Kisah Spiritual, Bilakah Ber-spiritual Serupa Bidah ?


Meng-kayuh sampan sampai ketepian, lihatlah ombaknya menerjang, bergelombang saling susul menyusul. Manakah yang lebih dahulu sampai ?. Lihatlah, ombak yang dibelakang akan menyusul menggantikan ombak yang di depan, ombak yang di depan kemudian hilang dari pandangan. Apakah ombak yang di depan kemudian dikenang ?. Entahlah rasanya jarang ada kesadaran yang mau memperhatikan sang ombak. Semisal itulah deburan gelombang kesadaran sambung menyambung menghantam alam pikiran manusia.

Dan ketika kayuh disandarkan, perhatikanlah deburan ombak yang menghantam buritan sampan. Sampan akan bergoyang-goyang lebih keras, saat mana sampan disandarkan dan dihentikan dari lajunya. Begitulah laju jiwa saat mana disadarkan dari keadaannya. Saat mana jiwa berhenti sejenak memperhatikan keadaan raga kita. Jiwa akan bergoyang sedemikian hebatnya. Hingga kita kemudian  merasa bahwa tidak mungkin jiwa diam memperhatikan gerak alam,  adakah sesuatu yang mustahil. Benarkah jiwa tak mampu mengamati gerak alam ?. Yaitu keadaan jiwa yang khusuk ?.

Ilustrasi ini mengawali sebuah kisah panjang, perjalanan spirityual yang sangat mudah namun menjadi luar biasa sulit dan rumitnya, berpilin-pilin dalam kesadaran. Mampukah akal memahami ?.  Sebuah kadaan hal yang sering kita dengar namun rasanya sangat sedikit orang yang mampu mencapai itu. Apalagi untuk melakukan implementasinyanya didalam kehidupannya sehari-hari. Bagaimanakah keadaan diri ini saat (seakan-akan) dilihat Allah atau melihat Allah ?. Atau dnegan kata sederhana bagaimanakah laku spiritual Mas Dikonthole untuk mencapai keadaan khusuk, mampu melihat Allah ?.

Maka perjalanan itu penuh onak dan duri,  stempel bidah, kafir, sirik, dan kata-kata sejenis dengan ini sering disematkan oleh orang-orang yang mengaku ber-ilmu, orang-orang yang suci, rajin ibadah, hapal al qur an, hadist dengan sederet atribut padang pasir yang melekat pada diri mereka. Maka dengan atribut tersebut mereka menghakimi Mas Dikonthole.

Sering Mas Dikonthole merasakan perih di dada, kemana lagi dirinya mengadu jika tidak kepada Tuhannya. Berharap orang-orang disekelilingnya memahami apa yang dia rasakan. Bagaimankah sejatinya hubungan dirinya dnegan TUhannya hanya dia dan Allah saja yang tahu, sangat privacy sekali. 

Beberapa kali Mas Dikonthole disidang oleh keluarganya, oleh adik-adiknya yang mengusung paham Wahabi, satunya lagi adik perempuannya yang sudah belajar di Ngruki belajar kepada Abdulah Baasir. Sungguh saat ini Mas Dikonthole merasa sebagai pesakitan saja layaknya. Dirinya dianggap memuja, mengajarkan ajaran sesat, dan lain-lain. Masih belum cukup adik-adiknya mengadili saja, mereka semua kemudian memeutuskan tali silaturahmi dengan menyitir sebuah ayat yang seharusnya duperuntukan bagi orang-orang yang keterlaluan menghina Allah (kafir). 

"Bagimu agamamu dan bagiku agamamu.."  Inilah kalimat talak bagi persaudaraan sesama muslim. Tali yang diikat oleh Allah telah diputuskan. Hati perih dan nelangsa, merasuk sukma Mas Dikonthole. Hatinya menjerit, "Bukankah kita menyembah Allah yang sama, bukankah saya sholat sebagaimana kalian sholat, bukankah saya puasa sebagaimana kalian puasa, bukankah saya zakat sebagaimana kalian zakat, apa yang diharamkan atas kalian oleh Allah, maka sayapun mengharamkannya...Duh Allah yang Maha Pengasih, mengapa saudara-saudaraku tega memutuskan tali silaturahmi karena sebab beda pandangan saja perihal hal ghaib saja, sungguh ampunkan mereka yang tidak mengerti.." 


Berat, sungguh berat pergolakan dalam batin Mas Dikonthole, sebab permusuhan justru timbul dari orang-orang terdekatnya. Dari sahabat, dari saudara, dari istri, dan dari lain-lainnya yang justru sangat akrab dengannya. Sebagaimana juga kisah yang ingin Mas Dikonthole uraikan kejadiannya ini, sebuah kisah yang sangat biasa yang kadang luput dari pengamatan kita, namun justru yang biasa inilah yang akan menghijab jiwa kita. 


Bermula dari kedatangan dua orang tamu, yang bermaksud untuk belajar bagaimana untuk bisa khusuk kepada Mas Dikonthole. Satu orang tua dan satu lagi anaknya, terlihat masih muda, bekerja sebagai akuntan publik profesional di Jakarta. Mereka mengaku masih keturunan dari pengawal Pangeran Diponegoro. Minggu yang lalau mereka datang ke rumah, namun tidak sempat bertemu sebab salah informasi. Dihari berikutnya diadakan janjian ulang untuk bertemu saja di tempat client. Akhirnya mereka datang berdua, dijemput oleh karyawan client Mas Dikonthole. Berbincanglah mereka di lantai 2 di sebuah ruangan yang kosong. 

Setelah berbincang agak intens kemudian mereka tidak jadi melanjutkan untuk belajar. Dengan dalih akan mencari rujukannya. Mas Dikonthole sendiri sangat paham sekali sebab kenapa kejadiannya akan selalu begini. Hijab kesadaran kolektif yang begitu kuat, sulit sekali untuk dihancurkan. Instrumen ketubuhan manusia akan secara otomatis menolak semua informasi yang datang yang tidak sejalan dengan referensi yang dimiliki oleh mereka sendiri. Stigma dan stempel bid ah selalu menjadi momok umat Islam untuk berani mengeksplorasi wilayah ini. Inilah problematika umat.

Menjadi sebuah pertanyaan yang melambung diangkasa, “Khusuk itu mudah, kok menjadi sulit ?.”  Inilah pertanyaan yang sepertinya harus diulas sebagai sebuah  kontradiksi atas sebuah keadaan.

Jika kita sudah mendapatkan pemahaman, maka kita akan mengatakan bahwa khusuk itu mudah, semudah bagaimana kita menarik nafas. Karena hakaketnya khusuk itu adalah nafs kita. Nah..!.

Namun bagi yang belum mendapatkan pemahaman, maka khusuk itu sulit, sesulit kita mengenal nafas kita sendiri. Lho..?.

Menjadi sebuah anomaly kesadaran, “Lho kok mengenal nafas sendiri saja sulit ?.”

Ya, ya begitulah keadaannya. Sebagaimana debat sahabat yang datang kepada penulis. Dimana dia terus mempertanyakan, tentang methode yang penulis hantarkan kepadanya.

“Apakah itu bukan bid’ah, apakah dengan cara itu akan bisa khusuk bukankah malah akan menjadi penghalang kekhusukan kita dengan cara tadi..bla..bla..?!”  

Begitu sibuknya orang tua itu mengkomentari methode tersebut dengan membawakan dalil-dalilnya. Maka alih-alih beliau yang awalnya berniat untuk belajar bagaimana untuk khusuk, ternyata justru beliau yang mendebat sendiri. Dan berusaha mengajari bagaimana seharusnya dirinya diajari. Artinya beliau meminta diajari sebagaimana yang beliau inginkan, Pengajaran perihal khusuk sudah disiapkan oleh dirinya, dan beliau minta diajari untuk hal itu. Maka Mas Dikonthole pun hanya bengong, “bagaimana ini ?. Siapa yang belajar dan siapakah yang mengajar..?.”  Batin Mas Dikonthole sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lha, jadinya aneh bukan ?.  Ya aneh !. 

Namun jangan salah, sesungguhnya keadaan  semua orang  hampir sama seperti itu. Perhatikanlah diri kita sendiri saat menghadap Allah. Saat kita memohon petunjuk jalan lurus (Al Fatehah), saat kita memohon hidayah-Nya, saat kita memohon apa saja. Kita semua sudah membingkai dengan segala macam persepsi kita. Kita datang kepada Allah dengan keadaan jiwa yang seperti itu.

Kita memohon petunjuk jalan lurus, namun kita sendiri sudah membingkai jalan lurus itu sesuai dengan kehendak pikiran kita. Perhatikan dan amati sekali lagi, jika  keadaan diri kita terus begitu bukankah sama saja kita sedang mengajari Allah bagaimana cara mengajari kita ?. Sama saja dengan illustrasi saya diatas. Yaitu orang datang ingin belajar namun dia meminta diajari dengan apa-apa yang sudah disiapkan dalam otaknya. Dirinya hanya mau diajari sesuai dengan yang dirinya inginkan. Kalau begitu untuk apa dia mohon pengajaran ?. nah, coba amati dan perhatikanlah kontradiksinya. Ugh, Mas Dikonthole melenguh.

Mas Dikonthole hanya bertanya, “Sudah pernahkah merasakan khusuk ?.” Dan beliau menjawab  belum pernah merasakan khusuk. Maka sayapun bertasbih, sungguh memang demikianlah keadaan diri manusia. Sudah men’justifikasi’ orang lain bid ah, sirik, kafir, namun selalu lupa keadaan dirinya sendiri. Lupa bagaimana keadaan dirinya yang mungkin juga sama saja keadaannya. Inilah problematika kita umat Islam. Maka karena itulah penulis ingin menuliskan ulang lagi pemahaman ini.

Diurai kalimat menjadi berita

“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan  kembali  kepada-Nya.” [QS. 2.45-46]

Mas Dikonthole kemudian membedah makna, Surah [QS. 2.45-46], dimana menurutnya, surah tersebut membawa suatu rangkaian pemahaman ayat, yang akan saling tali temali dengan pemahaman-pemahaman lainnya. Perhatikanlah setiap kata yang sudah ter blok. Rangkaian penjelasan surah ini sangat luar biasa sekali, rangkaian pemahaman atas surah ini jika dibedah akan menjadi beribu-ribu kitab. Termasuk juga seluruh kisah yang Mas Dikonthole hantarkan adalah untuk menjelaskan keadaan hal yang dimaksudkan surah ini. Maka disinilah sulitnya.

Pertama adalah bagaimana menyikapi TAKDIR, ini saja sudah persoalan tersendiri. Maka dalam gamangnya manusia akan takdir Allah berfirman, "Dan mintalah pertolongan...". Coba lihat runtutannya, pada saat kita tengah gamang menyikapi dan menetapi takdir kita maka kita diminta untuk selalu mohon pertolongan Allah. 

Bagaimana cara memohon pertolongan?, yaitu dengan sabar dan shalat. Sabar dan shalat yang bagaimana ?, yaitu sabar dan shalat yang selalu diliputi khusuk. Maka dengan kata lainnya bahwa dalam tapak langkah kita menjalani kehidupan sehari-hari dalam menetapi takdir kita maka diri kita harus dalam keadaan selalu ‘khusuk’. 

Inilah permasalahannya, mampukah diri kita dlaam menjalani takdir-takdir kita selalu dalam keadaan khusuk ?. Sementara makna khusuk dan keadan hal khusuk saja kita belum mendapatkan referensinya?.  Bagaimanakah makna ‘khusuk’ ?. Dan bagaimana ceritanya jika kita diminta untuk selalu dalam keadaan  ‘khusuk’. Lho. ?. Mari kita teruskan. 

Kemudian dijelaskan bahwa keadaan hal orang yang ‘khusuk’ adalah orang yang memiliki visi dan misi bahwa dia dalam keadaan yakin sedang dalam perjalanan ‘menemui’ Tuhannya. Yaitu suatu keadaan dimana dalam dirinya tumbuh suatu keyakinan yang kuat bahwa dirinya disetiap langkahnya ~ mengarungi kehidupan ini sedang dalam keadaan~tengah berjalan menemui Tuhannya.  Setiap langkahnya adalah jalannya untuk menemui Tuhan. Itulah tekadnya. Disinilah fokus kita. Perhatikan statement ini !.

Satu langkah sengsara, satu langkah bahagia, satu langkah senang, satu langkah kecewa, satu langkah sukses, satu langkah gagal, pendek kata dalam setiap langkah kehidupannya dalam keyakinannya adalah dalam rangkain melangkah untuk menemui Tuhannya. Itulah visi dan misi orang-orang  yang akan mampu khusuk. Pernyataan ini harus menjadi keadaan hal, maka harus diafirmasikan dalam kesadaran diri kita. 

Selanjutnya dikatakan bahwa tidak saja memiliki visi dan misi menemui Tuhan, namun lebih dari itu adalah memiliki keyakinan bahwa dirinya akan kembali kepada-NYA. Inilah kuncinyanya. Sehingga dalam dirinya akan selalu diafirmasikan bahwasanya keberadaannya di dunia ini, hanya sebagaimana ‘journey’ saja. Menikmati kebesaran-Nya, menjadi saksi kebesaran-Nya, pendek kata dirinya selalu dalam keadaan sukacita, tidak ada khawatir dan juga tidak bersedih hatinya  sebab dalam keyakinanya dirinya seperti sedang menikmati wahana semisal Dufan saja, yang banyak sekali permainan disana. 

Ketika kita mampu mengambil setting  seperti ini, maka jiwa kita akan berada dalam keadaan fokus. Keadaan jiwa yang meyakini bahwa segala seuatu akan kembali kepada-NYA, meyadarkan sang AKU atas kepemilikan dirinya (ego) yang hanya semu. Dirinya kemudian mampu menetapi bahwasanya dia juga hakekatnya akan  kembali kepada-Nya. Seperti apa-apa saja yang nampak di mata sekarang ini, termasuk juga rasa di jiwa. Begitulah keyakinannya, fokus, dan tegak, dan lurus. Inilah khusuk. Dalam sebuah misi kembali ke jalan pulang.

Nah, kita stop, luruhkan sejenak pemahaman ini. Endapkan dahulu, masuki keadaan hal nya. Apakah itu mudah ?. Apanya yang mudah ?. Tidak, pemahaman itu sangat sulit sekali, berpilin-pilin. Sebab setiap jiwa merasa realitasnya tidak begitu. Takdir yang menerpa raganya begitu nyata. Maka manusia sulit untuk melakukan afirmasi sebagaimana pemahaman surah ini.

Karena sulitnya maka diri harus sadar, karenanya maka kemudian banyak surah, mengambil sisi lainnya,  mencoba menggugah kesadaran manusia lagi, menyergah kita agar sadar diri. Bagaimana pemahaman  hukum perimbangan, konsepsi dunia akherat, berikut  hukum surga dan neraka. semua  disandingkan kepada jiwa kita, agar jiwa tenang, bahwa tapak lakunya pasti tidak sia-sia ada hukum surga neraka yang mengaturnya. Inilah esensinya kehidupan manusia.

Perhatikanlah rangkainnya, 

“Inilah neraka Jahanam yang didustakan oleh orang-orang berdosa. Mereka berkeliling disana diantara air yang mendidih.” (QS. Al rahman 43-44)


Khabar berita ini kemudian disambung dengan sebuah pernyataan  pertanyaan;


“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?.” (QS. Ar Rahman 45)

Pada setiap informasi perihal surga dan neraka, maka kemudian akan disusul dengan pernyataan pertanyaan kepada kita, menusuk langsung kepada kesadaran kita, nikmat manakah yang kita dustakan ?.  Kemudian mari kita lanjutkan lag step berikutnya. Mari kita ulangi dengan berita surga.


“Dan bagi siapa yang takut akan menghadap Tuhannya ada dua surga.”  (QS. Al Rahman 46)


“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?.” (QS. Al Rahman 45)


Antara rangkaian setiap ayat ke ayat berikutnya, selalu menstimulasi kesadaran kita untuk terus mengeksplorasi wilayah-wilayah kesadaran diri. Bagaimana orang yang ahli neraka, bagaimana orang yang ahli surga. Bagaimana keadaan jiwa orang yang takut melihat neraka, takut hukuman Allah. Maka bagi yang beriman janganlah bersedih hati dengan takdirnya yang sekarang ini. Begitulah konsepsi syrga dan neraka dipersiapkan. 

Setelah konsepsi surga dan neraka dihantarkan, maka kemudian diri kita ditanya, maka apakah bukan suatu kepastian, atas nikmat Tuhan, jika begitu keadaannya. Ada hukum yang pasti bagi kaum yang beriman disana. Maka tetapkanlah langkah. Ketetapan langkah inilah yang akan menumbuhkan keyakinan dan keadaan hal ~ yang disebut khusuk. Maka perhatikan pertanyaan yang terus diulang-ulang ini, apakah pertanyaan ini tidak mengusik kita ?. 

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan.”  (QS. Al Rahman 13,16,18,21,23,25,28,30,32,34,36,38,40,42,45,47,49,51,53,55,57,59,61,63,65,67,69,71,73,75,77)


Masih perlu berapa puluh kali lagi  pertanyaan tersebut diulang dan diulang lagi , sehingga (sampai) kita sadar ?. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kita dustakan ?!?.” Lihatlah dan perhatikanlah betapa Tuhan sangat peduli atas diri kita, menyapa berulang kali dengan kasih sayang-NYA. Setiap diri manusia agar menetapkan dirinya di jalan yang lurus, yaitu dalam keyakinan sedang berjalan menemui-Nya dan dalam kepastian akan kembali pada-NYA. Jangan khawatir, di kehidupan ini, semua manusia akan mempertanggung jawabkan jalannya masing-masing. Jangan resah, dengan ‘penglihatan’ kita yang melihat kehidupan manusia lainnya. Semua sudah ada balasannya. Maka yakin dan tetapilah jalan menuju kepada-NYA. Jiwa harus senantiasa puas, tenang dan ridho , itu saja. Jalani hidup dengan berani sebagaimana karakter KUDA PERANG itulah khusuk. 

Sebuah Metode Ihsan
41:53. Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?
41:54. Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka.  Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.
Perhatikan surah ini selanjutnya, petunjuk Al qur an sangat sederhana sekali, seluruh proses pembelajaran selalu dimulai dari pengenalan diri sendiri. Manusia akan dijelaskan perihal tanda-tanda (kekuasaan) Allah agar manusia mampu bersyukur dimulai adalah dari diri mereka sendiri. Kemudian dijelaskan pada ayat berikutnya, bahwa menemui Allah, tidak  usah jauh-jauh.  Atau dengan cara menyiksa diri, bertapa atau lainnya. 

Jika kita dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan maka perhatikanlah keterangan berikutnya bahwa  DIA meliputi segala sesuatu. Nah, bukankah kita dalam liputan-NYA. DIA meliputi DIRI (AKU).  Perhatikan statement ini lagi !.
Kembalinya berputar-putar adalah diri sendiri lagi. Pengenalan diri lagi. Jiwa lagi , pengenalan jiwa lagi, pengenalan raga lagi. Makanya dikatakan bahwa Allah itu dekat lebih dekat dari urat leher. So, maka kemanakah lagi kita akan mengkaji, jika tidak dengan cara eksplorasi diri.   Mudah bukan ?.
Kembali Mas Dikonthole menegaskan, "Saya katakan bahwa seluruh pemahaman akan mengambil pijakan dari diri kita sendiri terlebih dahulu,  eksplorasi kesana-kemari selalu kembalinya kepada diri kita sendiri. Maka kenapakah kita harus jauh-jauh, dan berandai-anda dalam belajar caranya khusuk. Sederhana sekali.. Yaitu tinggal rasakan seluruh tubuh kita, mulai dari kaki, sampai  ujung rambut. Kemudian rasakan terus dari instrument ketubuhan,  indra kita, mata, telinga, dsb dsb. Jangan lupa juga kita punya organ dalam, maka jangan sampai tidak dikenali. Semua dieskplorasi saja"
Jika raga sudah selesai kita eksplorasi maka kemudian tinggal jiwa, bagaimana lintasan hati, bagaimana sensasi rasa, dsb..dsb. Muter-muter hanya itu saja yang harus kita lakukan. Maka dikatakan bahwa Islam itu mudah, sangat mudah sekali. Sehingga bagi orang yang ber-ilmu malah tidak percaya. Jika jalan Islam dapat ditempuh dengan jalan semudah ini dan sesederhana ini. Lha..kok ?.
Karena itu kemudian kita akan mengucapkan syukur atas semua yang sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan. semua demikian sempurna, termasuk diri kita, raga, bumi dan seluruh isinya, semua dalam kesadaran kita, sebab itulah kemudian kita mampu bersyukur. 

Maka ketika kita sudah mampu melakukan afirmasi 'syukur' berulang kepada diri kita, nanti kita akan menemukan  pemahaman, bahwa khusuk adalah keadaan hal dari syukur.  Rasa syukur yang meliputi diri kita sepanjang tarikan nafas kita akan menumbuhkan rasa khusuk . ketenangan, keyakinan, kedamaian yang sangat luar biasa sekali. Kita tidak memiliki rasa takut, khawatir atau bersedih hati. Itulah khusuk. Yaitu keadaan hal dimana kita tenang, yakin, damai, nikmat. Dalam satu kata yang sederhana dari al qur an adalah orang-orang yang diberikan nikmat (Al fatehah).

Selalu dalam keadaan 'MENGINGAT ALLAH', berdzikir disetiap tarikan nafasnya. Berbaring, duduk, berjalan, berlari, dan lain sebagainya selalu dalam keadaan 'ingat Allah'. Inilah metode Ihsan yang dihantarkan. Selalu mengamati pergerakan rahsa dibadan,kenikmatan yang tiada terperi. Maka dnegan ini kemudian kita mampu bersyukur.

Maka rangkaiannya adalah rasa  khusuk (baik dalam sabarnya maupun dalam sholatnya) akan tumbuh dihati orang-orang yang mampu bersyukur. Orang-orang yang mampu bersyukur adalah orang-orang yang meyakini bahwa dia akan menemui Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Orang inilah yang disebutkan sebagai orang-orang yang diberikan nikmat. 

Maka jika dirunut ulang yaitu orang yang diberi nikmat adalah orang yang mampu khusuk, orang yang mampu khusuk adalah orang yang senantiasa bersyukur. Orang yang bersyukur adalah orang yang yakin dan paham akan konsepsi surga dan neraka. Sederhana bukan ?. 

Nah, dari rangkaian pemahaman ini, kita sudah menemukan muaranya bahwa bersyukur adalah kunci untuk memasuki khusuk itu sendiri. Namun masalahnya mampukah kita bersyukur ?. Inilah persoalan yang selalu membelit anak manusia. Kembali nanti akan berpilin-pilin sebab kita kemudian akan berputar-putar membahas masalah TAKDIR lagi. Nah, inilah bingkai rukun, menkjadi sebab kenapa rukun Iman menjadi penting. Dalam rukun Iman keenam, kita harus mampu menerima (yakin) takdir Allah. Kemampuan inilah yang tidak dimiliki oleh umat terkini, yakin atas rukun Iman yang ke enam. Dan inilah yang terus penulis beritakan keadaan diri kita yang tidak pernah mampu menerima takdir Allah.

Maka dapatkah sidang pembaca menyatakan bahwa methode ini adalah bid ah. Jika  merasakan kaki kita, merasakan badan kita, kepala, dan seluruh instrument tubuh kita semua kita rasakan. Dan pada saat kita rasakan itu kemudian kita bersyukur atas karunianya, dan jika saat kita rasakan itu kemudian kita mampu bertasbih, bertakbir dsb. Dst..dst. Kenapa jadi mampu mengucap takbir, sebab ketika kita eksplorasi diri kita sendiri, begitu sangat luar biasanya ornament raga kita. Mau tidak mau kita akan berdecak kagum Allah hu Akbar, Alhamdulillah..dsb..dsb.  Apakah hal ini bid ah.?.
Sungguh hingga sampai saat ini, Mas Dikonthole tidak tahu dimanakah letak bid ahnya. Jika merasakan tubuh sendiri dikatakan bid ah, (ugh !). Kemudian bagaimana dengan yang lainnya. Apakah kita tidak boleh merasakan tubuh kita sendiri. Lho , kalau begitu bagaimana kita mampu bersyukur. Referensi apakah yang mampu kita bawa untuk mengucapkan syukur ?. bukankah, dari rasa yang ada didalam diri inilah kita kemudian akan mampu mengucapkan syukur. Rasa syukur yang akan terus meliputi diri kita. Keadaan inilah yang menghasilkan suasana KHUSUK.
Maka seumpama jeruk jika bersyukur adalah buah jeruknya maka rasa jeruk sebagaimana yang kita tahu (kecut, manis, nano-nano) itulah hakekat khusuknya. Maka bersyukurlah selalu dalam seluruh tarikan nafas kita, maka kita akan mampu berada dalam makom KHUSUK.  

Sungguh wacana yang dibesar-besarkan atas  bi'dah adalah bom atom yang sudah merusak kesadaran manusia itu sendiri. Seperti sebuah portal disebuah jalan. Menjadi hijab lainnya bagi  jiwa yang ingin ber serah (Islam). Menjadi keprihatinan tersendiri bagi Mas Dikonthole.

walohualam



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali