Kajian Al Dzauk 1, Mengapa Manusia Harus Diuji ?
Keresahan
dalam Jiwa
Pokok pinus di tengah hutan
terduduk ia sendiri
menjerit tak bersuara
Angin gunung basa-basi
menyapa dan terbang entah ke mana
Jalan setapak terbungkus kabut
darahku dan jiwaku
menyatu ditelan bumi
kerlap-kerlip kunang-kunang
memancarkan kebisuan
Di sinilah, di dalam dada
menetes temurun cintaku bara hidup
Di sinilah di dalam jiwa
mengalir hasratku mengikuti petunjukMu
mengikuti petunjukMu
terduduk ia sendiri
menjerit tak bersuara
Angin gunung basa-basi
menyapa dan terbang entah ke mana
Jalan setapak terbungkus kabut
darahku dan jiwaku
menyatu ditelan bumi
kerlap-kerlip kunang-kunang
memancarkan kebisuan
Di sinilah, di dalam dada
menetes temurun cintaku bara hidup
Di sinilah di dalam jiwa
mengalir hasratku mengikuti petunjukMu
mengikuti petunjukMu
(Dimanakah Matahariku by Ebiet G Ade)
Masih
gundah hati, mencari jawaban atas ujian demi ujian yang men dera. Masih belum
ada jawaban untuk apakah kita di uji. Apakah benar ini ujian yang datang
atau-kah malahan azab. Azab sebagaimana orang-orang terdahulu, yang
menyekutukan Tuhan. Sakitnya tak ter peri, gamangnya sampai hilang kendali.
Memaksa jiwa, memaksa raga, untuk menetapi. Apakah seperti ini jalan menggapai
tangan- Illahi.
Mengapa sepertinya, saat kita ingin mendekatkan diri kepadanya,
masalah demi masalah, problematika demi problematika hidup seperti silih
berganti. Mengapa rasa seperti di aduk-aduk mengungkit raga. Timbul tanya,
apakah perjalanan ini meski kulanjutkan. Ataukah meski berhenti disini ?. Nanti
rahsa apalagi yang mesti ku alami ?.
Aku terantuk sebatang dahan
melintang di depanku
menghentikan pengembaraan
Tanda tanya, gundah hati
kapankah akan terjawab?
melintang di depanku
menghentikan pengembaraan
Tanda tanya, gundah hati
kapankah akan terjawab?
Aku
berjalan hanya dengan mata hati,
bernafas hanya dengan tekad
Aku mendaki penuh dengan teka-teki
Di manakah matahariku?
(Dimanakah Matahariku by Ebiet G Ade)
bernafas hanya dengan tekad
Aku mendaki penuh dengan teka-teki
Di manakah matahariku?
(Dimanakah Matahariku by Ebiet G Ade)
Begitu
lelah pengembaraan, begitu penat rasa di badan. Akal fikiran, jiwa dan sukma,
diam mencari jawaban. Dimanakah seberkas cahaya, yang menyinari jalan. Bilakah
mundur kembali kebelakang..?. Mestikah aku berjalan lagi, sementara ujian
datang silih berganti, mengaduk semua rasa di dada, yang hingga detik ini masih
menyisakan banyak tanda tanya di hati. Bilakah ku diam saja. Aku meski mencari
jawaban.
Ujian adalah kasih sayang Illahi, atas diri kita. Sepertinya kita
sulit mengakui ini, membenarkan statement ini. Kasih sayang yang mana..?. Hik.
Pernahkah
merasakan di tinggal mati kekasih yang di cintai, anak, istri, atau suami.
Pernahkah mengalami kebangkrutan, dan banyak hutang..?. Pernahkah mengalami rahsa
tak diakui, dikasari, dan disakiti, sakit hati, di lecehkan, tak dihargai,
miskin, masih di tambah rasa lapar dan tidak punya uang. Adakah yang pernah
mengalami..?. Bagaimanakah rasanya..?. Apakah nikmat..?. Heh..begitu penatnya
hidup sekarang ini. Bagaimana memaknai ini kasih sayang Illahi..?.
Begitulah,
lantas kemudian jiwa berangan. Meliar dan berandai andai. Mencari pembenaran,
mencari alasan, mencari simpati di sana-sini. Jiwa merasa nelangsa, jiwa merasa
termiskin di dunia, merasa harus di kasihani siapa saja. Jiwa kemudian
menyalahkan siapa saja, menyalahkan apa saja. Menyalahkan Tuhan yang
menciptakan dirinya. Masih adalagi..?. Kemudian bagaimana selanjutnya ?.
Muncul
kontrakdiksi di dalam diri. Dimana kemudian jiwa berada di dua sudut berbeda.
Jiwa seakan-akan kemudian mengambil dua kubu berlawanan. Seakan-akan jiwa
terpisah menjadi dua nyawa. Terpecah menjadi dua suara, pro dan kontra yaitu
jalan kefasikan dan jalan ketakwaan. Adalah jalan keburukan dan jalan
kebaikan. Kemudian jiwa mau mengikuti jalan yang manakah , apakah
jalan kefasikan atau jalan ketakwaaan. Semua jalan seakan-akan sama baiknya,
sama benarnya.Semua terasa sama, semua kubu mencari pembenaran lewat ayat dan
logika manusia.
Mempertanyakan ujian yang datang padanya. Mempertanyakan keadilan
Tuhan atas dirinya. Mempertanyakan semuanya, Sebagaimana Iblis yang selalu dan
selalu mempertanyakan semua kebijakan Tuhan. Mempertanyakan keadilan Tuhan.
Kemudian
Jiwa juga sepertinya ingin , mempertanyakan hakekat rahsa yang di
perkenalkan Tuhan kepada dirinya. Hakekat rahsa yang di ujikan-Nya. Kenapakah
bukan di susupkan saja rasa senang saja, rasa bangga, rasa kuasa. Kenapakah
meski di datangkan semua rahsa yang tidak enak, seperti itu. Kenapa tidak di
uji dengan kaya raya, banyak harta, banyak wanita, banyak kuasa, sebagaimana
para Raja. Kapan dirinya di uji dengan hal-hal enak seperti itu.
Tahukah
jiwa, jika dia diuji dengan hal seperti itu, bahwa masalahnya akan sama saja.
Mungkin dia juga akan mempertanyakan hal yang sama. Meski dalam
kadarnya yang berbeda. Tetap saja , nantinya jiwa akan mempertanyakan apa saja.
Coba saja kalau tidak percaya, tanyalah orang-orang kaya dan ber kuasa. Apakah
dia kemudian bisa santai dan ber leha-leha. Apakah jiwanya juga tidak gundah
gulana, mempertanyakan semua. Mempertanyakan keadilan Tuhan..?. Sama saja
jiwa-jiwa manusia.
Setiap
jiwa akan berkeluh kesah, baik miskin atau kaya, akan senantiasa mempertanyakan
apa saja. Mempertanyakan yang Tuhan berikan kepada dirinya. Maka baik kekayaan
ataupun kemiskinan adalah ujian bagi manusia. Begitu juga kebaikan dan
keburukan adalah sama saja, ujian bagi manusia. Dimana jiwa di tempatkan,kepada
raga yang mana, itu adalah ujian bagi jiwa manusia.
Maka
masalahnya, bukanlah si miskin atau kaya. Atau si baik atau si buruk. Bukan
kepada soal di tempatkan kepada raga yang mana jiwa itu. Apakah
kepada raga si miskin atau si kaya..?. Raga si baik yang dilahirkan dalam
komunitas Islam dan bapaknya Kyai, atau si buruk yang di lahirkan diantara
komunitas pelacur, para begal, yang tidak ketahuan siapa bapaknya. Bukanlah
pada masalah itu. Masalaahnya adalah pada jiwa, siap tidak menerima takdirnya,
siap tidak dia berserah diri, mengikuti takdir sang raga yang sudah di skenario
oleh pencipta-Nya.Apakah mau mengikuti secara sukarela atau terpaksa.
Semisal
kita menaiki mobil, yang sudah di program untuk menjelajah di bumi ini. Suka
atau tidak kita harus mengikuti rute dan medannya. Tentunya rutenya tidak akan
sama, mobil tua dengan mobil mewah. Bagamana kejadiannya jika kita menolak
untuk berada di mobil tersebut..?. Padahal diri kita sudah berada di dalam
mobil itu.
Cobalah
kita ingat, saat kita menaiki mobil dengan rasa terpaksa, bagaimanakah diri
kita sepanjang perjalanan yang dilalui ?. Mampukah kita melihat keindahan di
sepanjang jalan yang kita lewati. Mampukah kita menikmati perjalanan itu..?.
Rasanya kita ingin keluar saja bukan..?. Kita ingin turun dan berganti rute
atau berganti mobil lainnya. Sayangnya itu tidak mungkin. Kecuali kita merusak
mobil itu, keluar dengan paksa. Artinya kita membunuh sang raga yang kita
tempati. Mau begitu..?.
Sukarela
atau terpaksa sang jiwa, tidak akan mempengaruhi apa-apa. Raga tetap akan di
perjalankan. Raga tetap akan tunduk kepada perintah pencipta-Nya. Sebagaimana
atom penyusunnya yang berasal dari bumi. Sebagaimana perjanjian yang diberikan
bumi. Sumpah bumi kepada pencipta-Nya. Dia akan ikut semua perintah Tuhannya
dengan sukarela. Raga tetap pada takdirnya. Maka terserah jiwa, mau suka rela
atau terpaksa.
Maka agar
jiwa manusia mau sukarela, agar jiwa juga mau berserah diri saja. Allah
senantiasa memberikan ujian-ujian, dengan mendatangkan dan mempergilirkan semua
rahsa. Agar jiwa mampu berjalan diatas rahsa-rahsa itu. Agar manusia mampu
menikmati perjalanannya di bumi ini. Jiwa akan tenang, jiwa akan ikhlas, jiwa
akan ridho. Jiwa tidak akan dipengaruhi rahsa lagi. Karena sesungguhnya Allah
tidak sedang dan tidak mungkin menganiaya hamba-hambanNya.
Nah..sudahkah sampai berita dari para Rosul yang mengajarkan
tentang semua itu..?. Layaknya kita bertanya pada jiwa..?.
Di
sinilah, di dalam dada
menetes temurun cintaku bara hidup
Di sinilah di dalam jiwa
mengalir hasratku mengikuti petunjukMu
mengikuti petunjukMu (Dimanakah Matahariku by Ebiet G Ade)
menetes temurun cintaku bara hidup
Di sinilah di dalam jiwa
mengalir hasratku mengikuti petunjukMu
mengikuti petunjukMu (Dimanakah Matahariku by Ebiet G Ade)
Simpanlah
mimpimu dalam kehangatan mentari
ketika embun masih menggantung
Pejamkan mata, rebahkan jiwa,
biarkanlah hati yang bicara
Kau tak pernah tahu kapan dukamu terobati
Meskipun hujan t'lah mulai turun
Pejamkan mata, rebahkan jiwa,
biarkanlah hati yang bicara (Biarkan hati bicara by Ebiet G Ade)
ketika embun masih menggantung
Pejamkan mata, rebahkan jiwa,
biarkanlah hati yang bicara
Kau tak pernah tahu kapan dukamu terobati
Meskipun hujan t'lah mulai turun
Pejamkan mata, rebahkan jiwa,
biarkanlah hati yang bicara (Biarkan hati bicara by Ebiet G Ade)
Perjalanan yang tak pernah usai, perjalanan spiritual manusia.
Kemanakah muaranya. Mencari hakekat dan makrifat, mencari hakekat diri. Ketika
terpanggil jiwa untuk mengenal Tuhannya. Bagaimana kejadiannya ?
Jika jiwa
telah bersiap untuk mendapat pengajaran-Nya. Maka setelahnya, Kemudian di
perjalankan diri nya di muka bumi ini. Untuk menyaksikan apa-apa yang telah di
ciptakanNya. Untuk mengasah kepedulian manusia kepada alam semesta. Alam
semesta dan se isinya, beserta makhluk-makhluk yang berjalan diatasnya. Manusia
kan diperjalankan menyaksikan apa saja. Kepedihan, kesengsaraan, kekejaman, ke
dzoliman. Keindahan, keperkasaan, kepahlawanan, kesetiaan, kejujuran. Diajarkan
melalui apa-apa yang ada dan dekat dengan diri manusia tersebut. Bagi jiwa,
akan di tujukan-Nya bahwa bumi dan se isinya di ciptakan untuk
kemaslahatan manusia. Bahwa semua itu butuh ke arifan manusia untuk
mengelolanya.
Maka
pemahaman akan hakekat tersebuti bisa di dapatkan manusia, melalaui perenungan, melalui
kontemplasi, melalui eksplorasi, melalui perjalan rohani, perjalanan jasmani,
perjalanan akal, logika, jiwa dan raga manusia. Melalui perjalanan ruh dan
entitas lainnya dalam diri manusia. Jiwa akan terus diarahkan di ajarkan
bagaimana hakekat kehidupan sesungguhnya. Sehingga derajatnya sebagai manusia
akan meningkat setahap demi setahap. Kearifannya bertumbuh setingkat demi
setingkat.
Kemudian
jiwa manusia menjadi terasah, menjadi gampang peduli menjadi gampang ber
empati, menjadi gampang khusuk. Menjadi mudah saja baginya untuk menjalankan
rukun Islam dan menetapi rukun Imannya. Berjalan di muka bumi dengan santun.
Berjalan di muka bumi dengan hatinya dengan pikirannya, bagaimana dirinya akan
melakoni hidupnya untuk kebaikan alam semesta beserta isinya. Berjalan
di muka bumi dengan sifat dan kasih sayang Nya. Inilah yang diajarkan teologi
Islam. Inilah spiritual Islam. Bagaimana umat Islam melakoni dan menetapinya.
Dalam kepenatan hidupnya, dalam dinamika dan mirisnya kehidupan ibukota ?.
Dan Dialah yang
menjadikan kamu khalifah di bumi dan meninggikan setengah kamu atas setengahnya
yang lain beberapa darjat, kerana Dia hendak menguji kamu pada apa yang telah
dikurniakanNya kepada kamu. Sesungguhnya Tuhanmu amatlah cepat azab siksaNya
dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. “(Q.S Al
An’aam : 165)
Kajian ini belum tuntas…
Mengapakah manusia mesti di uji…
Dengan guliran rahsa yang begitu menikam jiwa raga..
Betulkan ujian sebagai penanda bahwa dia akan di tingkatkan
derajatnya..
Ataukah ujian tersebut justru azab dari Allah atasnya..
Telah di tinggikan derajat sang raga menjadi raja atau manusia
berkuasa..
Bilakah jiwa juga akan di tinggikan juga…?. Bagaimanakah perilaku
jiwa..?
Bilamanakah itu ujian dan bilamanakah itu azab..?
Masih banyak tanya lainnya..
Salam
arif
Komentar
Posting Komentar