Kisah Spiritual, Pintu Masuk Istana Ratu Pantai Selatan


Pantai Parang Kusumo tengah malam. Langit cerah ada sedikit awan menggantung. Rembulan turun memancarkan sinar menerangi sepanjang pantai. Serombongan lelaki  tengah berjalan menuju suatu tempat. Mengarah ke perbukitan. Di sebuah batu karang yang besar.

Selang beberapa lama, mereka sampai di tempat yang di tuju.  Sesaat kemudian tampak mereka mulai bersiap duduk  semedi. Di kegelapan malam, samar mereka tengah melakukan prosesi yang tak biasa, membentuk formasi bintang pari yang aneh, sebab tidak lengkap kelihatannya. Tangan seperti tertengadah menarik sesuatu denegan kekuatan penuh, hingga otot-otot leher menyembul. Jelas terlihat diantara sinar rembulan. Tiba-tiba..

“Paman Banyak Wide, …!.” 

Terdengar suara teriakan memanggil, menghentak, keras, menyeruak diantara suara ombak. Seperti nada mau  menangis, namun  lebih mirip jeritan  seperti menahan rasa sakit di dada, dan kesedihan yang luar biasa. Kekecewaan, sebongkah nelangsa yang menyembur keluar, bagai letupan merapi. Membelah, hening  dan sepi, diantara keangkeran Pantai Parang Kusumo. Di sudut paling ujung terapit diantara bukit yang berbayang di kegelapan malam.

“Akan sia-siakah semua ini. Lihatlah para sesepuh dan pinisepuh Majapahit sudah hadir semua menyaksikan prosesi ini. Paman bisa lihat sendiri bukan ?. Berdiri di belakang kita ribuan pasukan Majapahit. Sultan Agung sendiri berkenan hadir, belum Ken Arok,  Masih ada Ayahanda Hayam Wuruk, Putri Kencono Wungu, dan masih banyak lagi lainnya, lihat sendiri sendiri Paman !. Dan Paman juga lihat Ayah anda kita yang menghantarkan kelahiran kita di dunia juga berkesempatan datang. Ingin melihat prosesi ini. Kenapa ini paman..!.“ 

Rintihan dan keluhan begitu dalam menghujam jantung. Menggetarkan urat-urat nadi. Membuat Mas Dikonthole tak mampu berucap apa-apa.
Suara kemudian sepi. Melangut saja. Seperti film yang diputar tanpa suara.  Mas Dikonthole terpaku diatas pasir, yang sesekali disapu ombak. Bulan diatas langit tertutup awan. Dan awan membentuk huruf jawa. Sebagaimana sebuah symbol. Waktu sudah menunjukan jam 2 pagi.

Prosesi puncak dari ritual selama ini. Menyongsong  bintang di langit yang akan jatuh di pantai Parang Kusumo pada malam bulan suro.  Bintang yang di kenal sebagai Wahyu Cakraningrat. Bintang itu meleset bagai meteor. Mendekati tempat mereka, namun sayangnya kemudian berbelok keutara. Hal inilah yangmembuat pemuda itu histeris tak terkendali. Kesedihan seakan-akan ingin ditumpahkan kepada Mas Dikonthole.

Nada menegur sangat keras ini, mengguncangkan batin Mas Dikonthole. Pertarungan antara raga masa kini dengan jiwa masa lalu masih terus menyisakan kegamangan pada dirinya. Pengingkaran yang tak berkesudahan. Ingin rasanya menolak peran yang dimainkannya malam ini. Namun raga seperti terkunci. Dia harus mengikuti takdirnya sendiri disini. Takdir sang raga.  Maka dalam hati kecilnya dia juga tidak mau disalahkan atas kejadian ini.

Namun masalahnya, semua orang masa lalu hadir di Pantai ini, seluruh kekuatan inti Majapahit, dalam suka cita berharap suksesnya prosesi ini. Belum Ratu Pantai Selatan yang terus membayangi dari kejauhan diantar ombak yang menggulung.Sebuah m,isteri yang tidak mungkin dilupakan oleh Mas Dikonthole sepanjang hidupnya.

Aroma magis benar-benar telah meruntuhkan nyali dan tulang-tulangnya. Sebagai orang masa kini yang terlahir dari peradaban modern. Pemikirannya masih terus dibayangi ketidak mengertian. “Mengapa semua ini terjadi pada dirinya ?. Sebuah ilusi ataukah kenyataan.” Meski sudah berjkali-kali terjawab tekai-teki ini, namun tetap saja menyisakan misteri.

Semua yang hadir disitu seperti menunggu jawaban ‘Banyak Wide’, yang tak lain adalah Mas Dikonthole. Apa yang dirasakan jika seluruh kekauatan magis tertuju pada dirinya. Dia tak mampu mendengar detak jantungnya sendiri. Betul, sebagai Banyka Wide dia adalah poengatur strategy yang di akui oleh dunia pada masa itu. Hingga pasukan mongol saat itupun percaya kepadanya, dan dengan mudahnya dapat diperdaya. Sehingga Majapahit dapat berdiri. Namun sebagai mansuia masa kini, dia bukan siapa-siapa. Bayangkan bagaimana rahsanya dalam situasi seperti itu.

Seluruh kesalahan seakan ditumpahkan pada dirinya saat sekarang ini. Menimbulkan rasa iba diri yang tak sanggup ditahannya. Seperti ada rahsa ‘haru’ dari  masa lalu yang ditarik sedemikian hebat dan menggumpal, mewujud sebagai sebuah rahsa ‘nelangsa’ yang tak terperi. Dan di malam ini semua seperti bertemu, menyatu di raga ringkih.  Ironisnya untuk berteriakpun dia tak mampu. Semua syaraf-syarafnya tidak dalam kendalinya. Ya, tubuhnya dalam kendali sang Banyak Wide.

Dia juga mengerti  jika perjalanan sudah sejauh ini. Berharap teka-teki akan terjawab tuntas di malam ini. Apakah restu illahi akan di berikan lagi kepada ‘trah’ Majapahit dari garis keturunan mereka ini ataukah masih harus menunggu lagi, dan malam ini belum saatnya. Semua diharapkan akan terjawab. Dan apa yang terjadi. Bintang itu meleset menjauhi. Seperti batal menghampiri. Padahal jaraknya diperkirakan tidak sampai 5 menit lagi. Sebuah harapan sempat meninggi kemudian hancur seketika.

Dia pandangi pemuda yang terus meratapi.  Sang Pemuda nampak dengan gerakan acak, berkali-kal menggenggam pasir, meremasnya, menjumput, sebesar bola  dan kemudian di lemparkannya ke laut. Berulang kali. Kemudian akhirnya terduduk, diatas pasir, menangis bagai anak kecil yang kehilangan mainannya.  Berkata kepada seluruh yang hadir. Menghardik, melontarkan sumpah, menangis,  berteriak dan suaranya lebih mendekati lolongan kesedihan. Sambil terus memukul-mukul pasir yang tergenang air laut.

Seluruh kesedihan orang-orang masa lalu seperti terwakili oleh pemuda itu. Teriakan, lolongan, dan histeris dalam tangisan yang meruntuhkan malam. Ditambah keangkeran Pantai ParangKusumo, dan hawa magis yang begitu dahsyat melingkupi. Membuat anginpun tidak berani melewati areal tempat prosesi. Ruang seluas lapangan bola bagai dalam ruang hampa. Alam sepertinya mengerti.

Mas Dikonthole benar-benar diliputi rahsa yang bercampur aduk, ada was-was, ada iba, ada nelangsa, ada apa saja. Ironisnya tubuhnya sama sekali tak mampu di gerakan, hanya mata dan nafas saja yang menandakan jikalau dia masih hidup. Mata yang sembab menahan kesedihan dan keputus asaan, melihat keadaan pemuda tersebut, yang nyaris seperti gila.
Akhirnya ketika malam hampir mendekati pagi. Mas Dikonthole mampu mengendalikan dirinya. Instrumen ketubuhannya sudah mau bekerja sama. Mulutny sudah bisa untuk bicara. Hawa dingin yang menutup seluruh aliran darahnya sudah terbuka.

“Dik, mungkin ini belum takdir kita. Kita datang kesini dengan personil yang tidak lengkap. Seharusnya kita menyusun diri dengan formasi rasi nintang pari. Seperti ikan pari. Satu di depan empat disamping dan dua di belakang. Teman kita yang wanita, belum siap hatinya. Dia tidak mau datang. Kita sekarang hanya 4 orang. Itupun satu orang belum mantap hatinya. “

Entah darimana kata-kata itu seperti meluncurt saja dari mulut Mas Dikonthole, banyak sekali nasehat yang keluar dari mulut Mas Dikonthole kepaa pemuda tersebut. Nasehat itu sedikit meredakan amarah dan kesedihan pemuda tersebut. Lambat laun mereda.

Bulan diatas langit, masih berkabut awan. Dan sekarang menampakkan wujud Semar, tipis di langit. Masih tembus pandang.  Mas Dikonthole pun tersenyum.” Rupanya  sang Sabdopalon ikut hadir juga disini.” Bisik batinnya pada dirinya sendiri. Perlahan awan yang sudah disaksikan membuyar seakan hanya ingin memberikan pertanda saja kepada Mas Dikonthole. Sabdopalon ingin berpesan bahwa memang itulah takdir yang harus mereka terima. Semua belum saatnya terjadi. Alam masih mengunci misteri ini untuk dirinya sendiri.

Kalupun dikatakan kecewa. Mas Dikonthole paling kecewa. Namun apa mau dikatakan, jika kejadiannya seperti ini. Kegembiraan, harapan, dan kebanggaan menggumpal sejak berangkat , hanya tinggal menunggu pembuktian saja dan sekarang harus pulang dengan keekcewaan mendalam. Dan rupanya inilah langkah terakhir Mas Dikonthole mengikuti sang pemuda. Di kali berikutnya dia harus berusaha lagi mempersiapkan diri dengan lebih baik lagi. Untuk saat-saat seperti ini.

Kekecewaan leluhur, kekecewaan semua yang hadir. Semua tertumpah kepada Mas Dikonthole. Sebagai penanggung jawab ‘event organizer’ peristiwa malam ini. Maka Mas Dikonthole berusaha menelisik jejak apakah ada yang salah dari mula keberangkatan. Maka angannya kemudian menyusuri kejadian-demi kejadiannya. Mengawali kejadian inilah ceritanya.

Pertanda alam

“Mas, di Jakarta tiba-tiba hujan turun luar biasa derasnya. Petir menggelegar disamping kantorku di lantai 24. Dan tiba-tiba saja aku terlempar ke masa lalu. Tidak ingat apa-apa, hampir 30 menit lamanya”

Begitulah sms yang diterima Mas Dikonthole dari pemuda itu. Dia adalah seorang Direktur Eksekutif dari sebuah lembaga yang bergengsi di Jakarta. Lembaga yang bertaraf International. Sms yang kira-kira sudah satu minggu sebelum keberangkatan mereka ke Jogjakarta.

Memang di saat itu hujan nampak sekali keanehannya. Tidak biasa saja. Seperti alun berirama mengikuti hati. Hujan seperti berdialog kepada Mas Dikonthole dan juga kepada orang-orang masa lalu lainnya. Hujan yang tidak wajar. Seperti sebuah pertanda yang harus di baca ini.

Anehnya, jika Mas Dikonthole mengnganggap sepi saja sang hujan, dan tidak bersapa dengannya, berkomunikasi. Sang hujan  seperti juga mengerti. Akibatnya  ketika Mas Dikonthole nekad menerobosnya, tetesan hujan itu seperti terasa sakit sekali di kulit dan jiwa Mas Dikonthole. Seperti mengalirkan informasi untuk berkomunikasi. Tetes air hujan seperti mau berbicara. Beberapa kali Mas Dikonthole mengalami kejadian itu.  Sungguh ini benar-benar terjadi. Entahlah siapa yang mau mempercayai. Mas Dikonthole seperti tidak terlalu memikirkan itu.

Banyak sekali pertanda-pertanda yang datang selain dari hujan. Maka disepakati rombongan akan berangkat ke makam Imogiri. Disana rombongan akan menemui Sultan Agung. Rombongan kali ini hanya berjumlah 5 orang dari Jakarta.  Beberapa orang nanti akan menyusul, termasuk wanita rekan mereka itu. Dia saat sekarang masih sibuk tugasnya, sebagai staf ahli mentri. Demikian juga dari Jawa tengah mungkin akan menyusul.

Diajaklah lelaki setengah baya, yang sudah sembuh dari penyakit hilang kesadarannya itu. Diceritakan, dari pernikahan dengan Nimas Pandansari, dia memiliki ajian yang luar biasa sekali. Di alam lelembut mungkin termasuk yang paling ditakuti. Disamping dirinya juga orang masa lalu reinkarnasi dari seorang Resi, yang tidak mau diungkap jatidirinya disini.
Singkat cerita rombongan yang menggunakan kereta pagi menuju Jogjakarta, tiba di stasiun sudah mendekati sore hari. Terpaksa mereka menyewa kendaraan untuk menuju makam Imogiri. Dan sampai di pesanggrahan sudah selepas isya. Merekapun minta diantara oleh penjaga ke makam menemui Sultan Agung.  Karena sudah larut malam, hanya pemuda itu yang masuk ke dalam makam. Sementara Mas Dikonthole hanya berhenti di depan pintu makam saja.

Rasanya tidak ada yang aneh, dengan perjalanan sepanjang ini. Semua lancar saja. Hanya orang-orang yang ditunggu sampai saat menjelang malam ini belum ada khabar beritanya. Sampai mereka menunggu dua jam lebih di pendopo makam Imogiri bersama para penjaga. Entah kenapa mereka smeua juga tidakl bisa di hubungi.

Akhirnya di putuskanlah bahwa mereka akan berangkat juga ke Pantai Parang Kusumo. Karena hari sudah malam. Terpaksa semua harus rela berjalan kaki, hampir dua jam lebih mereka jalan dari makam Imogiri ke Parang Kusumo, namun belum sampai juga di lokasi. Syukurlah di tengah jalan ada mobil penduduk yang mau di sewa untuk mengantarkan mereka semua. Menuju hotel di Pantai Parang Kusumo.

Mas Dikonthole mencoba menelusuri lagi, apakah ada yang terlupa. Nyatanya tidak ada sesuatupun yang aneh dengan perjalanan ini. Semua seperti biasa saja. Kejadian ini baru Mas Dikonthole ketahui setelah berbulan-bulan kemudian. (Baca Kisah Perseteruan Penguasa laut dan Gunung). Kesalahan mereka adalah mengajak lelaki yang menjadi suami Nimas Pandansari.  Hal ini baru diketahui setelah terlambat.

Setelah cek in di hotel dan tas mereka letakkan di sebuah di hotel. Mereka kemudian berjalan menyusuri pantai Parang Kusumo mencari tempat sesuai dengan petunjuk Sultan Agung tadi di makam. Yaitu tempat terujung yang di bayangi oleh bukit, ada batu yang sangat besar. Kemudian mereka berjalan mungkin hampir 5 km, menuju arah kiri dari pintu masuk. Kemudian di dapatilah tempat tersebut.

Mas Dikonthole sebenaranya agak ragu tentang tempat terseburt. Dalam mata batinnya, di balik pepohonan dan rumput yang meliar di belakangnya ada sebuah goa, dan itu merupakan pintu masuk ke kerajaan Ratu Pantai Selatan, merupakan pintu yang berada dalam kekuasaan Nimas Pandansari (Nyi Blorong). Dapat dikaatkan itu adalah istananya juga. Namun karenan keyakinan pemuda tertsebut, akhirnya Mas Dikonthole menurut saja.
Maka seperti biasa, sebelum mulai semua mempersiapan diri. Berdoa, bermunajat kepada Allaw SWT. Memohon keselamatan. Setelah selesai. Mereka semua membentengi diri dengan energi yang dimilikinya masing-masing.  Nampak pemuda tersebut menari, meliuk-liuk, seperti nada panggilan kepada para pinisepu dan sesepuh Majapahit.dan satu persatu hawa magis datang melingkupi wilayah tersebut. Waktu saat itu sudah hampir jam 12 malam.

Termasuk lelaki yang sempat hilang ingatan 25 tahun tersebut  juga berusaha membentengi dirinya sendiri.  Secara kedigdayaan lelaki ini memang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Mas Dikonthole, dia mampu mengenali satu persatu yang datang. Dia juga yang memberikan informasi kepada Mas Dikonthole, tentang siapa-siapa saja yang telah hadir disitu.

Panggilan pemuda tersebut semakin lama semakin meninggi. Menimbulkan nada frekuensi aneh di telinga. Setelah dirasakan cukup, pemuda itu berhenti. Mas Dikonthole melihat dan paham saat sekarang ini dalam tubuh pemuda itu sudah berada kesadaran manusia masa lalu. Dia berada di dalam perlindungan para leluhurnya. Kekuatan inti orang Majapahit melingkupinya.

Dia merasa kurang  yakin dengan benteng yang di buat lelaki tersebut sendiri. Pemuda itu  merasa bahwa lelaki tersebut baru saja sembuh dari sakit ingatannya. Sehingga di khawatir banyak energy yang negative yang akan berbahaya bagi otaknya. Sehingga karenanya dia perlu menambahkan benteng energy lagi. Maka dia  mengundang lelaki  tersebut ke tengah-tengah mendekati debur ombak. Mendekat kearah dirinya.
Mas Dikonthole terbersit ada yang tidak wajar, ada yang salah dengan ini. Namun dia sendiri tidak mengerti mengapanya. Ingin mencegah, namun tidak ada alasan yang tepat. Sebab pemuda itu toh bermaksud baik.

Inilah titik permasalahannya, di tubuh pemuda itu sudah melekat kekuatan para leluhur. Kekuatan para kesatria  Mjapahit, dapat dibayangkan bagaimana kekuatannya, Ken Arok, Sultan Agung, belum lagi yang lainnya. Energy mereka sudah menyatu kedalam tubuh pemuda itu. Maka ketika membentengi tubuh lelaki tersebut, energy yang diberikan berlebihan sekali. Bukan saja membentengi namun juga termasuk menyembuhkan ginjal lelaki tersebut. Sementara ginjal tersebut telah dijadikan symbol perdamain antara Penguasa Gunung dan Penguasa Laut.

Dan kebetulan lagi,  tempat yang dijadikan prosesi adalah tepat di depan istana Nimas Pandansari. Ibaratnya (seakan-akan) para kesatria seperti  menyengaja menghina penguasa laut dengan menyembuhkan bekas suami Nimas Pandansari (Ratu mereka)  tepat di depan hidung mereka. Hal ini benar-benar tidak di sadari oleh mas Dikonthole. Dia tahu ketika sudah terlambat. Dalam anggapan Nimas Pandansari, kedatangan lelaki yang pernah menjadi suaminya itu bermaksud untuk rujuk kembali.  Iniah kesalah pahaman berikutnya.
Mas Dikonthole hanya mendapatkan firast kuat, bintang jatuh yang menuju tempat mereka seperti dibelokan oleh kekuatan ghaib yang sangat besar. Ribuan orang yang seperti mendorong agar bintang tersebut berbelok arah.

Mas Dikonthole akhirnya menghela nafas, setelah menyadari kejadiannya seperti itu. Dan itupun setelah berbulan-bulan semenjak kejadian. Dan setelah terjadi terjadi pertempuran besar antar mereka. Sang Ratu Nyi Roro Kidul sendirilah yang mengatakan seperti itu. Para kesatria yang tidak menyadari, dan memang tidak berniat untuk mengingkari janji (dengan menyembuhkan ginjal lelaki itu), jelas merasa terpojok sekali. Itulah yang menyebabkan perseteruan berkepanjangan hingga kini.   Bagaimana lagi, takdir harus begitu.

Karenanya Mas Dikonthole kemudian harus berpisah dengan semuanya. Berpisah dengan  orang-orang masa lalu. Bersama takdirnya sendiri. Wahyu cakraningrat belum saatnya. Masih menjadi misteri alam ini.   Maka Mas Dikonthole sekarang menunggu, bersama mereka-mereka yang menunggu. Menetapi sang waktu. Semoga tidak terlalu lama dari ini.

Namun dengan peristiwa tersebut tersingkap sudah rahasia pintu masuk Istana Ratu Pantai Selatan, yang berada di Pantai Parang Kusumo. Mas Dikonthole suatu saat akan mencoba masuk dari Goa itu. Goa yang tak terlihat mata telanjang sebab di bentengi dengan gerbang ghaib. Berada di balik semak di sebuah batu karang yang tinggi menjulang. 

Setidaknya, bertambah sudah pengalaman ghaib Mas Dikonthole. Kisah yang hanya ada dalam mitos dan legenda, sekarang mampu dia buktikan. Keberadaan Nyi Blorong dengan istananya. Dan bagaimana dia memperdaya umat manusia dengan harta. Dia mengerti dan paham. Sungguh manusia amat lemah.

Salam




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali