Kajian Sapi Betina (5), Pengajaran Yang Berat
Tak beda dengan para
pendahulunya kaum Yahudi dan Nasrani. Ada sebagian kaum cendikia yang
berperanan dalam peradaban Islam, yaitu manusia yang memiliki cara
berfikir, memiliki pola berfikir yang senada dengan pola berfikir kaum
pendahulunya itu. Sungguh mereka juga, tak luput dari problematika yang
memberatkan jiwa-jiwa mereka itu. Jiwa manusia hakekatnya memiliki potensi yang
sama. Memiliki potensi kepada ketakwaan dan kefasikan, juga memiliki potensi
kemunafikan. Jiwa manusia sulit sekali menghilangkan pengaruh daya materi yang
melingkupinya. Ego diri, sifat ke aku an, dan lain sebagainya. Semua daya ini
sulit sekali di hilangkan. Semakin tinggi jabatan, semakin tinggi ilmu, semakin
kaya seseorang akan semakin hebat daya tersebut meng hijab mereka.
Meskipun dia menyandang predikat orang Islam, sama saja bagi mereka. Meskipun
dia seorang ulama sekalipun. Allah memberikan cobaan dan pengajaran yang sangat
unik (adil) kepada setiap diri manusia, untuk menguji keimanan mereka.
Kisah
yang terulang
Setelah nabi wafat,
mulai bermunculan kekuatan-kekuatan politik. Peta kekuatan politik mulai
tersebar, untuk saling memperebutkan pengaruh atas golongan yang satu
dengan yang lainnya. Tercatat dimulai dari saat pemilihan ke khalifah-an Abu
Bakar, hingga khalifah-khalifah penerus berikutnya. Semua lengkap dengan
bumbu-bumbu dan aroma perebutan kekuasaan. Mulai dari yang pro maupun
yang kontra. Semua mengatas namakan Tuhan. Semua merasa berada dalam jalan
kebenaran. Banyak bermunculanlah hadis-hadis yang tersebar di setiap golongan.
Setiap golongan mengangkangi bahwa hadistnyalah yang paling sohih.
Akhirnya, terjadilah perang saudara, dengan klimaksnya gugurnya cucu Rosululloh dalam
perang Shifin. Terulang kembali peristiwa sejarah, betapa nelangsanya manusia, sebegitu dahsyatnya cobaan
tersebut. Mengharukan seluruh umat manusia, alam semesta turut menangis dan
bersedih, sebagaimana nelangsanya umat nabi Isa as, saat terjadinya proses
penyaliban nabi mereka.
Maka kemudian terjadilah anti klimaks dalam
diri sebagian umat Islam lainnya, mereka kemudian mengambil jalan sendiri,
memaknai terjadinya peristiwa tersebut dengan cara mereka sendiri. Dapat kita
telusuri, proses dan pola berfikir yang tidak pas. Pemaknaan peristiwa yang
mengambil alur bersebrangan. Kembali terjadilah peristiwa yang berulang, mereka
mengikuti pola berfikir pendahulu mereka para cendikia kaum terdahulu, proses
berfikir yang kemudian melahirkan pemahaman dan menganggap nabi Isa sebagai
Tuhan yang turun ke bumi. Proses yang sama, hingga pada akhirnya mereka
perlakukan Ali ra, dengan perlakuan yang sangat luar biasa. Peng-agungan yang
lebih mendekati kepada penyembahan mereka terhadap Ali ra. Sejarah telah
mencatat, Al qur an berkali-kali telah mengingatkan jiwa manusia. Banyak sekali
kisah-kisah yang di beritakan, dengan maksud agar manusia tidak mengulang
sejarah, agar manusia mampu mengambil hikmah.
Memang, jalan cerita yang sama terjadi di dalam proses kejiwaan
umat Islam kala itu. Sudah di isyaratkan di dalam Al qur an peristiwa
pengingkaran umat nabi Isa, dan bagaimana nabi Isa kemudian dianggap sebagai
Tuhan. Proses kejadian tersebut adalah adalah
kehendak Allah semata, namun mengapakah jiwa manusia yang mengalami kejadian
tersebut tidak mampu berserah, tidak mampu menerima keadaan tersebut, sebagai
skenario Allah. Mengapakah manusia tidak dapat mengambil hikmah bahwa kejadian
tersebut hakekatnya adalah ujian. Ujian untuk kembali untuk menguji keimanan
mereka. Mengapakah umat manusia begitu sulit menerima takdir mereka ?.
Manusia tidak mampu menerima kenyataan bahwasanya cucu
Rosululloh meninggal terbunuh dalam perang, terbunuh oleh umat Islam sendiri.
Manusia sulit sekali menerima takdir Tuhan atas diri mereka. Inilah masalahnya.
Namun sungguh, sejatinya memang semua jiwa manusia tidak akan mampu menanggung
belitan rahsa ini. Belitan rahsa sedih, duka dan lara atas gugurnya cucu
Rosululloh dengan begitu tragis. Keadaan
jiwa yang tengah di belit rahsa, dendam, benci dan sakit hati, lengkap dengan
kesedihan dan duka lara, siapakah diri yang mampu keluar dalam kondisi ini, dan
mampu mendobraknya ?. Jika tiada perrtolongan dari Tuhan, seluruh jiwa manusia
tidak akan mampu keluar dari belitan rahsa. Begitulah yang di alami umat Islam
pada kala itu.
Sungguh manusia tidak akan mampu dalam kondisi seperti itu.
Keadaan rahsa jiwa terbelenggu rahsa, dalam kehidupan kita terkini sudah sering kita alami, keadaan
sedih, duka, lara, cinta, dll. Rahsa yang mencengkeram, rahsa yang berguliran,
dan kita tidak mampu berbuat apa-apa atas rahsa-rahsa ini.. (Baca kajian sebelumnya perihal
rahsa). Maka Al quran sudah mengisyaratkan akan kemungkinan ini. Bagi jiwa yang
sedang berada dalam belitan rahsa ini, mereka harus berserah diri. Total
berserah, mengembalikan semua rahsa kepada pemiliknya. Ketika manusia sudah mengembalikan
rahsa ini, maka sedikit demi sedikit Allah akan menarik belitan rahsa,
membebaskan diri kita. Sayangnya lagi, sangat sedikit manusia yang menyadari
ini. Sangat sedikit orang yang mengerti hakekat Islam itu sendiri. Hakekat
kepasrahan total, mengembalikan semua rahsa. Hakekat berserah diri, pasrah
menjadi pengamat yang aktif atas kesibukan Allah mengatur semua
kejadian.Mengamati pergulakan di jiwa dan mengembalikan semua rahsa.
Maka jalan cerita selanjutnya , sudah dapat kita tebak. Sebagian
umat Islam yang kecewa dan tidak mampu menerima kenyataan tersebut, mengingkari
sebagian ayat Al quran, mengingkari satu sama lainnya. Mereka menyempal menjadi
satu golongan , yang di sebut Islam Syiah. Islam yang hanya mengakui Al quran
mereka sendiri. Dan mereka tidak mengakui Al quran yang di pegang oleh umat
Islam lainnya. Islam kemudian ber cabang-cabang, ber golong-golongan sesuai
dengan pemahaman masing-masing Imam dalam kelompoknya. Jalan cerita terebut
sampailah kepada kita, dimana umat Islam pun mengalami nasib yang sama,
sebagaimana umat nabi Isa as. Terpecah ber golong-golongan. Sementara Islam
sebagaimana yang di wasiatkan dan dimaksudkan nabi Ibrahim, tertinggal jauh di
belakang
Pengajaran yang berat
.
Sungguh, cerita ini sudah di ulang-ulang. Namun kesadaran
manusia sulit sekali memaknai kejadian. Umat sangat tergantung bagaimana
kematangan spiritual para kaum cendekia-nya. Umat sangat tergantung apa kata
ulama mereka. Maka Al qur an senantiasa ber bicara kepada orang-orang
yang diberikan ilmu, agar mau menerima pengajaran Allah. Agar mereka berserah
diri dalam pengajaran Allah. Karena wilayah yang tersulit adalah wilayah rahsa
di jiwa. Rahsa yang mampu menjungkir balikkan logika manusia. Maka mereka mau
tidak mau harus ber serah diri (Islam). Agar mereka mampu membedakan rahsa
diantara kedua rahsa. Yaitu rahsa yang disebabkan oleh daya Allah dan rahsa
yang disebabkan proses daya induksi dari materi (selain Allah).
Adalah rahsa yang akan menjadi ‘daya dorong’ (drive) manusia
untuk melakukan perbuatannya. Rahsa yang tak sama, apakah di timbulkan oleh
daya materi atau daya Allah. Manusia akan diajari bagaimana mengenali daya ini.
Bagaimana jika rahsa kecewa membuncah, rahsa ego diri mengusai, dan rahsa yang
berasal dari daya materi melingkupi, sementara jiwa tidak mengenalinya. Maka
karenanya, manusia kemudian akan dengan mudah tergelincir, karena begitu
halusnya rahsa. Sungguh sangat sedikit kaum cendikiawan yang mau berserah
kepada Allah. Al qur an sudah banyak sekali meng isyaratkan hal itu. Meng
kisahkannya dari contoh umat-umat terdahulu.
Mestinya kita semua umat Islam, mengembalikan itu semua kepada
Allah. Namun sekali lagi, beban rahsa di jiwa, kematian yang menimpa junjungan
mereka sungguh tragis, sungguh memberatkan jiwa mereka. Bagaimanakah
menetapinya. Kembali sejatinya pengajaran kepada mereka adalah pengajaran
rahsa, kejadian-kejadian yang mengusik jiwa, maka kelas pengajaran
ini adalah pengajaran yang sungguh berat. Kematian orang yang kita cintai. Baik
pemimpin, kekasih, istri, ataupun lainnya. Membawa dampak di jiwa, sangat luar
biasa efeknya. Sungguh sulit kita menerima kenyataan. Maka sangat sedikitlah
manusia yang mampu ber serah diri. Tunduk kepada pengajaran Allah.
Hikmah sebuah kejadian
Sungguh karena kesulitan ini, kaum terdahulu senantiasa memohon
pertolongan kepada Allah. Proses berserah diri, adalah proses yang mendaki lagi
sukar, maka mereka ber doa. Dan doa tersebut di abadikan dalam Al qur an surah
Al baqoroh :286. Sebuah kepasrahan dan pengakuan ketak mampuan diri yang total.
Mereka adalah orang-orang yang diberikan nikmat Allah atas ilmu, dan mereka
juga merasa tak mampu, membebaskan diri mereka dari belitan rahsa.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo'a): "Ya
Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya
Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah
Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah
kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS. 2:286)
Banyak sekali peristiwa yang dapat kita saksikan dewasa ini,
meninggalnya orang yang ternama dengan tidak biasa, akan menimbulkan gejolak luar
biasa pada masyarakatnya, bahkan mampu menimbulkan ke goncangan suatu negara.
Sebut saja kematian Abraham Lincon. Martin Luther, Benazir Bhuto, dan
lain-lain. Kematian tersebut, kali berikutnya akan menimbulkan kesadaran baru
lainnya. Namun bagaimanakah kejadiannya, jika setiap peristiwa yang terjadi
dalam peradaban Islam dimaknai lain, dan menumbuhkan agama baru lainnya ?.
Sungguh hal itu adalah cobaan bagi orang-orang yang ber serah diri. Cobaan bagi
umat Islam. Siapakah yang tetap dalam keimanannya. Tidak mengulang kesalahan
yang sudah di perbuat kaum pendahulunya.
Kesadaran manusia
bekerja dengan cara yang sama. Mudah sekali ter sulut oleh api rahsa di jiwa.
Mudah tersakiti, mudah terusik, sangat labil sekali sifatnya. Namun bagi
kaum yang di berikan ilmu tidak ada kata lain, mereka harus tunduk kepada
pengajaran Allah, tidak ada kata tidak. Mereka harus ber Islam secara kafaf,
ber serah diri secara total kepada pengajaran Allah. Karena sungguh dampaknya
sangat luar biasa , jika mereka tidak mampu ber serah diri. Apa yang di
katakannya, apa yang di perbuatnya, akan menjadi teladan bagi kaumnya.
Kesalahan mereka dalam memaknai kejadian, memaknai hikmah yang terkandung di
setiap peristiwa, akan menimbulkan kesadaran-kesadaran baru lainnya. Sebagaimana
kemunculan, sekte-sekte dalam Islam dewasa ini. Bukankah manusia kemudian akan
begolong-golongan, dan manusia kemudian akan menumpahkan darah, karena
keyakinannya itu ?.
Sungguh tiada mampu
manusia. Jika dia tidak ber serah diri (Islam).
Walohualam.
Kajian masih ..bersambung.
Bagaimanakah
posisi orang Yahudi, Nasrani, Islam, Bathiniah dan lainnya.
Siapakah orang yang akan
mampu mencium bau surga diantara golongan-golongan tersebut?.
Bagaimanakah
meletakkan posisi perihal surga dan neraka atas diri mereka ?.
Maka
kajian berikutnya, akan memasuki ranah pemikiran tersebut. Insyaallah.
Salam
arif
Komentar
Posting Komentar