Kisah Spiritual, Menatap Sendiri Gunung Lokon
Perjalanan yang tak pernah kuduga
menelusuri kemarau,
melangkahi hari-hari gelap,
mengais di bumi yang panas
Pemahaman makna yang maha sulit
Menerjemahkan khayalan,
melengkapi semua kenyataan
hidup di alam semesta
menelusuri kemarau,
melangkahi hari-hari gelap,
mengais di bumi yang panas
Pemahaman makna yang maha sulit
Menerjemahkan khayalan,
melengkapi semua kenyataan
hidup di alam semesta
(Kembara Lintas Panjang by Ebiet G Ade)
Bulan sabit diatas tanah tinggi. Membias saat
cahayanya jatuh di sebuah danau alam. Terpecah saat bayangan pokok pinus menjuntai
, menghalangi pandangan. Wangi belerang menyeruak, mengganggu
pernafasan yang mulai berbangkis terserang hawa dingin di sore hari itu. Hutan
heterogen terbentang sebatas mata memandang. Danau Linow. Sebuah danau di
sebelah tak jauh dari kota Menado. Menjadi saksi atas sebuah negri yang pernah
berjaya di kota ini. Kejayaan yang kemudian musnah tertutup debu vulkanik, Gunung Lokon, entah berapa ratus abad yang lalu sebelum
Masehi.
Angin berhembus, dingin terasa menyentuh kulit. Hari mulai malam.
Nampak jauh di pusat kota hiruk pikuk manusia. Dentuman musik dari sebuah
diskotik memecah kebisuan , setidaknya bagi manusia dalam ruangan itu.
Manusia-manusia yang sedang merasakan nikmatnya bersuka. Jiwanya larut dalam
sebuah rahsa suka, senang, dan bahagia.
Di sudut lainnya, di pojok pertokoan yang sudah mulai sepi,
sepasang pengemis dengan bertelanjang kaki, meringkuk menahan dinginnya malam. Sepasang
manusia sedang merasakan bagaimana rahsa, dingin, lapar, dan dahaga.
Kesadarannya sedang larut dalam rahsa lapar.
Tak jauh dari sana, seorang lelaki, duduk merenung, menyesali
diri, yang tengah patah hati, di tinggalkan pergi kekasih hatinya. Satu hati
sedang merasakan bagaimana rahsanya, sedih, kehilangan, dan patah hati.
Kesadarannya sedang larut dalam rahsa duka lara.
Masih di seputar itu, seorang ibu seperti nampak tak peduli,
betapa tidak sakit giginya kambuh lagi, begitu hebat rahsanya, seakaan tiada
penderitaan yang lebih hebat dari dirinya. Kesadarannya sedang bergulat dengan
kesakitan yang sangat.
Di sebuah rumah yang tidak terkunci, terlihat pintu yang sedikit
terbuka, beberapa lelaki sedang bersitegang, memaksa kepada tuan rumah untuk
segera mengembalikan hutang-hutangnya. Wajahnya yang gahar menakutkan seisi
penghuni rumah. Kesadaran penghuni rumah sedang dalam ketakutan amat sangat.
Begitu bergulir, bergantian sepanjang malam, di kota ini, semua
seperti biasa. Sebagaimana dinamika kota. Tidak ada yang peduli, semua sibuk
dengan rahsa masing-masing. Tanpa mereka menyadari, malam dan siang terus
bergantian, perguliran rahsa diantara manusia senantiasa bergiliran.
Tidakkah diantara itu mereka tahu, jika kemudian di lain hari mereka semua di
pergilirkan rahsa-rahsa itu diantara mereka. Rahsa duka menjadi senang, sang
pengemis mendapatkan makanan. Penghuni rumah yang ber hutang mampu melunasi hutangnya.
Lelaki patah hati mendapatkan jodohnya lagi. Sementara manusia yang senang pada
malam itu, kali berikutnya tertimpa musibah, hartanya hlang semua, giliran
sekarang mereka merasakan rahsa duka. Begitulah pergiliran rahsa. Mereka semua
dalam kadarnya masing-masing dalam rahsa senang dan dukanya. Begitu rupanya
Allah telah mempergilirkan rahsa diantara hamba-hamba-Nya.
Namun manusia menjerit saat giliran rahsa duka tiba..!.
Namun manusia lupa saat diberikan rahsa senang pada dirinya..!.
Bukankah Allah telah mempergilirkan dengan se adil-adilnya,
pergiliran dalam keseimbangan alam semesta. Allah tidak merubah keseimbangan
neraca itu, dari dahulu hingga kini.
Namun kenapakah manusia-manusia terseok-seok menetapi dan
melakoninya, padahal telah di ceritakan bagaimana kisah umat-umat
terdahulu..?. Sebuah kisah yang bermuara dan berakhir di tempat yang sama. Yang
dari tanah akan kembali ke tanah. Kepastian akan kematian. Kepastian Ina lilahi
wa inailaihi rojiun. Kepastian kembalinya rahsa kepada yang punya.
Sebagaimana di kota ini, bagaimana peradaban kota tua, yang
terkubur oleh badai vulkanik gunung Lokon. Terkubur jasadnya, peradabannya, dan
mengubur semua rahsa yang di miliki manusia-manusia terdahulu, yang membangun
peradaban di kota ini. Rahsa menjadi tiada lagi dalam kesadaran
mereka. Mereka telah mengembalikan semua rahsa kepada sang Pemilik Rahsa.
Mereka semua kini tinggallah dongengan, entah ada entah tiada, tiada yang
peduli.
Demi masa, dan manusia terus akan selalu merugi !.
Mata Mas Dikonthole menerobos terus , menekuk likunya, diantara bebatuan yang mencuat disekeliling tebing tinggi. Lereng gunung Lokon begitu kokoh menopang langit. Sementara diatasnya puncaknya masih berasap. Kemana saja mata mengikuti , gerakan asap yang berlahan, bergumpal-gumpal menutup pandangan. Sang asap kemudian mengkhabarkan banyak kejadian, kisah kemudian tersaji, ribuan romantika dan tragedy yang telah menapar tanah ini. Berapa sudah generasi yang tercabik, hilang, tenggelam, hanyut dan pergi. Diganti lagi oleh kisah lainnya lagi. Kadang lebih memilukan, kadang lebih menyenangkan, begitulah peradaban anak manusia. Mereka silih berganti di bawah naungan rengkuhan sang gunung. Mengeluh , nafas tertahan karena beratnya beban. Kemudian perjalanan jiwa dimulai lagi.
Sejumput kristal putih,ketika di jilat terasa manis. Sejuput
Kristal putih lagi, ketika dijilat berasa asin. Kristal lainnya ada yang berasa
pahit, berasa gurih, dan sebagainya, dan sebagainya. Bermacam rahsa mampu
di kenali oleh indra, karena dzat pembawa rahsa tersebut ada di luar system
ketubuhan manusia. Dzat pembawa rahsa dengan ilmu pengetahuan manusia mampu di
kenali, baik sifat kimai maupun sifat fisikanya, ataupun juga dari struktur
atomnya. Maka dnegan gampangnya, otak kita menceerna. Kemudian rahsa-rhasa itu
menjadi realitas yang mampu di logika dalam tataran kognitif manusia.
Bagaimana jika kita adalah se orang bayi, yang setiap saat hanya
diberikan Kristal yang berasa pahit terus menerus..?. Apakah kita akan pasrah,
berserah diri saja, dan ber baik sangka kepada Ibu yang mencekoki kita. Atau
kita akan terus berkeluh kesah, mendustakan sang Ibu, berburuk sangka kepada
sang Ibu..?. Mana yang akan kita pilih ?.
Sayangnya kita bukanlah bayi, yang akan pasrah saja di masuki dan
di jejali kristal yang berasa pahit. Kita pasti akan menolak dan
mencegah barang tersebut masuk ke mulut kita, dengan segala cara. Merdeka, kita
benar-benar merdeka, seakan-akan mampu memilih rahsa yang kita suka , kalau ada
manis mengapa harus rahsa pahit. Itulah mungkin pemikiran kita. Tidak salah
bukan..?. Maka kita kemudian selektif sekali dalam memilih rahsa tersebut. Hmm..
Kebalikannya, bagaimana jika dzat pembawa rahsa ternyata di
hasilkan oleh system ketubuhan kita. Rasa senang setelah di teliti ternyata di
bawa oleh hormon endorphine yang di hasilkan oleh kelenjar pitruiti, di bawah
otak. Rasa letih, lelah dan capai ternyata di pengaruhi oleh
timbunan asam laktat pada tubuh kita. Bagaima dengan rasa sedih, kecewa, benci
dan sebagainya dan sebagainya. Ilmu pengetahuan menduga ada suatu system
pembawa sifat dan rahsa yang di hasilkan oleh ketubuhan manusia, yang
masing-masing di kenali sebagai pembawa rahsa. Sebagaimana rahsa manis yang di
bawa oleh Kristal putih yang di sebut gula.
Jikalau demikian, bukankan diri kita manusia sejatinya adalah;
hanya merasakan dzat-dzat yang berada dan beredar dalam tubuh kita..?. Apakah
bisa dikatakan demikian..?. Menurut saya ya..sebagai analogi hormon endorphine. Sudah
dipelajari bagaimana mekanisme keluarnya hormone endophine, yang memicu
rangsang , sehingga kita mengenal sebagai rahsa suka, senang dan bahagia. Nah,
siapakah yang merasakan bagaimana rasanya hormone endoprhine itu..?. Kalau
bukan diri kita..?. Aku lah yang merasakannya.
Kita mampu merasakan apa saja, kita adalah hidup. Membayangkan
semua rahsa, menikmati semua rahsa, dan sebagainya. Sayang kita nyatanya hanya
lewat selintas saja. Saat tidur kita kembali kepangkuan Allah. Kita tidak mampu
merasakan dzt-dzat tersebut saat kesadaran kita diambil Allah.
Kalau begitu rahsa senang dapat di manipulasi. Bisa saja, karena
morphine senyawa buatan manusia hampir memiliki efek yang sama. Kalau begitu
bagaimana dengan patah hati adakah dzat pembawanya..?. Hik..
Darimanakah harus mulai mengungkap rahsa, jika segalanya ada dan
serta merta. Bagaimanakah memaknai sejuta rahsa, jika setitikpun kita tak
memiliki pengetahuan atasnya. Rahsa yang mempermainkan jiwa, rahsa yang
mengharu birukan lakon anak manusia. Menjadi tertatih, tersudut, dalam
kesendirian, dalam pengasingan, dan dalam keputus asa an. Semua rahsa memiliki
potensi yang sama, mengarahkan manusia kepada kehendak-Nya. Jikalau kita mau
berserah diri, dalam buaian tangan-Nya, dalam asupan dan daya-Nya.
Rahsa tak pernah dusta, hanya akal manusia yang ingin tampil
sempurna dalam bias warna sesukanya. Bisa senang , bisa sedih hanya di raut
muka. Sekarang
bagaimana dengan rahsa cintaku ini ?.
Lantas bagaimana juga
dengan rahsa cinta pada nusantaraku
sekarang ?. Apakah kalau begitu rahsa di nista..?.
Warna dalam gugusan alis mata
sering terbaca menyesatkan
Sementara di dalam bergejolak,
di luarnya justru seperti bisu
Biru membersitkan kasih yang tulus
Kadang ditafsirkan keliru
Pergumulan yang sengit dengan hidup
Memaksa kita sering pura-pura.
sering terbaca menyesatkan
Sementara di dalam bergejolak,
di luarnya justru seperti bisu
Biru membersitkan kasih yang tulus
Kadang ditafsirkan keliru
Pergumulan yang sengit dengan hidup
Memaksa kita sering pura-pura.
(Bias warna by Ebiet G Ade)
Ribuan generasi telah berganti, sejuta rahsa telah dikuliti, meninggalkan aroma magic gunung ini. Gunung yang akan terus meminta dimengerti, bagaimana tasbihnya. sayang manusia terkini tidak mengerti lagi. Maka sang Lokon memutahkan lagi riaknya, mengabarkan urusannya sendiri. Dan gumpalan asapnya memenuhi bumi ini. Mas Dikonthole hanya diam, memaku kedua kakinya ke bumi, berusaha merasakan dan mendengarkan suara alam yang mengkhabarkan romansa dan tragedi anak manusia disini dikota ini.
Wolohualam
Komentar
Posting Komentar