Kisah Spiritual, Berjalan Diantara Bintang-bintang
Langit tak ber-rahsa
Melangut, duduk tafakur.
Sajadah terhampar di kaki, langit serasa tak bertepi. Duduk merengkuh, merapat antara perut dan kaki. Tangan menjulur ke depan,
terkepal erat. Kepala terduduk dalam menyentuh dada. Diam dalam kontemplasi,
diantara nafas yang kadang mengencang, kadang perlahan dan kadang
tersengal. Menggumpal sejuta rahsa. Sakit tersudut diantara relung dada sebelah
kiri.
“Benarkah aku telah beriman..?.” Tanya lirih nurani, dalam gumamnya yang
tak jelas.
Langit masih seperti
kemarin. Melipat malam yang serasa tak ber angin. Diam dalam
bahasa. Diam dalam nada. Diam dalam irama. Diam dalam tasbih
semesta. Sesekali suara mobil melintas. Hari belum menjemput pagi. Helaan nafas memberat, semisal bongkah bara yang siap memberangus
apa saja. Semisal lahar api yang membakar diantara tulang-tulang iga.
“Bukankah aku masih dalam fitrahku..?.”
Tanpa terasa air mata
menetes membasahi tulang pipi yang mulai mengkerut menahan sakit dari dada
kiri.
“Dimanakah aku sekarang..?. Benarkah aku mengenal
MU..?. “ Lirih bertanya, mengusap keringat yang berjelaga.
Satu pertanyaan, mampu di
selesaikannya, dua pertanyaan masih dapat di uraikannya, tiga pertanyaan masih
bisa di maknainya. Dan seterusnya. Satu demi satu pertanyan mengalir
bagai air bah. Membanjiri otak kanan dan kiri, terus meluas ke dada sebelah
kiri, kemudian merayap ke dada sebelah kanan. Tak disadarinya apabila otot
bisep dan trisep pun mulai mengejang, diikuti otot dada kanan dan kiri. Merayap
ke kepala menimbulkan getaran ribuan semut. Seluruh badan terasa dialiri
listrik. Kontrakdiksi di dalam hati, telah merobek malamnya yang sepi.
“Bukankah tak akan Engkau biarkan seseorang
mengatakan dirinya ber iman, sebelum datang ujian yang benar kepada dirinya..?”
Argh..!. Di katupkannya
bibir atas dan bawah, gigi geraham merapat, menimbulkansuara
gemeletak halus. Dan tanpa disadari bibir bawah telah tergigit mengeluarkan
darah yang terasa agak manis di lidahnya.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami
telah beriman”, sedang mereka tidak
diuji lagi? .” (QS.
29:2)
Berulang dan diulangnya
lagi, beberapa ayat tersebut yang terus ber putar di kepala. Satu demi satu,
kata demi kata, baris demi baris, hingga menggumpalkan makna dalam relung dada.
“Benarkah telah kering, kasih sayang di
jantungku. Hingga tak mampu mengerti ini. Bukankah ujian adalah kasih sayang
Allah kepadaku..?. Layaknya musim ini ber kaca pada sifatku..heeh. ?.”
Bergumam lirih, seakan tak
ber tenaga. Pasrah dalam retorika dan takzim bedoa. Benar musim ini
telah memasuki musim hujan, dan seperti biasa disana sini banjir mulai terasa.
Air mata memang telah membanjiri relung dada. Menimbulkan sesak disana.
Satu demi satu ujian silih
berganti, mendamparkanya. Wanita, selih berganti menggoda, harta hilang lenyap bagai air
bah, tahta hanya selintas kemudian pergi. Semau bagai gelombang kejut, menyentakan rahsa dalam
angan terliar. Menyisakan perih dan nelangsa. Sedih, duka, marah , kecewa, lara
dan cinta, berguliran menghantam akal dan logikanya. Diperjalankan dirinya diantara itu semua. Kesadaran demi kesadaran silih berganti. Menjadi
wajah-wajah tampilan manusia. Adakah masih tersisa iman di dada..?.
Telah diperjalankan dirinya
melihat kekuasaan Allah diatas muka bumi. Telah dikenalkan dirinya dengan
Islam. Di kenalkan dengan sholat. Telah dketahuinya bagaimana cara ber makrifat.
Sekarang dirinya telah kenal dengan Allah. Dia telah kenal dengan Tuhannya.
Tuhan alam semesta ini. Dia juga telah memahami bahwa tiada daya upaya selain
Allah. Lalu apalagi..?. Apakah dirinya telah beriman..?. Apakah itu
cukup..?. Bilamanakah dikatakan ber-iman..?.
“Apakah juga masih kurang..?. Sementara puluhan
tahun dirinya telah menekuni makrifat dalam tapak spiritualnya. Lantas
kenapakah harus diuji lagi..?. Duh !.”
Semakin di tekuknya badan
menyentuh kaki, semakin disadarinya bahwa upayanya selama ini dalam ber
makrifat dalam mengenal Allah tiada juga akan mampu menyaingi Iblis yang telah
mengenal Allah sebelumnya. Doa Iblis di kabulkan oleh Allah. Inilah yang di kisahkan
Al qur an. Bagaimana dengan
dirinya..?.
“Apakah doaku juga di kabulkan-Nya..?. Apakahkeadanku layak untuk berdoa ?.” Dia
menggeleng tak pasti.
“Bagaimana dengan doa Iblis yang dikabulkan-NYA. Iblis
memohon umur panjang, memohon kekuatan, memohon kekuasaan atas manusia, semua
dikabulkan. Kalau begitu, bukankah aku malahan tidak lebih
baik dari pada Iblis, dalam konteks ini..?.” Dia tersudut dalam keraguannya. Pertanyaannya
menggumpal di dada.
Akhirnya dia pun menangis,
menyesali diri. Menangis tak berkesudahan hingga menjelang pagi. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan : “Kami telah berimanâ€, sedang mereka tidak
diuji lagi? .” (QS. 29:2)
Sungguh, apakah dia akan
mampu bilamana datang ujian pada dirinya..?. Apakah dia akan mampu menjalankan
perintah dan larangan-Nya?. Perintah dan larangan-Nya, yang melekat dan menyertai , bersama ujian yang akan
dialaminya..?. Apakah dia akan tetap mampu bertahan dalam gulat rahsa marah,
nelangsa, cinta dan sejuta rahsa lain-lainnya..?. Semua rahsa yang akan ber
gulir bergantian bagai malam dan siang, silih berganti menyambangi relung
dadanya. Menikam dan menghujamnya rahsa ketika saat datang dalam sanubarinya , heh..meyakitinya
!. Dan Ironisnya, dia sendiri tak mampu berbuat apa-apa.
Tak mampu mencegahnya.
Maka mampukah dia menahan semua perih, nelangsa dan semua bangga, semua
gelora di dada ?. Sementara dirinya sendiri tak mampu berbuat apa-apa untuk
menolaknya. Sebagaimana seorang bayi yang hanya mampu menerima asupan makanan
apa saja dari ibu-nya. Tanpa bisa mencegah, apalagi membantah. Mampukah dia
menahan, balutan rasa yang mampu mematahkan tulang iganya. Maka
tunggulah saat ujian rahsa datang dalam balutan harta, tahta
dan wanita !. Akankah dirinya mampu
?.
Apakah
dirinya akan mampu bertahan dalam rahsa iman-nya.?. Saat ujian diberikan
padanya. Apakah tetap teguh dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya !?.
Ataukah dirinya akan sebagaimana Iblis yang
malas menuruti perintah Tuhannya..?. Iblis yang banyak membantah perintah
Tuhannya..?.
Ugh..!.
Angin hanya diam. Semua
dalam tataran kesadaran. Begitulah pergulatan anak manusia. Layak
saja jikalau kemudian dia menangis dalam ke tak mampuan dirinya. Jikalau dia
sendiri tak yakin dengan keteguhan imannya.
Berjalan
diatas bintang
“Disini aku tengah tengadah ke langit. Berjalan
diatas bintang-bintang.
Bersembunyi dari
bayang-bayangku sendiri, yang kusimpan di atas bukit..
Telah ku coba untuk
melupakan-Mu, disetiap hela nafasku.
Melupakan semua yang telah
Kau goreskan dalam telapak tanganku.
Dan kuyakinkan diri bahwa
aku tercipta memang karena harus tercipta.
Tetapi yang kurasakan kemudian. Hidup seperti
tak berarti lagi
Sekarang datanglah Engkau bersama angin. Agar setiap waktu aku bisa menikmati kasih-Mu. “
Sekarang datanglah Engkau bersama angin. Agar setiap waktu aku bisa menikmati kasih-Mu. “
(Bait syait Ebiet G Ade)
Hik..!. Siapakah diri yang
luput dari kontrakdiksi di dalam. Dalam kegamangan atas takdir-Nya..?.
Dimanakah Tuhan ?. Ketika diri diliputi rasa takut. Dimanakah Tuhan, ketika
kita takut kepada musuh, rasa takut kepada debt collector, rasa takut kepada
rejekinya, rasa takut dianiaya, dan sebagainya dan sebagainya.
Siapakah diri
yang tidak akan sedih dan nelangsa, hidup tiada cinta, hidup tiada kasih, di
tinggal mati, kehilangan sanak atau saudara. Atau siapakah diri yang tidak
dalam kontrakdiksi di dalam hatinya. Mempertanyakan semua..?. Dimanakah
Tuhan..?. Jika harta bendanya lenyap dalam sekejap, bangkrut atau apa sajalah
namanya. Kehilangan posisi, kehilangan jabatan, dan lain sebagainya. Hidup
rasanya, inginnya bagaikan berjalan diatas bintang-bintang. Semua ingin serba
tersedia dalam keinginannya.
Namun, di bumi
ini, Tuhan nyata-nyata telah menyengaja melakukan itu semua bagi
manusia. Menguji manusia dengan rahsa semua. Huk..!. Semua rahsa pasti akan di
cobakan Tuhan atas diri manusia. Rahsa takut, sedih, senang, nelangsa,
duka-lara dan cinta, juga rahsa lain-lainnya. Menimbulkan banyak polemik serta
kontrakdiksi bagi diri anak manusia sendiri. Sebagaimana juga dalam diri lelaki
itu, sepertinya tengah mengalami kontrakdiksi di dalam.
Bagaimana dirinya menetapi dan melakoninya. Entahlah..
Di penghujung waktu. Telah
berpuluh kota selama dua tahun ini telah di singgahinya. Telah berjalan di muka
bumi ini sepanjang negri. Berjalan dari sudut yang satu ke sudut lainnya lagi.
Bediri diatas tonggak-tonggak prasasti yang telah melahirkan kesadaran negri
ini. Kesadaran yang telah memberikan warna bagi dinamika anak manusia di
nusantara ini. Dari mulai makam para wali, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Kalijogo, juga makam para wwali lainnya. Makam para Syekh dan lainnya, kemudian makam para pejuang dan juga para pahlawan.
Dari Imam Bonjol hingga ke makam Ibu kita Kartini, serta masih lainnya
lagi. Belum lagi makam para tokoh-tokoh agama yang memperjuangkan kesadaran
Islam di setiap kota, tak lupa juga disinggahi.
Diseling diwarnai oleh
kisah lainnya dalam perjalanannya itu, yaitu kisah sisa-sisa
hancurnya kota itu, hancurnya suatu negri hingga melahirkan peradaban lainnya
lagi. Diantara kota-kota tua dan mati, yang di kelilingi benteng-benteng
sisa-sisa Belanda dan Portugis. Diantara ramainya kota, kumuh dan kusam, bising
penuh dengan nafsu kebinatangan. Diantara geriap sepanjang jalan. Dengan sabar
berjalan dan memaknai apa yang tersurat dan tersirat di dalamnya. Perjalanan
di muka bumi tengah di lakoni. Dalam kesendirian jiwanya.
Dia sendiri tidak pernah
tahu, kenapa dirinya di perjalankan seperti itu. Melihat secara nyata, bukti
sejarah bahwa di jaman dahulu di kota-kota yang disinggahinya itu, pernah
lahir pemikiran-pemikiran baru yang pada gilirannya telah melahirkan
kesadaran-kesadaran penyertanya. Sebuah kesadaran yang mengawali lahirnya
peradaban manusia di nusantara ini.
Mulai dari Bangka Belitung,
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa tengah, Jawa Barat, jawa Timur, dan masih
banyak juga lainnya. Dia telah berjalan diantara kota-kota
yang dahulu di kisahkan pernah menjadi tonggak ber-sejarah yang
melahirkan peradaban nusantara. Cikal bakal terlahirnya Indonesia.
Menyusuri
reruntuhan Majapahit, Pajang, dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di
sekitarnya. Di Ambon, Maluku, Samarinda dan juga kota-kota lainnya. Semua
menyisakan cerita tentang sebuah bangsa yang pernah jaya dan berkuasa. Banyak
romansa kisah cinta anak manusia, semisal kisah cinta Raden Inu Kertapati dan
Dewi Chandra Kirana. Semisal cerita tentang Babad Tanah Jawa, kisah tentang
perebutan kekuasaan dan lainnya. Begitulah dongengan yang pernah ada dalam
kesadaran anak bangsa di bumi tercinta ini.
Begitu juga terekam dalam
kesadaran kita, penguasaan suatu kaum atas kaum lainnya. Bangsa kita dijajah
oleh bangsa lain. Kisah itu banyak menyisakan banyak kisah dan romansa
tersendiri. Kisah tentang hakekat rahsa yang bergulir di setiap masa.
Rahsa yang melahirkan kesadaran, pada setiap anak manusia yang mengalami
kejadian itu satu demi satu. Menyisakan misteri, menyisakan sakit hati,
menyisakan patriotisme, menyisakan dendam, menyisakan pengkhianatan,
menyisakan kesadaran kolektif anak bangsa hingga kini. Menorehkan sejarah dalam
peradaban nusantara. Menciptakan tatanan peradaban sebagaimana yang dapat kita
lihat sekarang ini. Bangsa yang tersakiti, bangsa yang penuh dengan dendam,
bangsa yang haus kuasa, tahta dan wanita. Bagaimanakah ceritanya..?.
Begitu juga terekam dalam
ingatannya, perjalanan tentang cinta. Tentang anak manusia yang terpisahkan
dalam duka. Tentang kisah yang saling menyakiti dalam bauran dinamika kota.
Dalam kebengisan nurani anak manusia. Kadang menangis di dalam senyuman. Dan
kadang tersenyum di dalam tangisnya. Begitulah kejadiannya. Nuansa dualitas,
yang selalu kontrakdiksi, dari manusia ke manusia lainnya, hingga melahirkan
sebuah paham, sebuah kesadaran suatu kaum, paham suatu suku.
Kesadaran dalam
pemahaman tentang kasih sayang, pemahaman tentang cinta, pemahaman tentang
harta, tahta , wanita, tentang akhlak, tentang norma-norma, tentang perilaku, tentang
adat dan istiadat, tentang semua. Semua melalui masa, melalui sang waktu.
Kesadaran yang terlahir atas bersama sang waktu beserta kejadian-kejadian yang
mengikutinya. Terekam dalam sebuah kota, terekam jejak dan tapaknya, yang dapat
kita telusuri. Ada Ibu kita Kartini, ada Pangeran di Ponegoro, ada Para wali,
ada Imam Bonjol, Parqa Raja, ada rakyat jelata dan ada lagi lainnya. Sayang
sekali begitu sulit memaknai semua itu. Bahkan dirinya tersaput, dalam arus
yang tak menentu bersama cinta dan sakit hati, yang melatari.
Hingga kini kenapa dirinya
di perjalankan seperti itu, dia tidak mengerti. Dia hanya mengerti,
dirinya tengah berjalan diatas rahsa. Dia tengah berjalan sambil bersembunyi di
balik kulitnya sendiri. Mencoba mengkisahkan lagi. Bagi dirinya dan orang lain.
Kisah dibalik kisah sebuah kota yang di lalui.
Melangut, duduk tafakur.
Sajadah terhampar di kaki, langit tak bertepi. Duduk merengkuh,
merapat antara perut dan kaki. Tangan menjulur ke depan, terkepal erat. Kepala
terduduk dalam menyentuh dada. Diam dalam kontemplasi, diantara nafas yang
kadang mengencang, kadang perlahan dan kadang tersengal. Menggumpal
sejuta rahsa. Sakit tersudut diantara relung dada sebelah kiri. Ketika saat
memaknai semua rahsa.
“Benarkah aku telah beriman..?”.
“Benarkah bangsaku telah ber Islam..?.”
Tanya lirih nurani, dalam
gumamnya yang tak jelas.
Bagaimana nasib bangsa ini, jika begini keadaannya ?. Ugh..!.
Bilakah nusantara baru sudah saatnya ?. Dan pertanyaan itu seperti menggantung di awan.
salam
Komentar
Posting Komentar