiknya setiap golongan,
setiap manusia duduk bersama mengkaji kebenaran masing-masing. Melakukan
kontemplasi dalam diri sendiri mencari hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat
kebenaran. Yakinlah, manusia dahulunya adalah umat yang satu. Agama dahulunya
adalah satu. Kemudian ada sebagian dari manusia yang di berikan pengetahuan
menyimpangkannya, mengikuti hawa nafsunya. Pemahaman tersebut kemudian
diturunkan, diikuti oleh keturunan keturunan mereka secara membuta. Sampailah
kepada kita sekarang ini. Sesungguhnya manusia telah melalaikan keadaan yang
sudah sekian lama begini, berabad abad lalu hingga melintasi jaman dan
peradaban, sampailah kepada kita sekarang ini. Dinamika seluruh umat manusia
dengan pelbagai macam keyakinan dan kebenaran versi masing-masing.
Kita seharusnya khawatir dengan
perkembangan agama Islam itu sendiri, kemudian mempertanyakan dengan keraguan,
mengapa begitu banyak mahzab di dalam Islam, mengapa Islam juga terpecah-pecah.
Manakah yang benar diantara mereka. Kita harus memiliki Ilmu yakin atas
kebenaran yang di dalamnya tidak menyisakan sedikitpun ruang bagi keraguan.
Keyakinan yang haqul yaqin yang tidak menyertakan kemungkinan salah dan
praduga. Sebuah keyakinan atas kebenaran yang tidak mungkin mampu di goyahkan
sedikitpun oleh siapapun, meskipun sang pembantah memberikan emas sebesar
gunung sekalipun. Dan selanjutnya kita mampu menyikapi atas perbedaan
yang tengah terjadi di dalam masyarakat itu dengan kearifan, sebab hakekat
kebenaran datangnya dari Allah. Muncullah pemahaman bahwa hakekatnya setiap
golongan hanya berada dalam makom mereka masing-masing. Tentunya mereka
semuanya nanti, jika telah satu dalam kebenaran Tuhan
maka seluruh umat manusia akan menjadi kembali bersatu lagi dalam
dienul Islam. Itulah keyakinan Islam.
Sekali lagi, setiap mahzab, setiap golongan
senantiasa melakukan klaim atas kebenaran mereka, namun kita tidak pernah tahu,
diantara mereka manakah sesungguhnya yang benar. Benar dalam
kebenaran Allah. Dimanakah rantai yang terputus, dimanakah ‘˜missing link’™ nya, sehingga kebenaran yang sampai kepada kita sudah
terserak-serak, sudah tidak lengkap lagi. Kita harus menanyakan kepada diri
kita melalui keraguan. Karena Al qur an telah mengisyaratkan demikian. Pada
setiap peradaban mungkin ada saja nenek moyang kita yang lalai. Kita harus
khawatir atas hal itu. Sehingga kitalah yang di harapkan mampu
memutuskan mata rantainya, mencari dimanakah asal muaranya, mencari jalan
penghubung atas ajaran nabi Ibrahim yang lurus (Milah Ibrahim). Sehingga
kita memliki keyakinan yang benar, yang selanjutnya dengan ini, dapat kita
wariskan kembali kepada anak cucu kita berikutnya. Menjadi generasi Islam yang
wajahnya penuh senyum, yang senantiasa menjadi rahmat bagi yang lainnya. Islam
adalah rahmat semesta alam.
Generasi yang melalaikan
“Ya Sin. Demi Al qur an yang penuh hikmah. Sungguh engkau
(Muhammad) adalah seorang dari rosul-rosul. Diatas jalan yang lurus. (Sebagai
wahyu) yang diturunkan (Allah) yang maha Perkasa, Maha Penyayang. Agar engkau
memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi
peringatan, karena itu mereka lalai. Sungguh, pasti berlaku perkataan
terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman. “ (QS. Ya sin 1-7)
Al qur an jauh hari sudah memperingatkan hal
tersebut. Dalam setiap peradaban setiap abad akan terdapat suatu kaum yang
nenek moyang-nenek moyang mereka lalai. Maka Al qur an kemudian di
turunkan, sebagai wahyu, memberikan peringatan kepada kita, atas kemungkinan
tersebut dengan sebuah praduga bahwa diduga diantara nenek moyang
kita terdahulu terdapat suatu generasi yang lalai. Terjadilah
‘missing link’ mata rantai yang terputus. Sehingga
sampai ke jaman kita, sudah menjadi banyak versi kebenaran yang
terserak diantara setiap golongan. Kitalah semua yang harus
mengkritisi, ke dalam diri kita masing-masing. Mengikuti petunjuk di dalam Al
qur an. Mencari kebenaran itu sendiri.
Al qur an menuntut ke aktifan manusia
dalam mencari kebenaran. Menguji kembali keimanan yang telah diwariskan kepada
diri kita masing-masing. Meminimalisir kelalaian nenek moyang kita
yang beranggapan bahwa diri mereka sudah benar, sehingga karenanya mereka
lalai, dan karena itu mereka tidak mau lagi mencari kebenaran.
Sehingga kebenaran yang sampai kepada kita sudah tidak sempurna. Kebenaran
harusnya sampai kepada kita melalui jalan yang lurus (shirotol mustakim). Bukan
melalui jalan orang yang sesat ataupun jalannya orang yang di murkai Allah.
Maka kita wajib meyakinkan diri kita atas hal tersebut. Sehingga kita mampu
mengamankan setidaknya jalan kita sendiri terlebih dahulu.
Pertanyaan-pertanyan tersebut layaknya terus di
lontarkkan ke dalam hati. Sebagaimana yang dilakukan nabi Ibrahim as, ketika
mencari hakekat Tuhan, sebagaimana juga yang di lakukan Rosululloh dalam
kontemplasinya sepanjang waktu dan di perkuat saat-saat di gua hiro. Begitu
juga sebagaimana Hujatul Islam Imam Al Ghozali. Ini adalah pondasi dasar untuk
melatih instrumen ketubuhan kita, mempersiapkan kondisi saat di susupkan contoh
rahsa agar dikenali. Semua dimulai dengan pertanyaan, penuh keraguan atas suatu
keadaan. Melihat ke dalam diri, mencari referensi atas sesuatu itu, dari dalam
jiwa kita sendiri.
Pengajaran yang sederhana
Marilah kita masuki saja agar menjadi lebih
jelas apa yang saya maksudkan. Kita mulai dari hal yang sederhana. Kita coba
dari masalah yang paling banyak terjadi menimpa kita kaum awam adalah perihal
sholat. Al qur an sudah memberikan solusi efektif bagi kita kaum
urban dalam menghadapi kesempitan dan tuntutan hidup. Firman
Allah “Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. “ (QS. Al baqoroh 45).Perintah tersebut jelas tidak mungkin salah.
Masalahnya adalah kita yang belum mampu. Maka mulailah kita bertanya dalam hati
kita, berdialog dengan tajam dan dalam.
· Apakah
sholat yang di ajarkan orang tua kita sudah benar, sehingga sholat
mampu menjadi penolong kita ?.
· Apakah
ada yang salah, sehingga sholat belum dapat saya jadikan penolong ?.
· Mengapa
sholat dapat di jadikan penolong ?. Bagaimana caranya ?
· Nyatanya
berat bukan ?. Kenapa kok saya tidak bisa melakukan hal itu ?
· Hanya
orang yang khusuk yang dapat melakukan itu ?
· Mengapa
saya tidak bisa khusuk ?.
· Terus
bertanyalah dan jawablah dengan jujur. Latih terus instrument ketubuhan kita.
· Kuatkan
hati dan terus bertanya kepada Allah. Bagaimana caranya agar kita mampu
mengerti.
Begitu juga dalam mengenal Allah, baiknya kita
mulai dari ayat yang sering kita lafadzkan sehari-hari . Bisa dari“Bismillahi
rohmani rohiemâ€. Pernyataan tersebut harus kita akui pasti
benar. Maka kenalilah, bertanyalah terus, kasih sayang apakah yang telah
diberikan kepada kita. Terlihat sederhana pertanyaan ini, namun seperti uraian
dimuka, saat kita tidak memliki referensi apapun tentang sifat kasih dan sayang
Allah, kita tidak akan mampu mengucapkan ini dengan keyakinan. Ketika kita
tidak yakin dengan ini, maka kita juga akan sulit mengenal Allah. Sebab
dikarenakan kita tidak memiliki referensi sifat kasih dan sayang-Nya dalam diri
kita. Ketika kita tidak mampu mengenal Allah, maka
selanjutnya kita akan sulit khusuk dalam sholat.
Sungguh bagi sebagian orang, menemukan dan
mencari referensi kasih sayang Allah di dalam dirinya, merupakan perjuangan
yang melelahkan, mendaki lagi sukar. Banyak kesadaran lain yang menghijab. Banyak
sekali kesadaran lain yang ikut di dalam dirinya akan melakukan
pengingkaran-pengingkaran, Bahkan mungkin akal , mungkin jiwanya sendiri juga
akan melakukan pengingkaran, sehingga hati sulit sekali mendapatkan hal atau
keadaan seperti keadaannya. Yaitu keadaan rahsa di dada seperti dimaksud ketika
Allah melimpahkan kasih sayangnya. Apakah kita mengerti dan memahami
bagaimana keadaan tersebut ?. Tentunya kita harus belajar mengenali, belajar
untuk mendapatkan contoh rahsanya, dengan suatu mujahadah yang tak kenal lelah,
agar nantinya tidak salah lagi.
Kita harus terus istikomah, melewati fase-fase
awal. Kesadaran-kesadaran yang berada dalam diri kita secara perlahan tapi
pasti akan di singkap, bagai mengupas kulit bawang, selapis demi selapis. Yakinlah,
dengan mengenal Allah melalui sifat kasih sayang-Nya saja kita sudah akan mampu
menjalani kehidupan beragama dengan tenang, puas dan ridho. Inilah pengajaran
yang sederhana namun tepat guna dan manfaat. Bila orang tua kita hanya
mengajarkan ‘Bismillah’, maka masuki saja lebih dalam. Insyaallah
dengan ini, kita akan mampu mengerjakan dan mendirikan syariat dengan lebih
ringan, lebih ikhlas dan sabar. Agama selanjutnya tidak menjadi beban kita
lagi. Insyaallah beragama dan berkerja akan sejalan. Meskipun penguasaan agama
kita hanya sedikit.
Berguru Kepada Allah
Masih banyak yang harus disingkapkan, perihal
bagaimana pengajaran Allah, bagaimana keadaannya jika kita berguru kepada
Allah. Sungguh luar biasa pernyataan yang di usung Ustad Abu Sangkan.
Dalam bukunya Berguru Kepada Allah. Meski menabrak logika berfikir umat Islam,
dan mendobrak ‘mainstream’ yang begitu kuat.
Nyatanya pemahaman ini secara perlahan mampu diterima masyarakat.
Meski pada awalnya banyak penentangan di sana-sini. Lambat laun,
masyarakat mampu melihat dengan jernih kemana muaranya. Pemahaman ini secara
tidak langsung telah melahirkan paradigma baru dalam konsep berfikir tentang
Islam itu sendiri. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya atas diri
beliau. Amin
Dalam perjalanan Berguru Kepada Allah,
manusia akan diperjalankan, dan di ajarkan bagaimana memahami dirinya sendiri
terlebih dahulu. Terutama adalah bagaimana manusia mampu memahami
dualitas rahsa yang telah disusupkan oleh Allah kepadanya. Rahsa pada jiwa yaitu kefasikan dan ketakwaan.
Manusia harus mengenalinya. Membedakannya bagaimana sensasi rahsa bila kita
berada dalam makom kefasikan dan bagaimana juga keadaan
sensasi rahsa di jiwa ketika kita berada di makom ketakwaan.
Sungguh kita harus mampu membedakan keadaan ini. Agar kita tidak tertipu.
Manusia secara perlahan diminta mengenali rahsa
takut, rahsa syukur, rahsa takwa, tawakal, iman, sabar, harap, dan lain-lain,
dan berikut dengan dualitasnya, yaitu rahsa kebalikannya. Digulirkan juga rahsa
senang dan sedih, gembira dan nestapa, sukses dan kecewa, dan bagaimana
memaknai hikmah diantara dua rahsa itu. Kemudian bagaimana juga
menetapinya, rahsa yang bagaimanakah yang bersumber dari daya Allah. Semua akan
diajarkan satu persatu. Begitu dahsyatnya pengajaran itu, hingga sangat terasa
di badan. Sebagaimana halnya sampai-sampai pada dada Rosululloh
ketika sholat seperti ber-gemuruh, saking dahsyatnya, hingga terdengar oleh
orang di belakangnya. Maka ketika kita diajarkan rahsa ini, sungguh
kita harus istikomah dalam keyakinan kepada Allah. Gemuruh di dada dan
bagaimana sensasinya begitu luar biasa, benar-benar akan melumpuhkan
dirinya. Bagai gelombang tsunami yang akan melemparkan apa saja. Bagai
radiasi yang akan meluluh lantakkan apa saja yang terpapar. Semua
menimpa raganya. Maka bagi manusia hanya ada satu jalan, hanya kembali kepada
Allah. Tidak ada jalan kembali. Apakah dia akan menjadi kafir setelah beriman
?. Itulah taruhannya. Jika dia berbalik, sungguh siksaan Allah amatlah
pedih.
Kemudian manusia juga akan diajari bagaimana membedakan
sensasi bagaimana jika kita takut kepada Allah dan bagaimana juga
ketika kita takut kepada selain Allah. Demikian juga untuk
rahsa cinta. Bagaimana sensasi rahsa ketika kita cinta kepada Allah dan ketika
kita mencintai selain Allah. Dengan mengenali sensasi rahsa ini (dzauq), manusia
akan mengenali daya(kasyaf) yang menimbulkan sensasi tersebut. Karena
hakekatnya rahsa hanyalah sebuah efek atas bekerjanya sebuah daya saja. (Lihat Kajian Sebelumnya perihal DAYA ini).
Sebuah rahsa panas yang dirimbulkan oleh alat
pemanas, atau bohlam lampu misalnya, akan terasa bedanya jika daya listrik yang
menghidupkannya berasal dari daya PLN ataukah bersumber dari daya sebuah
battery. Jika dari PLN akan lebih konstan namun jika dari baterry dayanya
semakin lama akan meredup sehingga nyalanya (panasnya) akan tak beraturan.
Sensasi ini terasa nyata dan akan beda sekali bagi yang mampu merasakannya.
Inilah perumpamaannya. Begitulah cara mengenali sebuah daya. Apakah daya dari
Allah ataukah daya dari selain Allah. Kita mengenali dari sensasi rahsanya
(dzauk).
Kemudian setelah kita mengenalinya, maka kita
akan mendapatkan referensi atas rahsa yang dimaksudkan. Allah akan memberikan
contoh rahsanya yang benar (hal). Bagaimana rahsa yang sungguh-sungguh benar.
Kita akan memiliki keyakinan yang kuat tentang kebenaran yang dimaksudkan-NYA.
Tanpa rekayasa apapun. Betul-betul seperti di tarok saja. Setelahnya, kemudian
manusia harus mengupayakan dirinya agar menempati makom tersebut, berdasarkan
referensi yang sudah didapatkannya itu. Inilah perjuangan yang terus menerus,
hingga manusia mampu mencapai makom yang dimaksudkan. Begitus seterusnya
sehingga tercapailah kearifan puncak. Menjadi manusia yang (menjadi)
rahmat semesta alam.
Penutup
Maka keadaannya,
hanya dengan mengucapkan ‘˜Bismilahi rohmani
rohiem’™ saja, ahli kitab
tersebut sudah mampu memindahkan singgasana Ratu Bilkis. Sesuai permintaan Nabi
Sulaiman. Begitulah yang diberitakan Al qur an. Sebab karena orang tersebut
sudah mampu mengkondisikin dirinya dalam (suasana) hal dimana dan bagaimana
keadaan suasana itu, saat (ketika) waktu sama
dengan nol (t=0). Bagaimana sensasinya, dimensinya, dan bagaimana juga
keadaannya dia sudah tahu dan sudah menjadi realitas bagi dirinya. Maka
ketika orang tersebut sudah memiliki referensi sebagaimana hal ketika waktu
sama dengan nol, (realitas keadaan tersebut) maka dia dengan mudahnya (masuk)
berada dalam kondisi tersebut.
Ketika dia sudah
dalam kondisi tersebut, (sama halnya) bagi dirinya waktu sudah sama dengan nol
(t=0) maka selanjutnya mudah saja bagi dirinya berada dimana saja, dan berbuat
apa saja, karena bagi dirinya segala sesuatu sudah tidak berjarak dan tidak
bermassa lagi. (Lihat Kajian Misteri Sang Waktu). Maka sesungguhnya dia akan mampu
melakukan segala sesuatu dengan sangat mudahnya, seperti mengkedipkan mata
saja. Melakukan semua itu sebagai kewajaran, sebagaimana matahari
yang selalu terbit, melakukan dengan kerendahan hati. Sebuah kearifan puncak
manusia. Begitulah hakekat Ilmu Laduni. Begitulah (rahasia)
kebesaran hikmah atas kita-kitab Allah, bagi orang yang mengetahui. Inilah
pemahaman saya, maka kembalinya kepada sidang pembaca memaknainya. Selamat Mencoba. Wolohualam.
Salam
Komentar
Posting Komentar