Kisah Spiritual, Danyang Telah Memakan Korban ?.
Itulah langit dalam misteri.
Sebuah perjalanan ruhani yang tiada pernah menepi. Dalam keheningan yang selalu
menampari diri. Membuat kesedihan tersendiri. Dan bagaimana kini, jika semua
terpaksa harus dituliskannya lagi.
Namun jika saja dituliskan
menjadi kata , maka keindahan semesta menjadi tak terasa, akan sama saja
bunyinya dan lafadnya. Manusia tidak pernah tahu bagaimana nuansa keadaannya. Sepertinya
keadaan tersebut, menjadi panorama alam biasa. Kata menjadi sepi saja tak
bernyawa. Sebagaimana kata dihantarkan tanpa jiwa. Menjadi barisan kalimat yang
tak bernada. Menjadi suara malam, bahasa alam biasa. Seperti juga halnya perumpamaan , nasehat,
petuah leluhur, pitutur, semua sudah
dituangkan dalam simbol-simbol. Sayang entah sebab apa manusia tidak mau
membaca simbol-simbol warisan itu. Simbol kearifan yang menunjukan keharrmonisasi
manusia dengan alam.
Begitulah kejadiannya. Kejadian
alam menjadi hal yang biasa. Meski itu sehebat hujan badai petir , banjir, tanah longsor, atau dan tanda-tanda
alam yang menggiriskan lainnya. Seolah nampak di mata kepala mereka sebagai
film action, permainan alam. Manusia tetap tak peduli. Bila daun yang jatuh, terasalah
sia-sia.
Firasat itulah yang diterima Mas Dikhontole dan benar saja. Salah
seorang utusan dari lereng pegunungan Dieng datang menyambangi rumah Mas Dikonthole. Kedatangan yang tak
pernah disangka. Membawa khabar pahit itu. Kedatangannya, tepat satu hari
menjelang tahun baru ini. Membawa khabar yang tidak diinginkannya. Yaitu khabar salah seorang saudara yang
‘tersesat’. Bagai palu godam menghantam kepala. “Kenapakah tak mendengar apa yang dipesankannya..?.” Mas Dikonthole
merintih, bergumam entah kepada siapa. Tangannya tertekuk menekan dada yang sakit. Seperti menahan kekecewaan yang sangat.
Padahal dari awal tahun sudah diingatkan kepada semuanya. Jangan berbuat aneh-aneh hingga akhir tahun ini. Bukan apa-apa, di alam ghaib sana tengah terjadi huru hara luar biasa. Bencana merambah di sebagian alam mereka. Maka tak ayal para ghaib akan bersembunyi menyelamatkan diri dari bencana dan diantara mereka ada yang akan masuk ke alam manusia. Inilah jaman peralihan, yaitu jaman dimana realitas alam manusia dan realitas ghaib sedang berimpit.
Teringat perjalanan panjang,
berdzikir pagi dan petang, membuka jalan bagi kesadaran saudaranya ini.
Bagaimana berulang kali setiap ada kesempatan Mas Dikonthole mendatangi untuk
berinteraksi. Memberikan kesadaran baru bagi orang masa lalu untuk memahami
kekinian. Memaknai arti sebuah ‘titisan’, dititipi leluhur amanah, doa restu
dan semangat yang tak pernah mati. Masih lekat dalam kesadaran Mas Dikonthole,
kejadian masa hampir 3 tahun lalu. Sebuah kejadian yang menyadarkan mereka akan
siapa sesungguhnya jatidiri mereka itu.
Terbayang saat itu tengah malam
buta, angin seperti berhenti. Lima orang berkumpul bersama, di sebuah desa di
lereng Dieng, di salah satu rumah salah satu saudara. Kejadian yang menjungkir
balikan pemahaman. Menghancurkan keseluruh keangkuhan sebagai manusia. Adalah sesaat mana kesadaran leluhurnya hadir merasuki raga mereka semua.
Dalam heningnya malam dan
dinginnya gerimis. Tangis kesedihan mulai terdengar dari mula hanya sesenggukan,
sekedar nelangsa, hingga lama kelamaan
tangisan meledak, meraung, memecah keheningan malam. Mengagetkan binatang malam
yang bertengger di halaman belakang. Terdengaranya mulai seperti irama musik yang
dimainkan. Namun sungguh rintihannya bagai orang yang ditinggal mati kekasih
hati, menyayat, bagai bendungan yang
jebol tanggulnya, luapan airnya bagai tsunami. Menghanyutkan suasana hati siapa
saja yang mendengarnya.
Distulah para pinisepuh
melontarkan kesedihan dan ratapannya atas nasib bangsa. Mereka semua melihat
fakta nusantara yang tidak sebagaimana yang mereka impikan dahulu. Penyesalan amat
sangat mereka ungkapkan dengan rintihan dan tangisan yang menyedihkan sekali.
Meski raga mereka rata-rata sudah
setengah baya, tangisan itu tetap tak mampu ditahan, habis
seluruh daya, mereka semua mengguguk bagai anak kecil saja. Jiwa mereka tak
mampu menahan tangisan yang muncul dari dalam hati mereka sendiri. Mereka tak
mengerti siapakah yang menangis begitu nelangsanya. Mereka tahu itu semua terjadi
pada raganya, mereka dalam kesadaran penuh, namun mereka tak mengerti mengapa
bisa mengalami kesedihan yang sangat luar biasa ini. Jiwa siapakah yang
menangis. Mereka seperti mampu menyaksikan kesedihan didalam jiwa mereka
sendiri. Namun mereka tak pernah tahu mengapa dirinya harus menangis. Keadaan
yang tak pernah mereka mengerti mengapakah keadaan nusantara begitu mengikat
jiwa mereka. Sehingga mereka meratapi sedemikian hebatnya.
Namun itu menjadi sepenggal cerita di awal, bila kini salah satu saudaranya diambil danyang, itu tidak ada dalam pikirannya. Mengapakah kejadiannya begini ?. Justru nyata di depan hidungnya sendiri. Tanpa dia mampu menerawang kesana. Seperti tidak dalam limputannya, salah
satu saudaranya telah keluar dari relnya. Keluar dari barisannya. Itulah kejadiannya.
Dimana saudaranya telah mengikuti hawa nafsunya, menggunakan ilmu untuk mencari kekayaan. Menjualnyua dengan harga murah. Mas Dikonthole menahan tangisnya. Ketika mendengar khabar bahwa Istri dari saudaranya itu tidak mampu menahan energy yang masuk sehingga jiwanya tak mampu kembali lagi ke dalam raganya. Dan kemudian akhirnya bertingkah (layaknya) sebagaimana orang gila. Menjadi tontonan orang sekampungnya. Sungguh itulah akibatnya, para danyang akan bersikap telengas, mengambil jiwa siapa saja yang aniaya. Apalagi saudaranya itu sudah melakukan sumpah setia. Mas Dikonthole diam dalam sedihnya. Duh..
Tidak lama utusan dari Dieng berada di rumah Mas Dikonthole, hanya dalam hitungan jam saja. Namun cukup banyak yang bisa di diskusikan. Sesungguhnya menjadi pertanyaan bagi Mas Dikonthole hingga sampai sekarang ini. Sebab utusan ini adalah orang yang memang benar-benar terbuang. Dia sering berkeliaran di pasar-pasar, dia sering disebut sebagai 'preman', anak jalanan dan sejuta sebutan bagi orang seperti dirinya. Pemakai dan juga sering mengedarkan obat-obat terlarang. Itu dahulu sebelum dirinya ikut dalam barisan. Lain dulu lain sekarang, nyatanya pemahaman utusan ini jauh diatas lainnya. Dia mampu memahami hakekat, mampu mengimbangi pembicaraan atas makrifat. Sungguh Mas Dikonthole semakin takjub.
Sayang dahulu saat dibuka hijabnya dia tidak sempurna, sehingga dia belum mampu mengenal siapa jatidirnya. Maka kedatangannya adalah sekaligus juga untuk membuka hijabnya.
Dan Tuhan memang menunjukkan kuasanya, hanya dalam waktu sebentar, tak lebih dari 1 jam. Hijab dirinya berhasil dibuka. Raungan, tangisan dan penyesalan, bergempita, pujian, tasbih dan tahmid membahana, memecah hari yang sudah menjelang senja. Puji syukur kepada yang maha Kuasa, bahwasanya jiwanya kemudian berhasil lepas, jiwanya terbebas luas, mendekat kepada yang Maha Besar, lepas menghadap Tuhannya yang Maha Tinggi. Sehingga dirinya serasa kecil sekali. Dia tertunduk sambil berucap berkali-kali, "Inalillahi wa inailahi rojiun." Kerinduan untuk kembali kepada-Nya telah menikam jantungnya.
Bersambung.., di Dentuman Alam Ghaib
Dimana saudaranya telah mengikuti hawa nafsunya, menggunakan ilmu untuk mencari kekayaan. Menjualnyua dengan harga murah. Mas Dikonthole menahan tangisnya. Ketika mendengar khabar bahwa Istri dari saudaranya itu tidak mampu menahan energy yang masuk sehingga jiwanya tak mampu kembali lagi ke dalam raganya. Dan kemudian akhirnya bertingkah (layaknya) sebagaimana orang gila. Menjadi tontonan orang sekampungnya. Sungguh itulah akibatnya, para danyang akan bersikap telengas, mengambil jiwa siapa saja yang aniaya. Apalagi saudaranya itu sudah melakukan sumpah setia. Mas Dikonthole diam dalam sedihnya. Duh..
Tidak lama utusan dari Dieng berada di rumah Mas Dikonthole, hanya dalam hitungan jam saja. Namun cukup banyak yang bisa di diskusikan. Sesungguhnya menjadi pertanyaan bagi Mas Dikonthole hingga sampai sekarang ini. Sebab utusan ini adalah orang yang memang benar-benar terbuang. Dia sering berkeliaran di pasar-pasar, dia sering disebut sebagai 'preman', anak jalanan dan sejuta sebutan bagi orang seperti dirinya. Pemakai dan juga sering mengedarkan obat-obat terlarang. Itu dahulu sebelum dirinya ikut dalam barisan. Lain dulu lain sekarang, nyatanya pemahaman utusan ini jauh diatas lainnya. Dia mampu memahami hakekat, mampu mengimbangi pembicaraan atas makrifat. Sungguh Mas Dikonthole semakin takjub.
Sayang dahulu saat dibuka hijabnya dia tidak sempurna, sehingga dia belum mampu mengenal siapa jatidirnya. Maka kedatangannya adalah sekaligus juga untuk membuka hijabnya.
Dan Tuhan memang menunjukkan kuasanya, hanya dalam waktu sebentar, tak lebih dari 1 jam. Hijab dirinya berhasil dibuka. Raungan, tangisan dan penyesalan, bergempita, pujian, tasbih dan tahmid membahana, memecah hari yang sudah menjelang senja. Puji syukur kepada yang maha Kuasa, bahwasanya jiwanya kemudian berhasil lepas, jiwanya terbebas luas, mendekat kepada yang Maha Besar, lepas menghadap Tuhannya yang Maha Tinggi. Sehingga dirinya serasa kecil sekali. Dia tertunduk sambil berucap berkali-kali, "Inalillahi wa inailahi rojiun." Kerinduan untuk kembali kepada-Nya telah menikam jantungnya.
Bersambung.., di Dentuman Alam Ghaib
bapak Arif,...bisakah kontak lebih private,..sehubungan dengan pembukaan hijab itu ?...matur nuwun sebelumnya,
BalasHapusSilahkan ke email kami, budiutomo.arif@rocketmail.com
HapusInsyaallah