Kisah Spiritual, Danyang Telah Memakan Korban ?.


Hasil gambar untuk raja raja

Dan hening kini menyapu. Bersembunyi diantara ilalang. Menyatu berada diantara bunga-bunga yang berguguran, melayang bersama daun yang berjatuhan. Menyaru menjadi embun yang  membasah dikala malam menjelang pagi. Kemudian terbang bersama debu yang melingkar, membumbung naik keatas seirama angin. Serasa menata pelangi dibirunya lazuardi. Sungguh alam  dalam keindahannya.

Itulah langit dalam misteri. Sebuah perjalanan ruhani yang tiada pernah menepi. Dalam keheningan yang selalu menampari diri. Membuat kesedihan tersendiri. Dan bagaimana kini, jika semua terpaksa harus dituliskannya lagi.  

Namun jika saja dituliskan menjadi kata , maka keindahan semesta menjadi tak terasa, akan sama saja bunyinya dan lafadnya. Manusia tidak pernah tahu bagaimana nuansa keadaannya. Sepertinya keadaan tersebut, menjadi panorama alam biasa. Kata menjadi sepi saja tak bernyawa. Sebagaimana kata dihantarkan tanpa jiwa. Menjadi barisan kalimat yang tak bernada. Menjadi suara malam, bahasa alam biasa.  Seperti juga halnya perumpamaan , nasehat, petuah leluhur, pitutur,  semua sudah dituangkan dalam simbol-simbol. Sayang entah sebab apa manusia tidak mau membaca simbol-simbol warisan itu. Simbol kearifan yang menunjukan keharrmonisasi manusia dengan alam.

Begitulah kejadiannya. Kejadian alam menjadi hal yang biasa. Meski itu sehebat  hujan badai petir  , banjir, tanah longsor, atau dan tanda-tanda alam yang menggiriskan lainnya. Seolah nampak di mata kepala mereka sebagai film action, permainan alam. Manusia tetap tak peduli. Bila daun yang jatuh, terasalah sia-sia.

Firasat itulah yang diterima Mas Dikhontole dan benar saja. Salah seorang utusan dari lereng pegunungan Dieng datang menyambangi rumah Mas Dikonthole. Kedatangan yang tak pernah disangka. Membawa khabar pahit itu. Kedatangannya, tepat satu hari menjelang tahun baru ini. Membawa khabar yang tidak diinginkannya.  Yaitu khabar salah seorang saudara yang ‘tersesat’. Bagai palu godam menghantam kepala. “Kenapakah tak mendengar apa yang dipesankannya..?.” Mas Dikonthole merintih, bergumam entah kepada siapa. Tangannya tertekuk menekan dada yang sakit.  Seperti menahan kekecewaan yang sangat.

Padahal dari awal tahun sudah diingatkan kepada semuanya. Jangan berbuat aneh-aneh hingga akhir tahun ini. Bukan apa-apa, di alam ghaib sana tengah terjadi huru hara luar biasa. Bencana merambah di sebagian alam mereka.  Maka tak ayal para ghaib akan bersembunyi menyelamatkan diri dari bencana dan diantara mereka ada yang akan masuk ke alam manusia. Inilah jaman peralihan, yaitu jaman dimana realitas alam manusia dan realitas ghaib sedang berimpit.

Teringat perjalanan panjang, berdzikir pagi dan petang, membuka jalan bagi kesadaran saudaranya ini. Bagaimana berulang kali setiap ada kesempatan Mas Dikonthole mendatangi untuk berinteraksi. Memberikan kesadaran baru bagi orang masa lalu untuk memahami kekinian. Memaknai arti sebuah ‘titisan’, dititipi leluhur amanah, doa restu dan semangat yang tak pernah mati. Masih lekat dalam kesadaran Mas Dikonthole, kejadian masa hampir 3 tahun lalu. Sebuah kejadian yang menyadarkan mereka akan siapa sesungguhnya jatidiri mereka itu.  

Terbayang saat itu tengah malam buta, angin seperti berhenti. Lima orang berkumpul bersama, di sebuah desa di lereng Dieng, di salah satu rumah salah satu saudara. Kejadian yang menjungkir balikan pemahaman. Menghancurkan keseluruh keangkuhan sebagai manusia. Adalah sesaat  mana kesadaran leluhurnya hadir merasuki  raga mereka semua.

Dalam heningnya malam dan dinginnya gerimis. Tangis kesedihan mulai terdengar dari mula hanya sesenggukan, sekedar nelangsa,  hingga lama kelamaan tangisan meledak, meraung, memecah keheningan malam. Mengagetkan binatang malam yang bertengger di halaman belakang. Terdengaranya mulai seperti irama musik yang dimainkan. Namun sungguh rintihannya bagai orang yang ditinggal mati kekasih hati,  menyayat, bagai bendungan yang jebol tanggulnya, luapan airnya bagai tsunami. Menghanyutkan suasana hati siapa saja yang mendengarnya.

Distulah para pinisepuh melontarkan kesedihan dan ratapannya atas nasib bangsa. Mereka semua melihat fakta nusantara yang tidak sebagaimana yang mereka impikan dahulu. Penyesalan amat sangat mereka ungkapkan dengan rintihan dan tangisan yang menyedihkan sekali.

Meski raga mereka rata-rata sudah setengah baya,   tangisan itu tetap tak mampu ditahan, habis seluruh daya, mereka semua mengguguk bagai anak kecil saja. Jiwa mereka tak mampu menahan tangisan yang muncul dari dalam hati mereka sendiri. Mereka tak mengerti siapakah yang menangis begitu nelangsanya. Mereka tahu itu semua terjadi pada raganya, mereka dalam kesadaran penuh, namun mereka tak mengerti mengapa bisa mengalami kesedihan yang sangat luar biasa ini. Jiwa siapakah yang menangis. Mereka seperti mampu menyaksikan kesedihan didalam jiwa mereka sendiri. Namun mereka tak pernah tahu mengapa dirinya harus menangis. Keadaan yang tak pernah mereka mengerti mengapakah keadaan nusantara begitu mengikat jiwa mereka. Sehingga mereka meratapi sedemikian hebatnya.

Namun itu menjadi sepenggal cerita di awal, bila kini salah satu saudaranya diambil danyang, itu tidak ada dalam pikirannya. Mengapakah kejadiannya begini ?. Justru nyata di depan hidungnya sendiri. Tanpa dia mampu menerawang kesana. Seperti tidak dalam limputannya, salah satu saudaranya telah keluar dari relnya. Keluar dari barisannya. Itulah kejadiannya.

Dimana saudaranya telah mengikuti hawa nafsunya,  menggunakan ilmu untuk mencari kekayaan. Menjualnyua dengan harga murah. Mas Dikonthole menahan tangisnya. Ketika mendengar khabar bahwa Istri dari saudaranya itu tidak mampu menahan energy yang masuk sehingga jiwanya tak mampu kembali lagi ke dalam raganya. Dan kemudian akhirnya bertingkah (layaknya) sebagaimana orang gila. Menjadi tontonan orang sekampungnya. Sungguh itulah akibatnya, para danyang akan bersikap telengas, mengambil jiwa siapa saja yang aniaya. Apalagi saudaranya itu sudah melakukan sumpah setia. Mas Dikonthole diam dalam sedihnya. Duh..

Tidak lama utusan dari Dieng berada di rumah Mas Dikonthole, hanya dalam hitungan jam saja. Namun cukup banyak yang bisa di diskusikan. Sesungguhnya menjadi pertanyaan bagi Mas Dikonthole hingga sampai sekarang ini. Sebab utusan ini adalah orang yang memang benar-benar terbuang. Dia sering berkeliaran di pasar-pasar, dia sering disebut sebagai 'preman', anak jalanan dan sejuta sebutan bagi orang seperti dirinya. Pemakai dan juga sering mengedarkan obat-obat terlarang. Itu dahulu sebelum dirinya ikut dalam barisan. Lain dulu lain sekarang, nyatanya pemahaman utusan ini jauh diatas lainnya. Dia mampu memahami hakekat, mampu mengimbangi pembicaraan atas makrifat. Sungguh Mas Dikonthole semakin takjub.

Sayang dahulu saat dibuka hijabnya dia tidak sempurna, sehingga dia belum mampu mengenal siapa jatidirnya. Maka kedatangannya adalah sekaligus juga untuk membuka hijabnya.

Dan Tuhan memang menunjukkan kuasanya, hanya dalam waktu sebentar, tak lebih dari 1 jam. Hijab dirinya berhasil dibuka. Raungan, tangisan dan penyesalan, bergempita, pujian, tasbih dan tahmid membahana, memecah hari yang sudah menjelang senja. Puji syukur kepada yang maha Kuasa, bahwasanya jiwanya kemudian berhasil lepas, jiwanya terbebas luas, mendekat kepada yang Maha Besar, lepas menghadap Tuhannya yang Maha Tinggi. Sehingga dirinya serasa kecil sekali. Dia tertunduk sambil berucap berkali-kali, "Inalillahi wa inailahi rojiun." Kerinduan untuk kembali kepada-Nya telah menikam jantungnya.

Bersambung.., di Dentuman Alam Ghaib



Komentar

  1. bapak Arif,...bisakah kontak lebih private,..sehubungan dengan pembukaan hijab itu ?...matur nuwun sebelumnya,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan ke email kami, budiutomo.arif@rocketmail.com

      Insyaallah

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali