Kajian Sapi Betina 7, Orang Yang Diberi Nikmat


Kenikmatan yang terindah

Masih melanjutkan ulasan perihal kenikmatan sejati. Kenikmatan apakah yang terindah di dunia ini ?. Seluruh umat manusia mencari hakikat ini. Tak terhitung banyaknya manusia mencoba mencari kesana kemari, menghambakan dirinya kepada materi demi mencari kenikmatan sejati.  Tiada satupun manusia yang mau dirinya hidup dalam penderitaan. Yaa, tiada satupun manusia menghendaki penderitaan. Tidak juga saya, kau, kita, mereka atau dia. Semua diri dalam hakikat pencarian kenikmatan sejati dalam hidup . Sehingga banyak manusia kemudian menghambakan dirinya, menjual harga dirinya demi kenikmatan-kenikmatan yang tak dimengertinya sendiri. Mencari sensasi rahsa nikmat yang tak kunjung terpenuhi. Memuja kepada ilusi, memuja angan dan imajinasi-imajinasi yang senantiasa melingkupi. Akankah terus hal ini terjadi dalam diri ?.

Pertanyaan dalam diri manusia terus menggeliat akan hal ini. Beguliran di dalam diri yang ingin mencari jalan. Dalam peradaban dalam kajian, dalam wacana, dalam pencarian jati diri manusia itu sendiri. Dimanakah kenikmatan sejati ?. Mereka terus mencari dan mencari lagi. Sekali lagi dan sekali lagi, kemudian di coba lagi dan di coba lagi. Apakah kemudian terpenuhi ?. Tidak !. Manusia kemudian kebingungan sendiri. Karena banyak jalan, banyak peradaban, banyak pemikiran, yang kemudian berkembang melingkupi diri manusia dalam upaya pencarian ini. Manakah jalan yang lurus ?. Manakah jalan yang pas buat diri ini ?. Semua bertanya tak berkesudahan. Begitu sulitkah mendapatkan kenikmatan hakiki ?. Manusia resah dan selalu gelisah di himpit beban-beban hidup, di terpa gelombang peradaban yang mereka buat sendiri. Dalam perambahan kota, tidak ada sisa ruang untuk bernafas. Kerja, kerja dan kemudian kerja lagi. Penat sekali melakoni ini.

Begitulah keadaan yang  selalu terjadi atas diri manusia. Setiap peradaban dalam kurun waktunya sendiri. Dalam dimensi dan kegalauan mereka masing-masing. Kegalauan yang sama atas hidup itu sendiri. Tidak pandang kasta, yang miskin atau yang kaya. Yang berkuasa ataupun papa, semua jiwa dalam keadaan yang sama. Resah akan dirinya. Yang beragama ataupun tidak beragama. Semua dalam keadaannya. Begitulah keadaan jiwa manusia.  Manusia di harapkan mampu mencari jalannya sendiri, mampu menentukan arah, mampu menikmati keadaan dirinya. Mampu menemukan hakekat kehidupan sejati. Hakekat kenikmatan hidup di dunia ini. Mampu menerima takdir mereka masing-masing. Sanggupkah mereka menjalani takdir mereka sendiri ?. “Aku sendiri disini terhimpit dalam takdirku sendiri”. Itu yang selalu dikatakan sang jiwa manusia. (bait syair di cuplik dari lagu Naff; Terendap darahku)

Maka manusia kemudian ber doa, di ajarkannya doa kepada mereka agar senantiasa memohon kepada Tuhannya. “Tunjukanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat “. Pertanyaannya adalah maukah manusia kemudian mengikuti jalannya orang-orang yang telah diberikan nikmat-Nya. Ketika manusia di tunjukkan jalan-Nya orang-orang yang telah diberi nikmat. Mereka kebanyakan meragukan jalan tersebut, mengingkari, mendustakannya. Sebab jalan tessebut tidaklah seperti yang diangankannya. Manusia telah ber presepsi atas jalan tersebut. Mereka sudah mengangankan jalan tersebut dalam akal pikirannya sendiri. Mereka terhijab angannya sendiri. Maka ketika datang petunjuk atas jalan tersebut, mereka mendustakannya. Mengapakah manusia begitu  ?.

Keadaan yang sama halnya, sebagaimana kita orang tua, memberitahu anak kita. Jika ingin menjadi dokter belajarlah yang baik, pelajarilah ini dan itu. Berdisplinlah dan lain sebagainya. Namun sang anak tidak percaya, sang anak tetap dalam imajinasinya, mereka malas berfikir, mereka enggan mendengarkan, sebab mereka berada dalam imajinasi pikiran mereka sendiri. Begitu juga manusia dewasa. Kesadarannya tetap tidak mau bergerak dari masa kanak-kanaknya, yang penuh imajinasi itu. Mengapakah anak kita begitu, tidak mengertikah mereka ?.

Pencarian tiada henti

Masih dalam pertanyaan nikmat seperti apakah kenikmatan sejati itu ?.  Maka marilah kita bertanya dalam diri kita sendiri;
Pernahkah kita merasakan, terbebas dari masalah yang membelit diri  ?. Bagaimanakah rahsanya ..???.
Pernahkah kita merasakan dendam dan sakit hati ?
Pernahkah kita merasakan kesedihan tak terperi ?
Pernahkan kita merasakan dihina dan di nista ?
Pernahkah kita merasakan tak memiliki harga diri ?
Pernahkah kita merasakan kecemburuan dan kedengkian ?
Pernah kita merasakan sendirian dan ditinggal pergi ?
Pernahkah kita merasakan kecewa dan malu ?
Pernahkah kita merasakan rindu dan cinta ?
Pernahkah kita terjebak nafsu rahsa ingin berkuasa ?
Bagaimana bergumpal gelisah di dada setelah seluruh rahsa berkecamuk di dada ?.
Adakah kita pernah merasakannya ....???.

Banyak sekali contoh rahsa yang membelit diri, yang tak mungkin di sebutkan satu-satu. Rahsa yang senantiasa beramain dalam kesadaran manusia. Rahsa di jiwa yang mengungkit duka lara manusia. Rahsa yang mengharu biru dan memporak porandakan kehidupan mereka sendiri. Menghancurkan  peradaban manusia itu sendiri. Nah sebaliknya, bagaimanakah nikmatnya jika kita kemudian terbebas dari semua raha tersebut ?. Nikmat ya..nikmat sekali. Seluruh beban sepertinya diangkat dan diambil dari pundak kita. Seluruh jiwa menjadi luas seluas luasnya. Menarik nafas dengan bebas dan lega. Dunia menjadi terasa indah. Hidup menjadi terasa sangat enteng dan menyegarkan sekali. Seperti halnya angin pegunungan yang bertiup di pagi hari.

Peradaban manusia dari semenjak dahulu kala sudah mengerti hal ini. Mereka nenek moyang-nenek moyang kita memahami keadaan ini. Mereka kemudian mencari jalannya sendiri Berusaha membebaskan diri mereka dari belitan rahsa dengan menjauhi hidup keduniawian. Banyak dari mereka melakukan cara dengan mencoba-coba sendiri, melalui methodenya mereka  sendiri atau mendengar dari leluhur-leluhur mereka. Banyak Raja yang mengasingkan diri, banyak manusia yang kemudian bertapa, banyak manusia yang kemudian berpantang makan, berpantang kawin. Banyak manusia yang kemudian menyepi ke gunung-gunung. Banyak manusia yang kemudian menetapi lakunya sendiri. Banyak manusia yang kemudian menghukum diri mereka sendiri, mengubur dirinya, berendam di kali, menceburkan diri di kolam yang dingin, dan banyak laku spiritual lain. Mereka berupaya menghilangkan faktor-faktor penyebab timbulnya rahsa yang bergolak dalam jiwa.

Mereka meninggalkan anak dan istri, meninggalkan jabatan, meninggalkan seluruh harta benda yang mereka punya, mereka menjauh dari itu semua. Karena mereka menyadari dan mengerti ternyata harta, tahta dan wanita, tidaklah membahagiakan dirinya, disana hanya kenikmatan semu yang ada. Setelahnya itu semua terpenuhi,  kembalinya mereka selalu akan di amuk rahsa.  Begitu sejatinya  ironi manusia. Sungguh manusia sepanjang peradaban mengalami problematika seperti ini.

Tercatat dalam sejarah manusia, adalah seperti apa yang dilakukan sang Sidharta Budha Gautama, dan para Raja-raja lainnya. Masih  banyak sekali cerita yang lainnya, yang tidak tercatat dalam sejarah, sebagaimana yang di kisahkan dan dipercayai sebagian umat manusia, adalah pertapa-pertapa sakti yang kemudian moksa, dan lain sebagainya. Kesemuanya dalam upaya diri mereka, yang mereka cari adalah hakekat kenikmatan sejati. Lepas dari belitan dan gumul rahsa di jiwa mereka. Mencoba kembali kepada Tuhan-NYA. Merangkai jalan mereka sendiri.

Bagaimanakah kemudian mereka yang moksa menceritakan kepada kita sekarang ini, apa yang mereka alami ?. Betapakah mereka yang bertapa, kembali ke dunia kita ini dan membaktikan dirinya kepada peradaban manusia?. Akankah mereka membangun teknologi bersama-sama kita disini ?. Mengembangkan peradaban manusia, untuk kesejahteraan manusia itu sendiri ?. Bagaimanakah jikalau seluruh umat manusia melakukan hal yang sama ?.

Banyak pertanyaan yang kemudian menggumpal. Jika kenikmatan sejati di cari dengan cara-cara seperti itu. Jika seluruh manusia di muka bumi ini, mengikuti methode yang di tempuh mereka. Jika seluruh manusia kemudian di wajibkan oleh Tuhannya, agar bertapa di gunung-gunung, agar menyepi di lembah-lembah, agar berendam di kali. Apakah masih ada tersisa manusia yang akan membangun peradaban ?. Sungguh logika manusia akan mempertanyakan hal ini. Patutkah Allah kemudian mewajibkan manusia untuk melakukan hal ini ?. Bukankah kita akan bertanya lagi. Untuk apakah Allah menciptakan manusia kalau hanya begini akhirnya. 

Namun pertanyaannya adalah apakah yang mereka lakukan itu salah ?. Tidak bolehkah mereka begitu ?

Marilah kita resapi, manakah sejatinya methode dan jalan yang selaras dengan hukum-hukum alam. Selaras dengan kebutuhan manusia, selaras dengan perkembangan peradaban yang menuntut kecerdasan manusia. Galilah di kedalam hati kita masing-masing. Dan menjawab pertanyaan tersebut dengan hati kita sendiri.
Allah Tuhan semesta alam memiliki skenarionya sendiri. Maukah kita tunduk. Maha besar Allah SWT.

Agama adalah sikap pasrah

Telah di ulas dalam kajian di muka, hakekat orang-orang yang di berikan nikmat. Ketika seseorang telah mampu menjadi saksi atas perguliran rahsa di jiwa, ketika seseorang sudah tidak dipengaruhi oleh pergolakan rahsa, ketika seseorang mampu menjadi pengamat atas rahsa di jiwa, ketika seseorang tidak lagi mengikuti daya tarik menarik rahsa dalam dirinya, maka AKU akan dalam posisi keseimbangan. Posisi (makom) ini akan menimbulkan sensasi kenikmatan yang luar biasa.  Nikmat yang tak  mampu disandingkan dengan kenikmatan apapun di dunia ini. Diri dalam suasana keadaan khusuk, tenang, luas, bebas, harmoni, senyum, lapang, suwung, entah apalagi perbendaharaan kata manusia yang mampu mewakili keadaan ini. Sungguh sulit mencari padaan katanya. Kenikmatan seperti inilah yang di cari sepanjang peradaban manusia.

Manusia telah memahami untuk mendapatkan kenikmatan hakiki, dirinya harus melakukan penyucian jiwa, pembersihan diri, dan bentuk-bentuk pengolahan jiwa manusia. Maka manusia mencari dengan pelbagai macam caranya sendiri, sebagaimana ulasan di muka. Namun sejatinya manusia tidak akan mampu, menggunakan dayanya sendiri untuk mendapatkan makom ‘kenikmatan sejati’ tersebut. Meskipun dia berupaya setengah mati, bertapa puluhan tahun lamanya. Manusia hanya mampu menekan, nafsu-nafsu tersebut, mengekangnya, dan memenjarakan nafsu tersebut di kedalam hati mereka.  Upaya yang mereka lakukan adalah upaya dari daya mereka sendiri, seberapakah jiwa manusia mampu memenjarakan nafsu-nafsu mereka sendiri. Seberapakah manusia mampu bersembunyi dari rahsa yang di milikinya ?. Menjadi pertanyaan tersendiri.

Dengan menjauhi dunia, bisa saja, akan memperkecil kemungkinan  tekanan beban hidup. Dan belitan rahsa yang ditimbulkannya. Dan karenanya, mereka akan mampu menjaga hati, diri dan jiwanya. Namun coba tanyakan jikalau mereka kembali kepada peradaban apakah mereka akan mampu bertahan ?. Apakah mereka akan tetap dalam kesucian hati mereka, jikalau mereka diterpa lagi akan beban-beban hidupnya. Jika kepada mereka di datangkan cobaan-cobaan lainnya lagi. Sungguhkan mereka akan terus mengasingkan diri. Padahal umat manusia di ciptakan untuk kemasalahatan peradaban manusia itu sendiri. Sekecil apapun peranan manusia atas peradaban, akan lebih berharga dari pada manusia yang tidak berbuat apa-apa untuk kemaslahatan manusia lainnya. Inilah ajaran dalam teologi Islam.

Islam mengerti keadaan ini, Islam memahami dilematis manusia. Sungguh manusia telah di berikan beban kehidupan, diberikan tanggung jawab untuk membangun peradaban manusia. Beban yang berat. Karenanya,  manusia harus di berikan jalan, harus di tunjukan jalan, jalan untuk manusia  agar mereka mampu menikmati kehidupannya.  Berada dalam keadaan ‘kenikmatan sejati’ sehingga manusia  puas dan ridho, serta tenang menjalani takdir-takdir mereka sendiri. Ketenangan jiwa yang sempurna, dan karenanya ini manusia kemudian berhak mendapatkan surga. Surga di kedua alam, dunia dan akherat.   Maka Islam mempermudah jalan bagi mereka. Mempermudah agama, Islam tidak mempersulit manusia. Maka Islam memberikan kesempurnaan jalan, sebagaimana firman Allah sbb:

Sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah pada-Nya (al-Islam) (QS. Al-Imran 3:19). 
  
Maka  jalan lurus untuk mendapatkan 'kenikmatan sejati/hakiki' adalah jalan ini. Jalan berserah (Islam) kepada-NYA. Kenikmatan inilah yang telah diberikan-Nya kepada orang-orang yang menempuh jalan ini. 

Karenanya kajian ini bersambung....

Walohualam

Salam
arif

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali