Kisah Spiritual 2, Persepsi, Hakaket Yang Diperdebatkan


Mas Dikonthole  cepat sekali menyesuaikan diri, baik dengan para santri maupun guru. Ketajaman pikiran dan   tutur katanya yang ceplas-ceplos, juga kekritisan cara pandangnya, mengundang decak kagum dari para guru. Pendek kata meski usianya baru mau menginjak 6 tahun dia sudah dikenal oleh para santri yang berjumlah sekitar 1000 orang. Bahkan Mas Dikonthole mampu merebut perhatian mbah Alim sendiri, sehingga tak jarang mbah Alim sering mengajarnya sendiri dikala senggang. Namun aneh sudah setengah harian Mas Dikonthole tidak menampakkan diri di kelas maupun di masjid. Hingga sholat isya pun dia tidak kelihatan. Hal ini mengundang ke khawatiran mbah Alim. Maka dia kemudian mencarinya.

Mas Dikonthole terlihat menyendiri menatap langit luas, menetes air matanya sejak sore tadi. Dia tidak mau beranjak dari tempat itu. Dia duduk di lereng belakang pesantren yang menghadap ke bukit belakangnya. Pesantrennya memang masih di atas bukit. Dia memandang langit luas, dia memandang mata air dari kejauhan mata air Mangli namanya. Hatinya dalam kesedihan yang sangat luar biasa. Sambil mendekap wajahnya Mas Dikonthole menangis lebih keras lagi, sesenggukan, betul-betul tangisan yang keluar dari dalam hatinya. Tanpa disadarinya, mbah Alim sudah menyaksikan dari belakangnya sambil menghela nafas, ikut meraskan keprihatinan Mas Dikonthole. “Ehemm..!.” Terdengar mbah Alim berdehem memecahkan suasana, saat itu hawa mulai dingin, waktu sudah menunjukan jam 8 malam, namun cuaca masih terang berkat rembulan yang bersinar dengan terangnya.

Mas Dikonthole menengok kebelakan, tersentak agak kaget, namun melihat siapa yang datang. Berhamburlah dia mendekapnya.

“Tuhanku  nanti bisa kalah..!.” sambil seperti berteriak, disela tangisan, dia sesenggukan menumpahkan isi hati dan kesedihannya kepada mbah Alim.   Dia memeluk mbah Alim dengan erat sekali, seperti takut kalau ditinggal pergi. Terdengar mbah Alim menghela nafas panjang.

Mbah Alim sedikit menghibur Mas Dikonthole dengan beberapa patah kata, kemudian bertanya kenapa sampai menangis seperti ini, hingga meninggalkan sholat duhur, ashar, maghrib, bahkan isya juga tidak ikut di masjid. Mbah Alim bertanya halus, penuh kasih sayang, namun terasa dalam nadanya suatu teguran yang begitu kuat sekali. Terasa oleh Mas Dikonthole.

Kemudian Mas Dikonthole bercerita. Dia tadi pagi bermain dengan penduduk di kampung bawah. Memang di kampung tersebut banyak sekali anak-anak seusia Mas Dikonthole, penduduknya sangat heterogen,  ada yang Islam, Hindu, Budha, Kebatinan (Penghayat), Kristen, ada yang mengaku tidak beragama. Keadaannya seperti masyarakat Indonesia. Mbah Dikonthole nampak menyimak, dengan penuh perhatian, cerita Mas Dikonthole.

“Bagaimana saya tidak sedih mbah..tadi saya bertemu dengan temen yang beragama Hindu, karena tau saya dari pesantren dia bertanya banyak kepada saya. Dia bertanya  siapa Tuhan saya. Saya jawab Allah. Lalu dia bertanya lagi Tuhanmu punya tangan nggak, punya kaki nggak dan sebagainya dan sebagainya. Ya, saya jawab tidak. Bener kan jawaban saya mbah “ Disela ceritanya Mas Dikontole balik bertanya kepada mbah Alim.

“Betul sekali Le, Allah  tidak punya tangan dan kaki, Allah tidak bisa dipersepsikan manusia, Allahmu itu Esa, dia Tidak beranak dan diperanakan.” Jawab mbah Alim dengan sambil tersenyum maklum pertanyaan anak-anak. Namun betapa kagetnya mbah Alim. Dipikirnya dengan penjelasan itu Mas Dikontole akan mengerti. Ternyata tangisannya semakin keras.

“Itulah masalahnya mbah, bagaimana Allahku yang tidak punya tangan dan kaki bisa menang melawan Tuhannya dia, Tuhannya dia punya tangan tangan banyak dan punya kaki. “
Mendengar jawaban itu dengan kepolosan seorang anak, mbah Alim tertawa tegelak-gelak, sampai dia memegangi perutnya sendiri.

“Ha…ha…ha…Le..Tole..kamu itu lucu. Belum pernah selama 30 tahun ini mbah bisa tertawa begini. “ 

Bagaimana mbah Alim, tidak tertawa tergelak. Konsep ketuhanan dibawa kepada pemikiran seorang anak kecil, yang sering nonton film superhero.  Dia mulai maklum mengapa Mas Dikontole menangis, konsep ketuhanan diolah dengan pemikiran seorang anak. Ya, jelas saja Tuhan yang tidak punya kaki dan tangan pasti kalah. Dia samakan Tuhan dengan manusia atau lainnya. Namun mbah Alim tiba-tiba terdiam mendadak.

Seperti ada sesuatu yang terlintas, ada ‘burhan’ dalam hatinya. Ini hikmah luar biasa di balik lelucon ini. Bukankah konsep ketuhanan yang berada di semua agama dibangun dengan pola seperti ini ?. Bukankah wujud Tuhan selalu diarahkan kepada pola berfikir manusia. Bukankah Tuhan yang ada sekarang ini selalu direka-reka oleh angan manusia.

Mbah Alim tercenung melihat kenyataan yang ada. Tuhan di dalam konsep manusia adalah Tuhan yang harus menuruti semua kehendak manusia. Jika Tuhan tidak menuruti apa keinginan manusia Tuhan seperti ini akan dibuang dari benak mereka. Kesadaran mereka menginginkan Tuhan yang selalu mengambulkan seluruh permintaan manusia. 

“Eladalah…seperti ini tho konsepsi ketuhanan yang ada..di dunia ini ?!.” Mbah Alim menarawang memasuki alam-alam kesadaran manusia di seluruh permukaan bumi ini, mecari pijakan dan referensi atas keyakianan ini. Kemudian dia menghela nafas panjang. Kemudian dia beralih ke Mas Dikontole. Dan berkata dengan bijak.

“Sudahlah Le, tidak usah dipikirkan biarkan saja setiap manusia dalam keyakinan Tuhannya masing-masing. Adakah yang pernah melihat Tuhan.” Mbah Alim menggeleng.

“Belum pernah ada satupun manusia melihat Tuhan baik mulai Adam as sampai sekarang ini. Semua manusia dalam angan-angan mereka sendiri. Seluruh manusia mampu ber-imajinasi tentang Tuhan. Dan itu wajar saja.  Tinggal sekarang kamu saja Le. Kamu harus kuatkan keyakinanmu. Allah Tuhanmu Maha Pencipta segalanya, Maha Perkasa, maka sesuatu yang bisa digambarkan dan mampu dilihat oleh panca indra  manusia pasti adalah ciptaan-Nya. Allah tidak memerlukan tangan dan kaki untuk menciptakan. Lihalah bagaimana udara bergerak. Apakah udara perlu tangan untuk bergerak. Apakah anging perlu tangan untuk mengangkat dan menghancurkan pohon dan rumah-rumah, masih banyak sekali contoh-contoh lainnya. Jangan samakan Tuhan dengan apa yang ada dalam imajinasimu. Nanti kamu akan terhijab menuju kepada Allah.” Secara perlahan-lahan, sambil terus memberi wejangan mbah Alim menanam kan tauhid dan akidah Islam.

“Tapi mbah tadi temen-temen yang beragama selain Islam mengaku. Semua agama mereka yang paling benar. Kalau mereka benar terus bagaimana dengan agama Islam kita mbah.”

Dengan mulut mungilnya Mas Dikonthole mengajukan pertanyaan. Sungguh pertanyaan polos seorang anak. Pertanyaan sederhana, namun luar biasa kesulitannya dalam menguraikan kedalamannya. Jutaan nyawa manusia sejak berbad-abad lalu telah melayang sia-sia akibat pemahaman ini. Pemahaman agama saya benar dan yang lain salah. Seorang anak kecil yang baru ber umur 6 tahun mampu mengajukan pernyataan kritis ini. Mbah Alim menghela nafas berat. Dia tercenung agak lama.

“Baiklah Le, ayo kita masuk kedalam nanti mbah jelaskan.” Maka mereka berdua bergandengan menuju ruang mbah Alim yang terletak agak terpencil di belakang aula besar pesantren Itu. Sesampai di ruangannya, kemudian mbah Alim memanggil kelima santrinya. Kemudian dia berpesan.

“Maukah kalian saya perintahkan. Perintah saya ini untuk menguji pemahaman kalian semua atas hakekat semua pelajaran yang telah kalian terima selama ini. Kalian hampir selesai. Maka kalian harus benar-benar mampu menerjemahkan keinginan saya.” Kelima santrinya terdiam, dan mengangguk dengan khidmat.

“Baik mbah, kami semua akan berusaha.” Jawab mereka.

” Besok kalian saya beri waktu satu bulan, carilah jeruk ke seluruh nusantara ini.Berjalanlah kalian seluruh ipermukaan bumi pertiwi ini. Siapa yang mampu membawa jeruk terbaik maka dia yang akan mendapatkan nilai tertinggi ”

Bersiaplah kelima santri itu untuk berangkat, dibawalah bekal secukupnya. Kemudian mereka sepakat untuk membagi diri mereka kearah 5 tempat. Ada yang menuju ke arah pulau Sumatra dan sekitarnya, Kalimantan dan  Sulawesi , Nusatenggara, Bali dan papua dan salah satunya di Jawa. Mereka kemudian berjanji akan bertemu kembali di tempat itu sebelum menghadap kepada mbah Alim.

Singkat cerita waktu satu bulan telah berlalu semua santri bergegas menuju tempat yang dijanjikan. Mereka kemudian bertemu. Setelah berbincang sejenak melepaskan kerinduan mereka. Merekapun salaing bercerita satu sama lainnya. Menceritakan pengalaman mereka masing-masing dalam rangka mencari ‘buah jeruk’ sebagaimana perintah Guru mereka yang sangat mereka hormati dan mereka kagumi itu.

Mereka bercerita begitu asyiknya, saling membanggakan diri mereka , bagaimana proses pencarian mereka itu. Bagaimana mereka bertemu perampok, masuk hutan, keluar hutan. Pernah tidak makan. Tidur di kuburan, kehujanan kepanasan. Pokoknya, mereka  mengagul-anggulkan penderitaan mereka dalam pencarian itu.

Pendek kata semua punya cerita kehebatan menurut versi mereka masing-masing. Tidak ada satupun dari mereka yang tidak bangga dengan usaha pencarian mereka yang sepenuh hati. Mereka smue dalan kebanggannya sendiri-sendiri, dalam kesombongan, dalam ego atas perjuangan, ata apa yang mereka lakukan.

Kemudian mereka satu persatu menunjukan ‘buah jeruk’ yang di dapatkan dengan susah payah itu. Ada yang membawa jeruk Bali yang besar, ada yang membawa jeruk Pontianak, ada yang membawa jeruk Sunkist, ada yang membawa jeruk Mandarin, dan ada pula yang membawa jeruk Keprok.

Begitu melihat tampilan jeruk yang berbeda. Akhirnya mereka berdebat, bahkan nyaris baku hantam. Mereka berebut jeruk yang paling baik dan paling benar adalah jeruk mereka. Mereka tidak mau dikatakan jeruk mereka itu salah. Semua dalam keyakinannya masing-masing. Akhirnya perdebatan yang nyaris membawa korban antara mereka itu mereka hentikan. Mereka sepakat membawa masalah ini kepada mbah Alim.

Bagda Isya mereka semua telah sampai di ruangan mbah Alim. Kemudian semua berkumpul disitu banyak santri yang kemudian dikumpulkan oleh mbah Alim. Termasuk juga Mas Dikontole yang duduk disebelah kanan mbah Alim. Setelah memberikan kata pembuka mbah Alim kemudian mempersilahkan kelima santrinya ini untuk menceritakan hasil pengembaraan mereka dan juga menyerahkan buah jeruk yang diminta.

Ramailah para santri bercerita satu per satu. Sama kejadiannya. Mereka bercerita ber api-api, penuh semangat. Kemudian setelah sampai kepada ‘buah jeruk’ kembali terjadi lagi. Mereka nyaris baku hantam lagi, mempertahankan jeruk siapa yang paling benar. Jika saja tidak di lerai para santri. Mungkin sjaa perseteruan kali ini pasti akan memakan korban salah satu dari mereka. Sebab sejak dari awal datang mereka sudah sangat emosional sekali. Sudah penuh persepsi. Saling curiga antara satu sama lainnya.

Mendengar cerita para santrinya. Mbah Alim menghela nafas prihatin, keprihatianan yang sangat mendalam. Manusia selalu dalam ego mereka masing-masing. Kemudian setelah mengucap slam, berdoa sejenak, meredakan suasana yang mulai memanas. Mbah Alim dengan bijak memberikan wejangan keseluruh santri yang hadir.

Kalian sudah melihat kejadian tadi. Kejadian bagaimana terjadi perseteruan antara saudara. Hanya karena ‘buah jeruk. ‘ saya ingin menunjukan hikmah kepada kalian semua. Bahwa inilah potret yang terjadi pada umat manusia. Buah jeruk tadi adalah perumpamaan agama-agama besar di muka bumi ini. Sudah dapat kalian bayangkan. Jika buah jeruk saja membawa akibat seperti ini. Bagaimana dengan agama-agama. Maka jikakalau akhirnya jatuh korban jutaaan nyawa manusia, saya sendiri maklum adanya” 

Mbah Alim menghela nafas, memperhatikan satu-satu para santrinya. Tak lupa jua dia memperhatikan Mas Dikonthole. Seperti kata-kata tersebut ditujukan khusus padanya. Mas Dikontole tercenung, trenyuh sekali melihat kakak-kakaknya jadi bermusuhan seperti itu. Kemudian dia juga menerawang mencari pijakan kebenaran perkataan sang Kyai. Dia melihat kebenaran disana. Begitulah umat manusia mengorbankan nyawa atas anggapan di dalam angan mereka. Kemudian terdengar suara mbah Alim berkata lagi.

“Baiklah, kalian semua sudah dapat mengambil hikmahnya?. Jika setiap buah jeruk tersebut kita anggap mewakili sebuah agama. Nah, dimanakah posisi Islam sebenarnya, diantara agama-agama tersebut. Tentunya Islam yang dimaksudkan pastilah  bukan jeruk-jeruk yang kalian bawa itu. Jeruk yang kalain bawa semua benar. Itulah buah jeruk. Tidak ada satupun kesadaran yang akan mengingkari bahwa jeruk kalian adalah buah jeruk. Tapi masalahnya jika kita dudukan bersama-sama. Akan kembali kembali kalian perebutkan lagi. Di daerah asalnya masing-masing jeruk akan diakui kebenaranya sebab tidak ada pembanding jeruk lainya lagi. Tetapi ketika bertemu disini. Ketika banyak varian jeruk. Maka ini akan menjadi masalah besar. Nah, adakah yang tahu posisi Islam dimana. Jeruk sebagaimana hakekat jeruk itu seperti apa ?. Adakahyang bisa jawab ?”

Semua yang hadir disitu terdiam, lengang agak lama. Para santri dalam kebingungan sendiri. Bingung sebenarnya apakah yang dimaksudkan Mbah Alim?. Mereka tak mengerti. Sebab jeruk seperti yang nampak di depan mata mereka. Itulah jeruk. Tapi mbah Alim juga benar. Jika kita pilih salah satunya. Pasti akan terjadi perseteruan lagi.

Setelah lama tidak ada yang menjawab. Akhirnya mbah Alim bangkit dan mengambil kelima jeruk tadi, membawanya ke dalam. Tidak begitu lama mbah Alim membawa segelas besar air berisiperasan (juice) jeruk. Kemudian diletakkannya di depan para santrinya. Kemudian dia bertanya kepada para santrinya.

“Kalian lihat ini apa..?” serempak para santri menjawab “Jeruk pak Kyai..!”

“Adakah diantara kalin yang menyangkal kalau ini bukan jeruk..?.” Tanya pak Kyai menegaskan lagi, dengan intonasi yang tak terbantah siapapun. Seluruh santri kemudian ‘ngeh’ mengerti. Semua manggut-manggut mendengar penjelasan mbah Alim itu. Luar biasa, hanya dengan membuat perumpamaan, semua bisa terjawab.

“  Nah, Sari Jeruk dalam gelas inilah hakekat ISLAM sesungguhnya.  Sari jeruk ini ada di dalam semua jeruk yang kalian bawa. Namun sari Jeruk ini juga bukan jeruk yang masing-masing kalian bawa. Kalian tidak bisa melakukan klain bahwa Sari jeruk itu isi dari jeruk kalian. Sari jeruk ini universal. Inilah jeruk kita bersama.”

Trelihat para santri melongo, dan tak habis pikir kenapa jadi begitu mudahnya. Menjelaskan sesuatu yang pelik ini. Mas Dikontole sedikit demi sedikit mulai paham.

“Jika kita ibaratkan kelima jeruk yang kalian bawa itu mewakili semua agama; Islam, Yahudi, Hindu, Budha, dan Kristen. Maka kalian sudah mendapatkan hikmah nya bukan ? Islam yang kalian lihat sekarang ini nasibnya sama dengan agama yang ;lainnya. Ya, seperti contoh jeruk tadi. Hakekat Islam sesungguhnya adalah SARI JERUK yang ada di dalam semua jeruk. Nah kandungan SARI JERUK pada semua jeruk, sangat tergantung kepada cara perawatan masing-masing jeruk itu sejak dari pohonnya.”

Mbah Alim ter;lihat menarik nafas sebentar. Dan meminum kopi yang sudah di sungguhjkan dari tadi.

“Islam merawat pohon jeruk dengann teknologi budi daya yang diberikan oleh Allah sendiri. Petunjuk perawatannya langsung diberikan oleh Allah. Maka Islam sebagai agama memiliki peluang lebih baik untuk menghasilkan SARI JERUK yang lebih banyak. Namun kembali kepada masing-masing orangnya, mau tidak dia merawat dan memilihara sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Jika dia tidak melaksanakan petunjuk perawatan yang diberikan. Ya, hasilnya sama saja pohon itu tidak dirawat. Sama dengan agama-agama lainnya. Inilah hakekatnya. Jadi jika agama lain merawat dengan baik dia juga akan memperoleh SARI JERUK, lebih banyak dari pada uamat Islam yang tidak merawt jeruknya. Inilah hukum keadilan Allah. Paham kalian ?.” Tanya mbah Alim dengan penuh welas asih.

“Paham kyai..!” Jawab mereka hampir berbarengan.

Mbah Alim menarik nafas lega, usai sudah dia memberikan wejangan prinsip dasar akidah dan ketauhid Islam. Dia melirik kepada Mas Dikonthole. Terlihat Mas Dikonthole masih tercenung, alam pikirannya sendiri entah mengembara kemana. Tidak ada yang tahu. Hingga para santri meninggalkan ruangan dia masih disitu sendiri. Dan mbah Alim pun membiarkan keadaan Mas Dikonthole begitu adanya.

Maka sayapun melangkah pergi, menuliskan lagi kisah lainnya lagi. Kisah Spiritual Mas Dikonthole. Wolohualam

salam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali